Rio Baswara diceraikan istrinya karena dianggap bangkrut dan gagal. Satu hari kemudian, dia dapat sistem informasi paling akurat. Seminggu setelahnya, dia jadi miliarder.
Mantan istri yang sombong kini hanya bisa menangis menyesal. Sementara Rio sibuk bangun kerajaan bisnis dan dekat dengan adik kandung mantannya yang jauh lebih baik—cantik, baik hati, dan setia.
Saatnya dunia tahu, pria yang mereka remehkan kini jadi penguasa baru.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Chal30, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 29: PERTEMUAN STRATEGIS DAN ALIANSI BARU
Pagi itu Rio baru bangun, langsung ngeliat beberapa shopping bag gede-gede di ruang tamu. Dari LV sampe Chanel, semua brand ternama ada.
Rio ngerutkan dahi bingung, terus nanya Kiara yang lagi nyiapin sarapan.
"Kiara, ini barang dari mana?" tanya Rio sambil nunjuk kantong-kantong belanjaan itu.
"Oh itu, Mas Rio. Tadi pagi Mbak Ratna yang anter, katanya Mas Rio masih tidur, jadi dia gak mau ganggu. Langsung cabut aja," jelas Kiara sambil nyodorin piring nasi goreng.
Rio manggut-manggut paham. Dia buka satu-satu kantong belanjaan itu, nemu beberapa setelan baju yang udah dipadu-padanin rapi, bahkan ada notes kecil yang jelasin outfit mana cocok buat acara apa.
'Detail banget,' pikir Rio sambil senyum puas.
Rio milih salah satu outfit casual dari Armani. Gak ada logo gede-gede yang norak, simple tapi kelihatan mahal—yang namanya low-key luxury. Begitu dicoba pas banget, ukurannya akurat sampe detail terkecil, tapi begitu Rio ngeliatin pantulan dirinya di cermin, dia ngerasa ada yang kurang. Tangan kosong tanpa aksesoris keliatan hambar.
'Kayaknya gue butuh jam tangan deh. Bukan cuma buat gaya, tapi juga nunjukin status,' pikir Rio sambil motong rambutnya di depan cermin.
Jam tangan Rolex puluhan juta beda banget artinya sama Patek Philippe ratusan juta. Image yang terpancar juga beda.
Rio inget Melati janjian ketemu di daerah yang rame sama toko luxury. bagus, bisa sekalian beli jam tangan di sana.
Sekarang masih pagi. Janjiannya jam setengah dua belas siang, masih banyak waktu buat hunting jam tangan dulu. Beda sama baju yang bisa dibeliin orang lain, jam tangan Rio mau milih sendiri, harus yang cocok sama selera pribadi.
Rio pamit sama Kiara, terus langsung cabut. Pake taksi online, Rio menuju salah satu mall paling mewah di Jakarta. Hari Minggu gini mall penuh sesak. Penuh anak-anak muda kece yang selfie-selfie di depan toko branded. Banyak yang sebenernya cuma window shopping atau hunting foto buat Instagram. Beli beneran? Belum tentu.
Rio liat peta mall, langsung meluncur ke toko Rolex. Brand ini emang entry level buat jam tangan luxury, tapi jangan salah, beberapa koleksi Rolex harganya bisa nyaingin Audemars Piguet atau Patek Philippe.
Begitu masuk toko, sales langsung nyamperin dengan senyum ramah profesional.
"Selamat pagi Pak, ada yang bisa saya bantu?" tanya sales cewek muda yang pake blazer hitam ketat.
"Gue mau liat-liat dulu, gak usah ditemani," jawab Rio sambil ngelirik etalase kaca yang penuh jam tangan mengkilat.
Rio jalan pelan, matanya memindai semua koleksi. Jam tangan itu soal chemistry, meskipun orang lain bilang jelek, kalau cocok di mata ya gak masalah. Gak lama mata Rio terkunci di satu jam tangan dengan dial putih dan bezel hitam. Desainnya sporty tapi tetep elegan.
