NovelToon NovelToon
Perempuan Yang Tak Boleh Dipanggil Ibu

Perempuan Yang Tak Boleh Dipanggil Ibu

Status: sedang berlangsung
Genre:Poligami / Selingkuh / Ibu Mertua Kejam / Era Kolonial
Popularitas:8.6k
Nilai: 5
Nama Author: Hayisa Aaroon

1927. Ini kisah tentang seorang garwo ampil (istri selir) yang melahirkan anak yang tak boleh memanggilnya ibu.

Ini kisah tentang lebarnya jurang bangsawan dan rakyat kecil,
tapi bukan semata-mata tentang ningrat yang angkuh atau selir yang hina.

Ini kisah tentang perempuan yang kehilangan haknya di era kolonial, terbentur oleh adat dan terkungkung kuasa lelaki.

Ini kisah tentang bagaimana perempuan belajar bertahan dalam diam, karena di masa itu, menangis pun tak akan menggetarkan hati siapapun yang haus akan derajat.

Dilarang plagiat, mengambil sebagian scene atau mendaur ulangnya menjadi bentuk apapun. Apabila melihat novel serupa, tolong lapor ke IG/FB: @hayisaaaroon.

Novel ini bukan untuk menghakimi, melainkan untuk menyuarakan mereka yang dibungkam sejarah; perempuan-perempuan yang terkubur dalam catatan kaki, yang hidupnya ditentukan oleh kehendak patriarki yang mengatasnamakan adat, agama, dan negara.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hayisa Aaroon, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

10. Istri Marius

"Ada keperluan apa?"

Pariyem turun dari dokar, mendekati gerbang dengan tergesa. Tangannya mengatup membentuk sembah.

"Saya ... saya mau bertemu dengan Tuan Asisten Residen. Ada hal penting yang harus saya sampaikan."

"Nama?"

"Pariyem. Dari dalem Prawiratama. Rumah lama Ndoro Gusti Bupati."

Penjaga itu mengerutkan dahi. "Tunggu di sini."

Pariyem menunggu dengan jantung berdebar. Matahari sudah condong ke barat, cahayanya keemasan menyapu halaman rumah yang rapi. Di kejauhan, terdengar tangisan bayi.

Tidak lama, pintu rumah terbuka. Penjaga gerbang berlari ke arah Pariyem, membukakan gerbang.

Marius Vecht keluar sambil melemparkan pandnagan ke arah gerbang, masih mengenakan seragam dinas putih lengkap dengan emblem di dada.

Tapi yang membuat Pariyem terpaku adalah bayi dalam gendongannya yang dibalut selimut putih, sedang menangis kencang.

Dari arah taman, seorang perempuan tua kisaran lima puluhan dengan kebaya lurik mendekat dengan tergesa.

"Tuan, biar saya yang gendong."

Babu itu membawa bayi ke arah taman di mana terdengar suara anak-anak tertawa. Tangisan perlahan menjauh meski masih terdengar samar.

Dari balik batang pohon besar di taman, Pariyem melihat sepasang mata mengintip. Anak perempuan kecil berusia sekitar tujuh tahun dengan rambut pirang dikepang dua, mengenakan gaun putih. Matanya—hijau seperti ayahnya—memandang penuh rasa ingin tahu.

Di balik pohon yang sama, Pariyem melihat anak laki-laki lain—sekitar dua belas tahun, juga berambut pirang, masih bersembunyi, hanya kepalanya yang terlihat.

Marius menghela napas panjang, mengusap wajahnya dengan tangan. Baru kemudian dia benar-benar memperhatikan Pariyem.

Mata hijaunya melebar sedikit, jelas terkejut. Pariyem yang biasanya berpakaian layak seorang selir—kebaya sutera, perhiasan emas, kini berdiri di hadapannya dengan pakaian sangat sederhana. Seperti perempuan kampung.

"Maaf membuat Anda menunggu lama, Nyonya Pariyem," ujarnya pelan. "Ada keperluan apa? Anda ... baik-baik saja?"

