Ini adalah kisah wanita bernama Ratih, yang pulang dari merantau tiga tahun yang lalu, dia berniat ingin memberi kejutan pada neneknya yang tinggal disana, namun tanpa dia ketahui desa itu adalah awal dari kisah yang akan merubah seluruh hidup nya
bagaimana kisah selanjutnya, ayok kita baca
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon pena biru123, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 29
Keheningan Aeloria yang megah terasa mencekik saat mereka melangkah keluar dari piramida. Udara malam yang sejuk tidak mampu meredam panasnya ketegangan yang baru saja terjadi di Ruang Pengetahuan. Mereka bergerak dalam formasi bisu—Wijaya memimpin dengan langkah tergesa-gesa, Jaya dan Dara di tengah, dan Ratih tertinggal sedikit di belakang.
Ratih memegangi Liontin Api Biru dan Liontin Mata Ketiadaan. Kedua liontin itu kini terasa berat, bukan karena bobot fisiknya, melainkan karena beban psikologis yang diserapnya. Liontin Api Biru terasa hangat, simbol harapan dan kebersamaan, tetapi Liontin Mata Ketiadaan terasa dingin dan hampa—refleksi dari kekosongan dan keraguan yang tiba-tiba berakar di hatinya.
"Aku tahu apa yang aku lakukan. Aku melindunginya karena dia adalah harapanku, bukan kewajiban."
Kata-kata Wijaya kepada Natan terus berputar di benak Ratih. Apakah dia hanya 'harapan', sebuah alat yang harus dilindungi demi misi, atau sesuatu yang lebih? Dan keintiman yang mengerikan antara Wijaya dan Natan... Sentuhan itu, lencana bangsawan yang tersembunyi, bisikan tentang masa lalu. Ratih, yang selalu merasa dia adalah satu-satunya yang melihat kedalaman jiwa Wijaya, tiba-tiba merasa terasing, seolah-olah ada pintu yang tertutup di hadapannya.
"Ratih," panggil Dara pelan, menyentuh lengannya. "Kau baik-baik saja?"
Ratih menggeleng cepat. "Aku... hanya lelah, Dara. Dan bingung. Liontin ini... Aku merasa terhubung dengan Natan melalui Api Biru, tapi aku tidak mengerti apa hubungannya dengan Wijaya."
Jaya, yang mendengarnya, menoleh ke belakang, matanya serius. "Natan adalah pemelihara ingatan yang terlupakan. Dia tahu banyak hal, Ratih. Tentang kita semua. Tapi dia juga sangat pandai bermain kata. Jangan biarkan dia menanamkan keraguan di antara kalian. Kita harus saling percaya untuk misi ini."
Perjalanan ke Utara
Mereka meninggalkan Aeloria sebelum fajar menyingsing, kembali melewati celah ngarai yang kini tampak tidak begitu mengancam. Begitu mereka keluar dari area tanpa-sihir, udara kembali dipenuhi energi. Dara menarik napas lega, merasakan sihir mengalir ke ujung jarinya, dan Liontin Api Biru Ratih menyala lebih terang.
Tujuan mereka adalah Pegunungan Bintang Jatuh, rangkaian puncak terjal yang menjulang tinggi di utara, yang terkenal dengan kristal-kristal bercahaya dan kabut tebal yang menyembunyikan Pusara Air Mata.
Perjalanan itu adalah ujian fisik dan emosional. Mereka menyewa empat kuda dari desa terdekat di kaki pegunungan dan melanjutkan pendakian yang curam. Jalan setapak berubah menjadi jalur berbahaya di pinggir tebing yang sempit.
Wijaya kembali menjadi dirinya yang efisien dan fokus. Dia memimpin dengan mata elang, membaca tanda-tanda alam dan bahaya yang mungkin tersembunyi.
"Jalur ini digunakan oleh karavan tambang," jelas Wijaya, menunjuk ke pecahan batu di jalan. "Hati-hati, tanahnya mungkin longgar."
Saat mereka melewati lereng bersalju yang berkilauan di bawah sinar matahari, Jaya dan Dara terlibat dalam diskusi teknis tentang bagaimana Liontin Ungu, yang disebut Natan sebagai 'Penolak', akan berfungsi untuk mengintegrasikan dua kekuatan kosmik tanpa menghancurkannya.
Namun, Ratih tetap diam. Dia terus mengawasi Wijaya.
Suatu sore, saat mereka beristirahat di sebuah ceruk batu, Wijaya pergi mencari kayu bakar. Ratih mengikutinya.