Sales yang dari tadi standby langsung deket.
"Pak, ini koleksi Cosmograph Daytona series kami. Produk terbaru tahun ini, material platinum dengan—"
"Gue beli, berapa?" potong Rio cepet, gak mau denger basa-basi panjang.
Sales sampe bengong sesaat. Biasanya pembeli nanya ini-itu dulu, tawar-menawar, mikir berhari-hari, eh ini cowok langsung bilang beli tanpa tanya apa-apa.
Senyum sales melebar sampe ke kuping. "Harganya dua ratus empat puluh lima juta, Pak."
Rio ngangguk enteng. "Boleh dicoba dulu gak?"
"Tentu, Pak! Silakan!" sahut sales excited sambil buka etalase dengan hati-hati.
Begitu jam tangan dipasang di pergelangan tangan Rio, rasanya pas banget, gak terlalu ketat, gak terlalu longgar. Warnanya juga cocok sama outfit yang Rio pake hari ini.
"Oke, gue ambil. Tolong sesuaiin size gelangnya," ucap Rio sambil keluarin kartu kredit.
Dalam hitungan menit, transaksi selesai. Gelang jam disesuaikan sama ukuran pergelangan tangan Rio, begitu keluar dari toko Rolex, Rio udah pake jam tangan barunya dengan bangga. Rio lirik jam. Masih ada waktu setengah jam sebelum janjian sama Melati.
Dia jalan santai menuju hotel mewah yang ada di sebelah mall. Restoran yang Melati pilih ada di sana—restoran dengan view langsung ke jalan protokol Jakarta yang rame.
Begitu nyebutin nama Melati, pelayan langsung anterin Rio ke meja di deket jendela besar. Pemandangan dari sini emang top. Pantesan harganya mahal. Rio duduk sambil ngecek ponsel, belum sempet buka aplikasi apapun, dia denger suara high heels yang mendekat.
Rio angkat kepala. Langsung terdiam.
Melati jalan mendekat dengan dress merah V-neck yang bikin siapapun gak bisa alihkan pandangan. Tubuhnya yang udah seksi dari sono-nya jadi makin killer pake dress itu. Makeup-nya juga beda dari pertemuan pertama dulu, kali ini full glamor. Bibir merahnya mengkilap banget, bikin Rio langsung kepikiran istilah "scarlet lips".
Melati sadar Rio lagi ngeliatin dia dari atas sampe bawah, bukannya malu atau kesel, dia malah makin pede. Dadanya dibusungin, jalannya dibuat kayak model catwalk.
Begitu sampe di deket meja, Melati senyum manis sambil tanya dengan nada menggoda, "Pak Rio, udah lama nungguin?"
Rio langsung sadar dia kelamaan melongo. Dia berdehem pelan, ngelurusin posisi duduknya.
"Enggak kok, gue juga baru sampe," jawab Rio sambil berusaha tetep cool meskipun jantungnya lagi deg-degan.
Melati bukannya duduk di depan Rio, malah duduk di sebelahnya, jaraknya deket banget. Rio bisa cium parfum mahal yang Melati pake.
Melati nyilang kaki—posisi yang bikin dress-nya naik sedikit, nunjukin paha mulus. Bibirnya nyengir tipis sambil nanya langsung to the point, "Pak Rio, waktu itu kan omongannya cuma setengah. Sekarang kita punya banyak waktu. Bisa jelasin lebih detail gak?"
Rio angkat alis. "Berarti lu udah investigasi tunangan lu dong?"
Melati ngangguk sambil main-main sama rambut panjangnya. "Udah, tapi belum detail. Makanya gue minta ketemu lu, gue butuh info lebih banyak."
Rio ngetuk-ngetuk meja pelan, mikir sebentar sebelum ngomong. "Salah satu cewek yang deket sama tunangan lu itu mantan istri gue. Kami baru aja cerai beberapa minggu lalu."