"Tuan," Pariyem berjongkok—posisi paling rendah untuk menunjukkan penghormatan—dengan kedua tangan mengatup membentuk sembah. "Mohon maaf mengganggu waktu Tuan. Saya ... membutuhkan bantuan Tuan."

"Nyonya, bangkit. Jangan seperti itu." Marius terdengar tidak nyaman.

Tapi Pariyem tidak beranjak. "Saya mohon, Tuan. Hanya Tuan yang bisa membantu saya."

Marius menghela napas. "Baiklah. Mari kita bicara di dalam. Kita tidak bisa bicara di sini."

Pariyem bangkit dengan hati penuh harap, mengikuti Marius yang berjalan sambil memeriksa jam saku emas.

Pariyem memperhatikan sekeliling. Aroma khas tanah yang baru disiram berbaur dengan wangi bunga-bunga.

Rumah itu besar. Taman dengan rumput hijau yang dipangkas rapi, bunga-bunga tropis yang tidak pernah dilihat Pariyem sebelumnya, air mancur kecil yang gemericik. Semuanya begitu tertata, begitu berbeda dengan taman Jawa yang lebih natural.

Marius membawanya masuk ke rumah melalui pintu samping. Lorong luas dengan lantai marmer mengkilap. Lukisan-lukisan besar di dinding.

Lampu kristal menggantung di langit-langit. Pariyem tidak pernah melihat kemewahan seperti ini.

Mereka masuk ke sebuah ruangan yang tampaknya ruang kerja, disambut bau khas kertas tua dan tinta. Meja besar dari kayu gelap dengan tumpukan dokumen.

Rak buku setinggi langit-langit memenuhi satu dinding. Kursi kulit yang tampak empuk. Jendela besar menghadap ke taman belakang.

Peta-peta tergantung di dinding, dan foto seorang perempuan cantik berambut pirang di atas meja.

"Silakan duduk," kata Marius sambil menunjuk kursi di depan meja.

Tapi Pariyem ragu. Duduk di kursi sebagus itu? Dia yang hanya pelayan?

"Silakan," ulang Marius lebih tegas.

Pariyem akhirnya duduk di ujung kursi, punggung membungkuk, tangan dilipat rapat di pangkuan.

Pertama kalinya dia duduk sejajar dengan pejabat Belanda, bukan bersimpuh di lantai.

Pandangannya dengan canggung tertuju ke arah jendela, mencari-cari. "Maaf, Tuan ... Nyonya di mana?"

Marius yang baru akan duduk tiba-tiba berhenti. Gerakannya membeku sesaat. Lalu dia berbalik, menatap Pariyem dengan senyum sedih.

"Istriku meninggal. Setelah melahirkan."

Hening.

Pariyem terdiam. Tidak menyangka. Tapi kini ia mengerti mengapa Marius tampak peduli dengannya, ia baru kehilangan istri. "Maafkan saya, Tuan. Saya tidak tahu—"

“Tidak apa.” Dia duduk perlahan di kursinya, memandang ke arah jendela. Cahaya sore menyapu wajahnya yang tampak lebih tua dari usianya.

"Ironis, bukan?" ujarnya pelan, masih dalam bahasa Melayu yang fasih. "Ada ibu yang harus berpisah dari anaknya karena adat yang kejam. Ada ibu yang berpisah dari anaknya karena kematian yang lebih kejam lagi."

Suaranya terdengar serak. Ada luka di sana yang belum sembuh.

"Dunia ini memang kejam, Nyonya Pariyem. Baik di Eropa maupun di Hindia. Baik untuk orang Belanda maupun orang Jawa. Kematian dan adat. keduanya sama-sama merenggut."

Mata hijaunya kembali menatap Pariyem. Kali ini ada pengertian di sana yang membuat hati Pariyem hangat sekaligus perih.

"Saya minta maaf datang tanpa pemberitahuan, Tuan," ucap Pariyem dengan suara bergetar, tak tahu harus bagaimana menimpali kata-kata pedih Marius. "Saya ... putus asa. Saya sudah mencoba masuk ke komplek tempat tinggal bupati tapi tidak bisa. Saya hanya ingin melihat anak saya, Tuan. Sebentar saja. Dia sudah hampir dua bulan. Saya tidak tahu seperti apa wajahnya sekarang. Oleh sebab itu saya datang kemari, memohon belas kasihan Tuan."