"Wijaya," panggilnya, suaranya tegang.
Wijaya berhenti, membelakanginya, memunguti ranting-ranting kering. "Ya, Ratih?"
"Siapa Natan?" tanyanya tanpa basa-basi. "Dia tahu namamu. Dia tahu lencanamu. Dia tahu tentang 'bayangan' yang mengikutimu. Mengapa kau tidak pernah menceritakan padaku tentang dia? Atau tentang masa lalumu?"
Wijaya berbalik, mata emasnya tampak gelap karena kekhawatiran yang tidak diucapkan. "Dia bukan seseorang yang penting, Ratih. Dia hanya—"
"Jangan bohongi aku," sela Ratih, Liontin Api Biru di dadanya berdenyut. "Itu terasa terlalu pribadi. Terlalu... akrab. Dia memberiku petunjuk tentang misi, tapi dia memberimu peringatan. 'Jangan biarkan masa lalumu menentukan masa depan gadis ini. Pilihanmu harus murni, bukan karena... kewajiban.' Apa artinya itu, Wijaya?"
Wijaya menghela napas, melihat ke puncak bersalju di kejauhan. Wajahnya menua beberapa tahun dalam sekejap.
"Natan tahu tentang masa lalu keluargaku," katanya, suaranya rendah dan serak. "Keluarga kami adalah penjaga rahasia yang berhubungan dengan Mata Angin, jauh sebelum kami kehilangan semuanya. Lencana itu adalah simbol kewajiban yang gagal kupenuhi. Aku tidak pernah menceritakannya padamu karena itu adalah beban yang tidak ingin aku berikan padamu."
Dia berbalik, mengambil satu langkah ke arahnya, matanya memohon pengertian. "Ratih, aku ada di sini denganmu, bukan karena kewajiban lama. Aku di sini karena aku percaya padamu. Aku memilihmu."
Namun, di dalam diri Ratih, Liontin Mata Ketiadaan berbisik—'Dia memilihmu karena kau adalah wadah yang sempurna, bukan karena kau adalah kau.'
"Liontin itu," kata Ratih, menunjuk Liontin Api Biru dengan tangan gemetar. "Apakah kau melindungiku karena kau melihat 'harapan' para Dewa di dalamku, atau karena kau melihat... aku?"
Wijaya menutup matanya sejenak, rasa sakit terlihat jelas di wajahnya. Dia tidak bisa memberikan jawaban yang mudah, karena pada mulanya, tugasnya memang melindunginya karena kekuatan yang dia miliki.
"Aku tidak bisa memisahkan keduanya, Ratih," bisik Wijaya, tulus tetapi tidak memuaskan. "Api Biru ada di dalam dirimu, tetapi engkau yang menjadikannya berharga. Tidak peduli apa yang dikatakan Natan, pilihanku adalah murni. Keintiman yang dia rasakan adalah... ingatan kuno. Dia bukan pesaing."
Ratih menatap matanya, mencoba mencari bayangan kebohongan. Dia tidak menemukannya. Namun, ia juga tidak menemukan pembenaran yang ia butuhkan. Sesuatu telah pecah.
Dia mundur selangkah. "Baiklah. Ayo kembali. Jaya dan Dara menunggu."
Mereka kembali ke kemah dalam keheningan yang lebih dalam, dan perpecahan itu melebar, tersembunyi di balik senyum lelah dan gerakan hati-hati.
Setelah dua hari mendaki, mereka mencapai wilayah Kabut Biru. Di atas mereka, Pegunungan Bintang Jatuh bersinar: kristal-kristal raksasa mencuat dari batu, memancarkan cahaya biru pucat yang dingin di malam hari.
"Pusara Air Mata pasti ada di suatu tempat di sana," kata Dara, menunjuk ke formasi kristal terbesar, yang terbungkus kabut.
Saat mereka mendekat, kabut itu menjadi lebih tebal, dan udara menjadi sedingin es. Ratih merasakan Liontin Api Biru bereaksi kuat, bukan dengan kehangatan yang biasa, tetapi dengan getaran yang menyakitkan.
"Liontin ini bereaksi," bisik Ratih, berlutut dan meletakkan tangannya di atas tanah berbatu. "Ini... memanggil. Ini tempat perpecahan itu. Aku bisa merasakannya."
Wijaya menghunus pedangnya. "Kita harus masuk. Kabut ini adalah perisai sihir. Jaya, Dara, awasi sisi kanan. Ratih, kau di depanku. Biarkan Liontin itu memandumu."
