Di sebuah desa kecil di lereng Gunung Sumbing, Temanggung, hidup seorang pemuda bernama Arjuna Wicaksono. Sejak kecil, ia hanya tinggal bersama neneknya yang renta. Kedua orang tuanya meninggal dalam sebuah kecelakaan saat ia masih balita, sementara kakeknya telah lama pergi tanpa kabar. Hidup Arjuna berada di titik terendah ketika ia baru saja lulus SMA. Satu per satu surat penolakan beasiswa datang, menutup harapannya untuk kuliah. Di saat yang sama, penyakit neneknya semakin parah, sementara hutang untuk biaya pengobatan terus menumpuk. Dihimpit keputusasaan, Arjuna memutuskan untuk merantau ke Jakarta, mencari pekerjaan demi mengobati sang nenek. Namun takdir berkata lain. Malam sebelum keberangkatannya, Arjuna menemukan sebuah kotak kayu berukir di balik papan lantai kamarnya yang longgar. Di dalamnya tersimpan cincin perak kuno dengan batu safir biru yang misterius - warisan dari kakeknya yang telah lama menghilang. Sejak menggunakan cincin itu, kehidupanNya berubah drastis.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon RivaniRian21, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 25 Bang Jago atau Sok Jago?
Pagi hari di proyek pembangunan terasa berbeda. Kabar tentang prestasi Arjuna sudah menyebar di antara para pekerja dari mulut Pak Tarno. Kini, setiap kali Arjuna lewat sambil memanggul semen, ia tidak lagi menerima tatapan aneh, melainkan anggukan penuh hormat dan senyum penyemangat. Arjuna merasa diterima, ia merasa menjadi bagian dari sebuah keluarga baru. Ia bekerja dengan ritme yang lebih ringan, hatinya dipenuhi rasa syukur.
Namun, suasana damai itu tidak bertahan lama.
Sekitar pukul sepuluh pagi, saat matahari mulai meninggi, segerombolan besar pria berpenampilan sangar tiba-tiba memasuki area proyek. Mereka datang dengan beberapa motor yang diparkir sembarangan di depan gerbang, menghalangi jalan. Jumlah mereka banyak, sekitar tiga puluhan orang, membuat para pekerja yang sedang sibuk langsung menghentikan aktivitas mereka.
Wajah-wajah para pekerja langsung berubah tegang. Mereka saling berbisik, beberapa bahkan langsung menyingkir, mencoba tidak menarik perhatian. Ini adalah pemandangan yang mereka takuti, namun sudah mereka duga akan terjadi. Preman wilayah.
Seorang pria berbadan tegap dengan bekas luka di pipi, yang tampaknya adalah pemimpin mereka, berjalan dengan angkuh menghampiri Pak Tarno yang sedang memeriksa pondasi.
"Pagi, Pak Mandor," sapa pemimpin preman itu dengan senyum sinis. "Proyeknya lancar sekali ya, kelihatannya. Pembangunannya ngebut."
Pak Tarno menghela napas, wajahnya langsung terlihat repot dan tertekan. "Selamat pagi, Bang Jago," jawabnya, mencoba terdengar tenang. "Ya, beginilah, Mas. Dikejar target."
"Bagus, bagus," kata preman bernama Jago itu. "Biar targetnya makin lancar, biar proyeknya aman sentosa tidak ada gangguan... jangan lupalah 'uang koordinasinya' sama kita-kita yang jaga keamanan wilayah sini."
Para pekerja yang mendengar itu hanya bisa diam, menundukkan kepala. Mereka tahu apa artinya kata-kata itu. Uang keamanan. Uang preman.
"Begini, Bang Jago," Pak Tarno mencoba bernegosiasi. "Proyek ini kan juga baru jalan. Dananya masih sangat terbatas. Untuk yang begitu-begituan, kami belum ada anggarannya. Mohon pengertiannya..."
Tawa kasar terdengar dari Jago dan anak buahnya. "Pengertian?" katanya. "Pengertian kami itu mahal, Pak Mandor. Kalau tidak ada uang koordinasi, bagaimana kami bisa menjamin kalau semen-semen ini tidak hilang nanti malam? Atau kalau alat-alat berat ini besok pagi masih ada di sini?"