Marius bersandar di kursinya, jari-jari bertautan di depan dada. Mata hijaunya memperhatikan Pariyem dengan saksama. Ada sesuatu dalam tatapannya yang berbeda, seperti sedang menimbang.

"Saya bisa membantu," ucapnya perlahan. "Tapi ...."

"Saya akan melakukan apa saja, Tuan!" Pariyem hampir melompat dari kursi saking senangnya. "Apa saja!"

"Apa saja?" Marius mengangkat alis. "Itu kata-kata berbahaya, Nyonya."

Dia berdiri, berjalan ke jendela, memandang keluar di mana anak-anaknya bermain di taman dengan pengasuh.

"Saya kehilangan istri saya, sebulan lalu," ucapnya tanpa menoleh. "Pendarahan setelah melahirkan. Dokter tidak bisa berbuat apa-apa."

Pariyem terdiam, tidak tahu harus berkata apa.

"Bayi kami, sehat. Tapi dia tidak akan pernah kenal ibunya. Sama seperti putra Anda yang tidak akan pernah kenal Anda jika sistem ini terus berlanjut."

Marius berbalik, menatap Pariyem dengan intens.

"Tapi ada hal-hal yang lebih besar dari kehilangan pribadi kita, Nyonya Pariyem. Ada ... ketidakadilan yang harus diluruskan."

"Saya tidak mengerti, Tuan." Pariyem bingung dengan arah pembicaraan.

Marius kembali duduk, mencondongkan tubuh ke depan. "Saya baru mendapatkan informasi bahwa ada sesuatu yang tidak beres di kadipaten. Kematian Bupati Sunarto yang tiba-tiba sehingga suami Anda yang kemudian mengisi jabatan bupati. Ditambah gaya hidup ibu Bupati Soedarsono yang sangat mewah, menyamai istri pejabat tinggi Belanda, saya tidak yakin itu murni dari hasil sendiri.”

Pariyem tersentak.

"Dan saya butuh bukti. Informasi dari dalam." Mata hijau itu menatap tajam. "Dari seseorang yang dekat dengan Bupati Soedarsono. Seseorang yang paling lama di sisinya. Seseorang yang tidak akan dicurigainya."

Pariyem mulai mengerti. "Tuan ingin saya ...."

1
Ricis
tetaplah waspada Yem, jangan ceroboh & mudah percaya dgn orang
Lannifa Dariyah
pariyem k t4 sumi, apa akan menggoda Martin juga?
oca
aku juga mules yem,takut kamu di apaapain😬
oca
jangan2 suruhan kanjeng ibu
oca
pinteeer kamu yem
SENJA
naaah gitu le jangan cuma nunduk2 aja,,, protes! tanya! 😙
oca
neeeh kumat merasa berjasa🤣
oca
🤭🤭🤭🤭
🌺 Tati 🐙
pokonya hati2 dan waspada Yem,mau dia baik tetep kita harus hati2
SENJA
buset pemikirannya gini amat yak 😂 astaga miris ya
SENJA
ddihhh jahat banget yah 🥺😑
SENJA
hmmn tugasmu yem buat ngorek2 tapi harus hati2 yem 😂
SENJA
kamu kan laki2 kamu imam lho! masa cemen gini yak ternyata 😪😂
SENJA
addduh sayang kau tak bisa baca tulis yem 😑
SENJA
deal sudah ! pinter juga kau yem 👌
Eniik
❤❤❤
Fitriatul Laili
mau diracun ya kayaknya
Kenzo_Isnan.
oalah yem yem karma dibayar tunai ,,tp kok yo melas men yem yem ra tegel q ngikuti kisah mu sek sabar yo yem yem
Kenzo_Isnan.
lanjut kak ayoo semagaaattt 💪💪💪💪
🌺 Tati 🐙
ditunggu kabar sumi dan keluarga besarnya...yem sekalian kamu minta maap sama sumi,kalau perlu minta bantuan sumi
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!