Malam bahagia bagi Dila dan Arga adalah malam penuh luka bagi Lara, perempuan yang harus menelan kenyataan bahwa suami yang dicintainya kini menjadi milik adiknya sendiri.
Dalam rumah yang dulu penuh doa, Lara kehilangan arah dan bertanya pada Tuhan, di mana letak kebahagiaan untuk orang yang selalu mengalah?
Pada akhirnya, Lara pergi, meninggalkan tanah kelahirannya, meninggalkan nama, kenangan, dan cinta yang telah mati.
Tiga tahun berlalu, di antara musim dingin Prancis yang sunyi, ia belajar berdamai dengan takdir.
Dan di sanalah, di kota yang asing namun lembut, Lara bertemu Liam, pria berdarah Indonesia-Prancis yang datang seperti cahaya senja, tenang, tidak terburu-buru, dan perlahan menuntunnya kembali mengenal arti mencintai tanpa luka.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Maple_Latte, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab: 29
“Apa? Aku keguguran, Mas?” Dila terperanjat. Suaranya tercekat saat Arga, dengan mata sembab dan suara gemetar, menyampaikan kabar itu.
“Iya, Dil…” Arga tak sanggup melanjutkan. Kata-katanya hancur bersama air mata yang jatuh satu per satu.
Dila menggeleng cepat, panik, putus asa, seperti menolak menerima kenyataan yang menghantam terlalu keras dan terlalu tiba-tiba.
“Nggak mungkin, Mas. Nggak mungkin aku keguguran. Aku.. aku bahkan nggak hamil.”
Namun kalimat itu berhenti di tengah udara, membentur kembali ke dirinya sendiri. Dalam keheningan ruang rawat yang hanya diisi suara monitor, ingatannya berputar. Dua minggu. Dia telat dua minggu. Dia sempat menganggap tubuhnya hanya kelelahan. Dia pikir siklusnya haidnya sedang kacau.
Dua minggu.
Sekarang semuanya menyatu seperti pukulan di dada.
Air mata yang sejak tadi menahan diri akhirnya luruh begitu saja. Dila menutup wajahnya dengan kedua tangan, bahunya bergetar hebat.
“Ya Allah… aku nggak sadar, aku bahkan nggak sadar aku lagi hamil.” suaranya pecah, lirih tapi menyayat.
Arga mencoba memeluknya, namun Dila menolak bukan karena marah, melainkan karena dirinya sendiri sedang hancur.
“Mas, aku bodoh, bagaimana bisa aku nggak tahu kalau aku lagi hamil?” isaknya pecah menjadi tangis yang lebih keras.
“Aku… aku yang membuat anak kita pergi, Mas Arga.”
Arga menggeleng, cepat, hampir putus asa.
“Bukan salahmu, Dil. Bukan salahmu sedikit pun.” Tetapi Dila sudah terlanjur tenggelam dalam perasaan bersalah yang menyesakkan.
“Sudah, Nak, ikhlaskan saja.” Suara Pak Rahman pelan namun mantap, berusaha menembus tangis histeris yang mengguncang dada Dila. “Mungkin Allah memang lebih sayang sama dia. Kamu dan Arga masih muda. Percayalah, kalau Allah sudah berkehendak, kalian pasti akan diberi keturunan lagi. Banyak, bahkan bisa lebih dari yang kalian bayangkan.”
Dila hanya menggeleng sambil menutup wajahnya dengan kedua tangan. Tubuhnya bergetar, napasnya tersengal. Rasa bersalah menyelimuti seluruh dirinya hingga sulit bernapas.
“Kenapa aku nggak sadar, Pak? Kenapa?” suaranya pecah lagi. “Aku telat dua minggu. Dua minggu! Aku harusnya tahu… harusnya aku peka. Tapi aku malah cuek.”
“Dila, Nak, jangan salahkan dirimu begitu.” Bu Liana meraih bahu Dila, memeluknya pelan, hangat, seolah ingin mengurangi sedikit saja beban yang sedang menindih putrinya. “Iya, Nak. Ikhlas saja. Kadang hal seperti ini terjadi tanpa siapa pun bisa mencegahnya.”
Tidak ada kata yang sungguh-sungguh mampu menenangkan. Tidak ada pelukan yang cukup kuat untuk menahan rasa kehilangan yang tajam itu. Dila merasakan dadanya perih, seakan-akan ada ruang baru yang kosong terbuka di dalam dirinya, ruang yang sebelumnya tidak pernah ia sadari keberadaannya, dan sekarang kosong selamanya.