Ancaman itu begitu jelas. Beberapa anak buah Jago bahkan mulai bertingkah. Ada yang dengan sengaja menendang tumpukan bata hingga berjatuhan, ada yang menggoda para pekerja dengan tatapan mengintimidasi. Suasana menjadi sangat mencekam.
Arjuna, yang sejak tadi mengamati dari kejauhan, meletakkan karung semen yang ada di bahunya. Hatinya terasa panas. Ia melihat wajah ketakutan rekan-rekan kerjanya. Ia melihat Pak Tarno yang pucat dan bingung harus berbuat apa. Orang-orang ini telah menerimanya dengan baik. Tempat ini telah memberinya harapan dan upah pertamanya. Ia tidak bisa hanya diam dan menonton.
Dengan langkah mantap, ia berjalan mendekat, melewati para pekerja yang mencoba menahannya dengan isyarat mata. Ia berhenti tepat di samping Pak Tarno, berhadapan langsung dengan Jago dan puluhan anak buahnya.
"Wih, ada pahlawan baru?" ejek Jago, menatap Arjuna dari atas ke bawah. "Anak siapa ini, Pak Mandor? Kuli baru? Nggak usah ikut campur urusan orang tua, Dik. Nanti susu ibumu di rumah bisa basi."
Tawa kembali membahana. Namun Arjuna tetap tenang.
"Bapak-bapak ini semua sedang bekerja mencari nafkah untuk keluarga mereka," kata Arjuna, suaranya terdengar jelas dan tenang di tengah ketegangan itu. "Sama seperti Abang-abang sekalian, yang saya yakin juga punya keluarga yang harus dinafkahi."
Jago berhenti tertawa, sedikit terkejut dengan nada bicara Arjuna yang tidak menunjukkan rasa takut.
Arjuna melanjutkan, "Proyek ini memberikan pekerjaan bagi banyak orang. Kalau proyek ini diganggu, bisa jadi akan berhenti. Kalau berhenti, semua orang di sini akan kehilangan pekerjaan. Semua orang rugi. Apa tidak ada cara yang lebih baik untuk mencari rezeki daripada harus merugikan orang lain yang juga sedang berjuang?"
Argumen logis dan tenang dari seorang pemuda kurus di hadapan tiga puluh preman itu adalah sebuah pemandangan yang ganjil. Jago menatapnya lekat, amarah mulai terlihat di wajahnya karena merasa digurui.
"Cara yang lebih baik?" Jago menyeringai, memperlihatkan giginya yang kuning. "Cara yang lebih baik itu adalah kamu minggir dari hadapan saya sebelum muka kamu saya buat rata dengan tanah ini!"
Jago mendorong dada Arjuna dengan kasar. "Dengar ya, bocah! Di sini kami yang membuat aturan!"
Arjuna hanya sedikit terhuyung ke belakang. Ia menatap Jago, lalu menyapu pandangannya ke arah tiga puluh anak buahnya yang sudah siap menerkam. Dialog telah berakhir. Argumentasi tidak lagi berguna.
Ia hanya menghela napas pelan. Sepertinya, hari ini ia terpaksa harus sedikit "berolahraga" lagi.
Dorongan kasar dari Bang Jago membuat Arjuna sedikit terhuyung, namun kakinya tetap menancap kuat di tanah. Ia hanya menatap balik, ekspresinya bukan marah atau takut, melainkan... sedikit kecewa. Seolah ia berharap akan menghadapi lawan bicara yang lebih cerdas.
Ketenangannya yang ganjil itu justru menyulut amarah Bang Jago dan anak buahnya.
"HAHAHA! Lihat anak ingusan ini! Disentuh dikit aja udah kayak patung!" ejek salah satu preman.
"Pahlawan kesiangan dari kampung mana lo, hah?!" sahut yang lain. "Badan kayak tusuk sate aja gayanya selangit! Mending pulang, Dik, bantu ibumu di dapur!"
Gelombang hinaan dan tawa kasar terus menerpanya. Mereka mengepungnya, melontarkan segala macam ejekan untuk meruntuhkan mentalnya. Para pekerja proyek yang lain tampak semakin cemas. Pak Tarno, dengan wajah pucat, menarik lengan Arjuna dengan paksa.
"Jun, sudah, Jun! Jangan diladeni, ayo minggir!" bisik Pak Tarno dengan suara gemetar. "Ini bukan urusanmu, Nak! Biar Bapak yang urus! Nyawamu bisa melayang nanti!"
