Saat hidup dikepung tuntutan nikah, kantor penuh intrik, dan kencan buta yang bikin trauma, Meisya hanya ingin satu hal: jangan di-judge dulu sebelum kenal. Bahkan oleh cowok ganteng yang nuduh dia cabul di perempatan
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bechahime, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Di Antara Sakit dan Kesadaran, Aku Menemukan Dia (Bagian 2)
“Nanti kita bahas. Yang penting lo masih hidup.”
Tiba-tiba suaranya mengecil, tangannya menyentuh pundakku, dan—
“Gue pikir lo kenapa-napa. Gue syok pas nelpon lo dan yang ngangkat cowok. Gue kira lo memutuskan kawin lari karena stress. Pas tau itu Felix, gue mau langsung datang tapi dia malah memarahi gue. Lo tau? Dia marah dengan suara dingin yang bikin gue membeku sampai ke tulang.”
Aku terdiam. Tidak tahu apakah harus memarahi gadis itu atau bersimpati karena di marahi oleh Felix.
“Gue heran kenapa lo bisa deket sama cowok modelan ‘Elsa dari kartun Frozen’ begitu. Untung wajahnya—oh.”
Dia terdiam.
Kemudian mendekapku dengan satu tangan, dan saat aku lihat dari dekat…matanya merah. Pipinya basah. Tapi dia pura-pura sibuk ngelap sisa mascara.
“Gue gak nyangka kalo visualnya lebih cakep dari yang lo ceritain, tapi sayang karakternya minus. Menurut gue, dia cuma baik sama lo doang.”
Aku tertawa pelan. “Lo nggak takut orang yang lo ghibahin nongol di belakang?”
“Dia tadi udah keluar dan ketemu sama gue di pintu. Dia bahkan melototi gue…kayak gue mau ambil milik dia aja. Terus bilang ‘gue ngizinin lo, karena lo temannya. Jadi kalo lo udah selesai sebaiknya lo cepat pulang’ gitu. Bahkan dengan gaya khas datar dan dinginnya.”
Aku tertawa. Pengennya ketawa kencang. Tapi karena tubuhku masih lemah, jadinya hanya ketawa kayak orang nggak niat.
“Okee… mari kita mulai analisis kita.”
Dia mengeluarkan sticky note dari amplop yang bertulisan ‘plan A’ dan ‘plan B’.
Kemudian mulai menempel di dinding kamar. Aku menatap langit-langit. Tidak habis pikir dengan ke absurdan dia.
“Rahma… kita lagi di rumah orang. Lo jangan anaeh-aneh.”
“Gue nggak aneh-aneh. Pertama—.” Dia menunjuk ke sticky note warna kuning bertuliskan nama Mas Johan dan penilaian objektif Rahma.
“Gue udah menyelidiki Mas Johan dan gue 100% yakin dia tertarik sama lo. Lalu yang kedua—.” Dia menunjuk ke sticky note berwarna pink dengan nama Felix dan penilaiannya.
“Nggak mungkin Felix cuma nganggep lo temen dengan kejadian ini, teman mana yang se-care itu buat jagain lo coba?”
Dia mengangkat tangannya ke udara dengan bahu di angkat. Layaknya seorang detektif yang telah memecahkan kasus paling rumit.
“Lo…temen yang se-care itu lo, Ma.”
“Gue beda…gue nggak temen lo. Gue sodara lo.”
Dia menunjuk dada dengan bangga. Aku kehabisan kata-kata.
“Udah, cabut sticky notenya. Nanti Felix keburu balik.”
“Cih, dia nggak akan pulang secepat itu—tapi gue masih penasaran. Kok dia ada di halte pas lo pingsan? Kantor dia kan beda arah sama lo?”
Aku terdiam. Sebenarnya yang di bilang Rahma sudah jadi pertanyaanku sejak aku bangun, tapi masih belum sempat bertanya.
“Iya…gue juga gak ngerti. Tapi dia gak cerita. Gue gak sempet juga nanya.”
Kami saling pandang.
Ada sunyi.
Lalu kami berseru secara bersamaan.
“ATAU JANGAN-JANGAN DIA NGIKUTIN LO/GUE?”
“ATAU DIA EMANG UDAH NYARIIN LO KARENA DIA NGIRAIN LO HILANG?”
“Gak mungkin, gua gak ada janji beta testing hari itu.”
“Atau dia punya tracking device—.”
“RAHMA.”
“OKE. Maaf. Kegedean teori.”
**
Felix kembali saat Rahma masih sibuk menjelaskan teorinya tentang Mas Johan dan Felix. Sedangkan aku adalah mahasiswanya yang harus belajar 3 sks supaya dapat ipk 4. Menyimak dengan seksama.
Felix membuka pintu secara tiba-tiba. Dan tentu saja kami terkejut dan kelabakan. Dia melirik ke dinding kamarnya yang penuh sticky note yang bertulisakan namanya dan Mas Johan.
Aku dan Rahma sudah mempersiapkan diri jika Felix marah dan mengusir kami berdua. Tapi anehnya…dia nggak marah. Hanya menatapku. Lalu Rahma.
Dan menghela nafas.
“Paling gak pakai warna yang konsisten. Pink dan kuning bukan warna yang cocok untuk di pasangkan, dan MAS—JOHAN?”
Kami menutup mulut rapat-rapat.
“Barista yang nganter kopi pagi-pagi?”