Mereka melangkah ke dalam Kabut Biru. Di dalam, visibilitas turun menjadi nol. Mereka bergerak maju, hanya mengandalkan suara masing-masing dan cahaya samar dari Liontin Ratih.
Tiba-tiba, dari kegelapan, muncul suara. Bukan suara penjaga, melainkan tangisan yang dalam, sedih, dan meratap—seperti suara patah hati kosmik yang menggema di kristal.
"Suara itu..." Dara menggigil. "Ini memori kepedihan, seperti yang Natan katakan."
Saat tangisan itu menguat, Liontin Mata Ketiadaan Ratih mulai menyala, memancarkan cahaya hitam yang bergetar. Liontin Api Biru berjuang untuk mengatasinya, tetapi Ketiadaan terlalu dekat.
Ratih tersandung, tubuhnya tiba-tiba terasa berat, seolah-olah semua kesedihan alam semesta menimpanya. Kemudian, tangisan itu menargetkan emosi pribadinya. Dia mendengar bisikan dingin, suara yang sama yang diucapkan Natan di Aeloria:
"Wijaya akan mengkhianatimu. Kewajiban akan selalu lebih kuat daripada cinta. Dia hanya membutuhkan wadah... Dia akan membiarkanmu memudar."
Kecemburuan, yang selama ini hanya berupa dingin, kini membeku menjadi tekad yang pahit. Ratih mengangkat Liontin Mata Ketiadaan, dan energi hitam menyelimuti tangannya.
"Ratih, jangan!" seru Wijaya dari belakangnya.
Namun, Ratih sudah mengarahkan Liontin itu ke depan, ke dalam kabut. Energi Mata Ketiadaan murni—energi Perpecahan—menghantam dinding kabut.
Kabut itu bereaksi dengan teriakan yang menusuk. Dalam sekejap, kabut di depan mereka tersapu bersih, memperlihatkan sebuah gua raksasa yang interiornya bersinar dengan jutaan kristal kecil yang bergetar.
Di pusat gua, di atas kolam air yang jernih, mengambang sebuah Liontin ketiga—Liontin Ungu.
"Liontin Penolak!" seru Dara.
Namun, jalan itu tidak kosong. Di tepi kolam, berdiri dua sosok, memunggungi mereka. Mereka mengenakan jubah abu-abu dan memegang tongkat bercahaya—jauh lebih kuno dan lebih kuat daripada para Penjaga Sunyi di Aeloria.
Sosok-sosok itu berbalik. Wajah mereka adalah topeng tulang yang dingin dan mata mereka memancarkan cahaya Ungu yang intens.
"Kalian tidak boleh bersatu," kata salah satu suara, beresonansi dengan kekuatan yang mengguncang kristal. "Perpecahan adalah Keseimbangan. Kami adalah Penjaga Sejati dari Pusara Air Mata."
Pertempuran terakhir mereka telah dimulai, bukan hanya melawan Penjaga Sejati, tetapi juga melawan keraguan dan rasa sakit yang ditanamkan oleh bayangan Natan. Ratih harus berjuang, mengendalikan dua kekuatan kosmik, sambil mempertanyakan pria yang berdiri di belakangnya. Misi telah menjadi pribadi, dan pengkhianatan mungkin lebih berbahaya daripada Void itu sendiri.
Natan tersenyum sendu, tetapi kali ini hanya untuk Ratih. "Hati-hati, Penjaga Api Biru. Kau tidak akan pernah tahu bayangan apa yang akan dilepaskan oleh Liontin itu, bahkan dari orang yang paling kau percayai."
Wijaya menghunus pedangnya dan memberikan isyarat kepada timnya. "Rencana diubah. Kita langsung ke Pegunungan Bintang Jatuh. Pusara Air Mata."
Mereka berempat bergerak keluar, meninggalkan Natan sendirian di Ruang Pengetahuan. Ratih berjalan di belakang Wijaya, matanya lurus ke punggungnya. Liontin Mata Ketiadaan yang dipegangnya terasa semakin dingin, seolah-olah menyerap kecemburuan yang baru lahir di hati Ratih dan mengubahnya menjadi kekosongan yang dingin.
Mereka sudah selangkah lebih dekat ke kemenangan, tetapi ancaman baru telah muncul: kebenaran masa lalu Wijaya, dan perpecahan yang tumbuh di dalam tim.