Arjuna menoleh pada Pak Tarno. Ia melihat ketulusan dan ketakutan yang nyata di mata mandornya itu. Dengan lembut namun tegas, Arjuna melepaskan genggaman tangan Pak Tarno dari lengannya.
"Tidak apa-apa, Pak," katanya, suaranya tetap tenang dan mantap, memberikan kepercayaan diri yang aneh. "Serahkan pada saya."
Ia lalu kembali memfokuskan seluruh perhatiannya pada Bang Jago, seolah puluhan preman lain di sekelilingnya hanyalah bayangan tak berarti.
"Berteriak-teriak dan mengeroyok orang yang lebih lemah tidak akan membuat kalian terlihat kuat," ujar Arjuna. Kata-katanya keluar dengan enteng, tanpa beban, namun setiap suku katanya terdengar jelas dan tajam. "Itu hanya menunjukkan kalau kalian semua sebenarnya penakut."
Wajah Bang Jago langsung memerah padam. Hinaan telak seperti itu, diucapkan oleh seorang anak kecil di depan semua anak buahnya, adalah sesuatu yang tak bisa ia terima.
"APA KAU BILANG, BOCAH?!" geramnya.
"Aku bilang, kau penakut," ulang Arjuna, tanpa menaikkan nada suaranya sedikit pun. Ia lalu melanjutkan dengan santai, "Begini saja, tidak usah ramai-ramai. Buang-buang tenaga. Antara kau... dan aku."
Jari telunjuk Arjuna teracung lurus, menunjuk tepat ke wajah Bang Jago.
"Satu lawan satu," lanjutnya. "Kalau aku kalah, aku akan serahkan semua upah kerjaku hari ini dan tidak akan pernah muncul di sini lagi. Tapi..." Arjuna membiarkan jeda itu menggantung, menyapu pandangannya ke seluruh anak buah Jago. "...kalau kau yang kalah, kau dan semua temanmu ini angkat kaki dari sini. Jangan pernah kembali, dan jangan pernah mengganggu para pekerja ini lagi. Bagaimana? Kau berani?"
Hening.
Seluruh area proyek senyap seketika. Para pekerja menatap Arjuna tak percaya. Pak Tarno memegangi kepalanya, mengira Arjuna sudah benar-benar gila.
Lalu, keheningan itu pecah.
"BUAHAHAHAHAHAHA!"
Bang Jago tertawa terbahak-bahak, tawanya begitu keras hingga ia harus memegangi perutnya. Anak buahnya yang tadinya tegang kini ikut tertawa, menganggapnya sebagai lelucon paling lucu yang pernah mereka dengar.
"Kamu?!" Jago menunjuk Arjuna sambil menyeka air mata di sudut matanya. "Mau duel satu lawan satu... lawan aku?!" Ia menepuk-nepuk dadanya yang bidang. "Anak kecil, kamu tahu tidak aku ini siapa? Aku bisa mematahkan lehermu itu dengan satu tangan sebelum kamu sempat berkedip!"
Arjuna hanya diam, menunggu tawa itu mereda.
Melihat Arjuna yang tidak gentar sama sekali, ego Bang Jago semakin terbakar. Menghajar anak ini satu lawan satu di depan semua orang adalah cara terbaik untuk memberinya pelajaran sekaligus menaikkan pamornya. Sebuah kemenangan mudah yang akan jadi tontonan menarik.
"BAIK!" seru Bang Jago, tawanya kini berubah menjadi seringai kejam. "Aku terima tantanganmu, bocah bodoh! Sebuah kehormatan bisa mematahkan tulang pahlawan kesiangan sepertimu!"
Ia memberi isyarat pada anak buahnya. "Mundur semua! Beri kami tempat! Biar anak ini dapat pelajaran yang tidak akan pernah ia lupakan seumur hidupnya!"
Anak buahnya dan para pekerja proyek serempak mundur, secara otomatis membentuk sebuah arena dadakan di tengah lahan proyek yang berdebu. Panggung telah disiapkan. Di satu sisi, berdiri Bang Jago, preman sangar penguasa wilayah. Di sisi lain, berdiri Arjuna, pemuda kurus dari desa. Duel yang tampak sangat tidak seimbang itu akan segera dimulai.
biar nulisny makin lancar...💪