“Aku sudah jadi ibu, tapi aku bahkan nggak sempat sadar saat anakku masih ada.” gumamnya dengan suara parau. “Aku gagal, Bu… aku gagal jaga dia.”
Bu Liana mengusap punggungnya lembut. “Tidak, Nak. Kamu tidak gagal. Kamu hanya sedang diuji. Dan kamu kuat. Kamu pasti bisa melewati ini.”
Arga berdiri di samping ranjang, matanya memerah, namun ia memegang tangan Dila dengan erat, seakan ingin berkata bahwa mereka akan menghadapi semuanya bersama-sama.
Dua hari kemudian, Dila sudah diperbolehkan pulang karena kondisinya semakin membaik. Wajahnya memang masih pucat, tetapi kini sudah ada sedikit senyum yang mulai kembali, senyum tipis yang muncul setelah malam-malam panjang dipenuhi tangis dan doa.
Arga menggenggam tangan istrinya sepanjang perjalanan menuju ruang dokter. Ada rasa cemas yang masih menggantung di dada mereka berdua, meski Arga berusaha terlihat tenang demi Dila. Sesampainya di dalam ruangan, dokter mempersilakan mereka duduk lalu memeriksa kondisi Dila dengan teliti.
“Secara umum, kondisi fisik Ibu Dila sudah jauh lebih baik,” ujar dokter sambil menutup map pemeriksaan. “Pemulihan pascakuret juga berlangsung cepat. Itu hal yang sangat bagus.”
Dila mengangguk kecil, mencoba tersenyum. Namun, setelah itu dokter terlihat ragu. Wajahnya berubah lebih serius, seperti ada sesuatu yang selama ini dia tahan untuk disampaikan.
“Ada hal penting yang ingin saya bicarakan dengan Pak Arga dan Ibu Dila,” ujarnya akhirnya.
Arga dan Dila saling berpandangan. Dila yang tadinya berusaha menenangkan diri, kini kembali tegang.
“Apa itu, dok?” tanya Dila dengan suara yang hampir bergetar.
Dokter menarik napas pelan, kemudian mulai menjelaskan dengan hati-hati.
“Karena Ibu Dila mengalami keguguran yang disertai perdarahan cukup berat dan perlu dilakukan tindakan kuret, ada sedikit dampak pada kondisi rahimnya.”
Dila menelan ludah. Arga meremas tangannya, memberi keberanian.
“Dampak bagaimana, dok?” tanya Arga.
“Pada proses kuret,” dokter melanjutkan dengan nada profesional namun lembut, “ada area dinding rahim Ibu yang mengalami penipisan dan sedikit luka dalam. Biasanya ini bisa pulih, tetapi pada beberapa kasus, luka tersebut dapat menimbulkan jaringan parut atau perlengketan di dalam rahim, kami menyebutnya sindrom Asherman.”
Dila mengerjap pelan, tidak mengerti sepenuhnya.
“Dan itu berarti apa untuk saya, dok?” Suaranya lirih, takut mendengar jawaban yang lebih menyakitkan.
Dokter menatapnya dengan pandangan empati.
“Itu berarti, kehamilan berikutnya mungkin tidak semudah sebelumnya. Ada kemungkinan Ibu akan sedikit lebih sulit untuk hamil kembali, atau memerlukan terapi tambahan untuk mempersiapkan rahim sebelum program kehamilan.”
Air mata Dila langsung memenuhi pelupuk matanya. Arga cepat memeluk bahunya, meski dirinya sendiri ikut terhenyak.
“Tapi saya harus tekankan,” dokter menambahkan dengan cepat, “ini bukan vonis. Banyak pasien dengan kondisi serupa yang berhasil hamil lagi setelah perawatan. Kita hanya perlu pemantauan ketat dan mungkin tindakan untuk memperbaiki jaringan di rahim jika diperlukan.”
Dila menutup wajahnya, suara isaknya pecah.
“Bukan salah Ibu, dan bukan kesalahan siapa pun,” ujar dokter lembut. “Ini murni komplikasi medis yang bisa terjadi pada siapa saja.”
Arga mengusap punggung Dila, mencoba menahan suaranya agar tidak pecah.
“Kami akan berusaha, dok,” katanya pelan.
Dokter tersenyum tipis. “Dan kami akan mendampingi. Yang paling penting sekarang adalah Ibu Dila pulih dulu secara fisik dan emosional. Setelah itu barulah kita mulai rencana berikutnya.”
Dila hanya bisa mengangguk sambil terisak. Dia tidak percaya hal buruk seperti itu menimpah dirinya.
jd malas bacanya