“Hah?” ujar kami berdua serentak. Lalu saling pandang.
“B-Bagaimana lo tau? A-apa gue pernah bilang saat kita ngobrol? Apa mulut gue sebocor itu?”
Dia diam. Tapi ekspresinya menunjukan bahwa dia keceplosan bicara. Aku menoleh ke Rahma. Rahma juga melirikku, lalu dia menganggukkan kepala.
“Apa lo nge-stalking Meisya?”
Dia tidak menjawab. Tapi melihat kearah Rahma dengan mata melotot.
“Adek Pedro yang kasih tau.”
Aku membeku.
“Pedro? Adek Pedro? Siapa?”
Dia terbatuk kecil. Terlihat tidak nyaman. Tapi hanya beberapa detik. Kemudian kembali ke dirinya yang tenang seperti biasa.
“Pokoknya gue ngak stalking atau apapun itu bahasa absurd kalian.”
Dia menoleh ke Raham, “Sekarang urusan lo udah selesai, jadi sebaiknya lo pulang. Bawa sekalian kertas- kertas itu.”
Rahma mendecakkan lidahnya. Kemudian buru-buru menyingkirkan sticky note.
‘Mereka benar-benar kayak tom & Jerry’ pikirku sambil tertawa kecil.
“Oh ya, Lix. Makasih udah merawat gue selama tiga hari ini. Gue pasti nggak bakal melupakan kebaikan lo. Sekarang gue bakal balik sama Rahma.”
Felix membeku sejenak. Tapi tidak menjawab. Tampaknya dia tidak menyangka kalimat itu akan keluar dari mulutku.
“Kenapa?”
“Gue gak enak terlalu merepotkan lo. Lagi pula, mama gue bisa murka kalau tau gue nginep di tempat cowok. Bisa-bisa lo di paksa buat nikahin gue.”
Suaraku pelan tapi masih ada tawa usil yang terselip di ujung kalimatku.
Dia mengangkat alis dan hendak menjawab tapi duluan ke potong Rahma.
“Mama lo gak bakal setuju sama karakternya Sya. Ck… ck…sia-sia punya wajah kayak gitu.”
Rahma menggelengkan kepala.
“Tapi sekarang, biar giliran gue yang jaga Meisya. Gue bakal rawat dia sampai sehat total. Gue pastikan kebutuhan gizinya terpenuhi dan kebutuhan absurdnya juga. Lo tenang aja.”
Felix mendengus kesal. Dia menatap Rahma seperti hendak memakannya bulat-bulat. Kalau ini adalah medan perang, mungkin pertarungan sengit sudah tidak bisa dihentikan.
“Gue bakal menghubungi lo nanti kok, lo udah melakukan lebih dari sekedar tanggung jawab aja,” ucapku berusaha menenangkan Felix.
Tapi ekspreksinya malah menunjukan sebaliknya. Matanya membelalak tipis, bukan yang meledak. Tapi pupilnya membesar dan menatap tajam. Nyaris seperti sedang ‘scan’ situasi.
“Apa maksudnya?” tanyanya akhirnya, dengan suara yang terlalu tenang untuk seseorang yang baru saja tampak terkejut.
“Maksud gue, gue udah mendingan karena lo merawat gue dengan baik. Jadi mau balik dulu, takut mama gue tiba-tiba datang dan gue nggak di rumah.”
“Bukan yang itu, tapi…” dia berhenti.
Dia tampak bingung sejenak, “Baiklah, tolong rawat dia dengan baik.”
Rahma mengangguk. Kemudian dengan gesit memapahku keluar dari kamar menuju mobilnya.
‘Kenapa Felix tampak sangat terkejut? Apa karena gue menyinggung soal tanggung jawab? Gue tau Felix terlalu berusaha terlihat sempurna untuk menutupi insecurenya, tapi gue nggak menyangka dia akan sekaget itu. Apa bukan karena itu? Apa karena hal lain? Entahlah.’
**
Setelah itu aku sembuh dengan cepat, Rahma benar-benar di sampingku sampai aku sembuh, bahkan Mas Johan juga datang untuk menjenguk dengan wajah khawatir. Dia baru tau kalau aku sakit karena nggak sengaja bertemu Rahma di persimpangan.
Setelah rehat hampir satu minggu, akhirnya aku masuk kerja lagi. Hanya ada satu hal yang masih mengganjal di kepalaku.
‘Siapa adek Pedro yang ngasih tau Felix?’
Tapi aku mengesampingkan itu, karena barusan sekretaris Pak Bram menelponku untuk menemui Pak Bram, Direktur.
Jantungku berdetak dua kali lebih cepat saat aku melangkah ke lantai direksi. Lantai yang biasanya hanya aku datangi saat rapat tahunan, mendadak terasa seperti ruang penghakiman.
‘Tenang Meisya. Ayo kita coba buat positif thinking.’
Aku mengangguk tapi kemudian menghadap dinding dan meyandarkan kepalaku.
‘Positif thingking apaan? Ini udah jelas-jelas sinyal bahaya. Lo boleh positive thinking tapi nggak sekarang.’
Aku menggigit bibir. Dalam kepalaku sudah ada bayangan Pak Bram memecatku karena masalah dengan Natasha.
Aku menarik nafas dalam-dalam. Meyakinkan diri bahwa apapun hasilnya. Aku harus bersiap. Sekalipun harus mencari kerjaan baru.
**