Melati langsung terdiam, matanya melotot, mulutnya nganga dikit.
Dia emang udah tau Gunawan main api sama dua cewek, tapi dia belum sempet cari tau siapa cewek-cewek itu. Buat Melati, gak penting juga sih Gunawan selingkuh sama siapa, yang penting dia bisa buktiin Gunawan gak setia udah cukup. Tapi tau kalau Rio ternyata korban juga dari ulah Gunawan? Ini twist yang gak terduga.
Melati ngeliatin Rio dari ujung rambut sampe ujung sepatu. Baju mahal, jam tangan ratusan juta, wajah ganteng, badan tinggi atletis. Gunawan? Botak setengah, perut buncit, napas bau.
'Cewek yang ninggalin cowok kayak Rio demi cowok kayak Gunawan pasti otaknya rusak parah,' pikir Melati dalam hati sambil geleng-geleng gak percaya.
Ekspresi Melati jadi aneh, campuran antara heran, geli, sama kasihan.
Rio yang ngeliat ekspresi Melati langsung paham dia lagi mikir yang aneh-aneh.
"Lu mungkin salah paham," ucap Rio sambil berdehem pelan, berusaha ngalihin pikiran Melati. "Gue cerai bukan gara-gara... gue gak bisa, tapi lebih ke masalah ekonomi."
"Hah?" Melati makin bingung.
Rio langsung ceritain kronologi perceraiannya dari awal sampe akhir. Gimana dia difitnah jadi penjudi, dikeluarin dari grup, tapi ternyata malah untung gede dari saham. Melati dengerin dengan serius. Tapi lama-kelamaan bibirnya kedutan, berusaha keras nahan ketawa.
Sampai akhirnya dia gak kuat. "Pfft... AHAHAHAHA!" Melati ketawa sambil nutupin mulut pake tangan, badannya sampe goyang-goyang.
Beberapa pengunjung restoran lain sampe noleh ke arah mereka.
Melati cepet-cepat berhenti ketawa, mukanya merah padam. "Maaf Pak Rio. Bukan maksud gue ketawain kondisi lu, cuma... mantan istri lu itu... ahahaha... maaf, gue gak bisa," ucap Melati sambil masih nahan sisa tawa.
Rio cuma senyum tipis sambil angkat bahu. "Santai aja, gue sendiri udah bisa ketawain soal ini. Lagian ini bukan salah gue."
Melati ngelap ujung matanya yang basah gara-gara ketawa, terus natap Rio dengan tatapan serius. "Jadi maksud lu ngasih tau gue semua ini... lu mau gue bantuin buat hajar Gunawan sama mantan istri lu?"
Rio ngangguk tegas. "Tepat, tapi semua tergantung lu mau atau enggak."
Rio lanjutin sambil bersandar di kursi, "Gue udah riset tentang Gunawan. Dia naik gara-gara keluarga lu bantuin dari belakang. Sampe sekarang pun dia masih makan dari remah-remah bisnis keluarga lu. Di luar dia dihormatin sebagai Pak Gunawan yang sukses, padahal aslinya? Cuma parasit. Cowok gak berguna yang gak bisa berdiri sendiri."
Melati ngeliatin Rio dengan tatapan tertarik. "Berarti lu juga udah investigasi gue dong?"
"Enggak juga, yang gue punya masalah sama Gunawan, bukan sama lu. Kita sama-sama korban di sini," balas Rio sambil senyum tipis.
Melati diem sebentar, jari-jarinya ngetuk-ngetuk meja pelan. Matanya nyari-nyari tanda bohong di wajah Rio, tapi gak nemu.
"Fine, gue percaya sama lu, tapi gue harap lu gak ngecewain gue," ucap Melati akhirnya sambil nyodorin tangan buat jabat tangan.
Rio terima tangan Melati. Jabat tangan mereka berlangsung agak lama—lebih lama dari jabat tangan biasa.
Melati senyum tipis sambil bisik pelan, "Partnership ini... bakal menarik."