Pada malam pernikahannya, Hwa-young seharusnya meminum racun yang memulai kehancurannya. Namun, takdir memberinya kesempatan kedua. Ia kembali ke malam yang sama, dengan ingatan penuh akan pengkhianatan dan eksekusinya. Kini, setiap senyum adalah siasat dan setiap kata adalah senjata. Ia tidak akan lagi menjadi pion yang pasrah. Menghadapi ibu mertua yang kejam dan suami yang penuh curiga, Hwa-young harus mengobarkan perang dari balik bayang-bayang untuk merebut kembali takdirnya dan menghancurkan mereka yang telah menghancurkannya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Salsabilla Kim, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Perang yang Sesungguhnya
Napas Tuan Park masih memburu, sisa teror dari bilah pedang algojo yang hampir menyentuh lehernya masih terasa dingin di kulit. Di hadapannya, jari Hwa-young menusuk sebuah titik di utara peta yang terbentang di atas meja rendah. Yi Seon mencondongkan tubuh, matanya menyipit, berusaha mengikuti logika gila yang melompat dari benak istrinya.
“Rempah-rempah?” Suara Yi Seon terdengar ragu, hampir seperti bisikan. “Apa urusannya dengan Garam? Hwa-young, ini tidak masuk akal.”
“Justru karena tidak masuk akal, ibumu tidak akan pernah menduganya,” sahut Hwa-young, cepat dan tajam, sarat dengan urgensi. Matanya tidak lepas dari peta. “Matriarch Kang terlalu arogan. Dia mengunci pelabuhan Selatan dan Timur, jalur perdagangan resmi yang memberinya uang. Dia tidak pernah sudi melirik ke Utara, ke para ‘tikus’ yang menurutnya tidak penting.”
Ia menatap Yi Seon, lalu Tuan Park. “Para penyelundup rempah-rempah ini adalah hantu. Mereka tidak punya izin, tidak membayar pajak, dan sudah bertahun-tahun menertawakan patroli Kang dari bayang-bayang. Mereka adalah jaringan yang paling efisien di negeri ini justru karena mereka ilegal.”
“Tapi mereka menyelundupkan pala dan cengkih, bukan Garam,” bantah Yi Seon, frustrasi mulai merayapi nadanya. Waktu mereka hampir habis.
“Mereka bisa, Yi Seon. Beri mereka alasan, dan mereka akan membawa apapun,” desak Hwa-young. Tatapannya kini tertuju pada Tuan Park. “Tuan Park, Anda yang mengurus perizinan. Anda pasti mendengar desas-desus. Siapa yang mengendalikan jaringan bayangan di Utara?”
Pria itu gemetar, tetapi otaknya bekerja cepat. Melayani Pangeran Mahkota adalah satu-satunya jalan hidupnya yang tersisa. “Ada ... seorang wanita,” katanya terbata-bata. “Mereka memanggilnya Lady Sora. Dia ... dia bukan bangsawan. Itu hanya nama samaran. Dia memimpin sekelompok pedagang kecil yang dibuang oleh serikat resmi. Matriarch Kang membencinya setengah mati karena Sora tidak pernah mau membayar uang perlindungan.”
Hwa-young membeku. Sebuah kilat pemahaman menyambar di matanya, begitu cepat hingga Yi Seon hampir melewatkannya.
“Sora…” bisik Hwa-young, lebih pada dirinya sendiri. Lalu ia menatap Yi Seon, matanya melebar. “Penghubung Chungmae. Sora yang kita kirim ke Utara untuk membeli kayu jembatan.”
Yi Seon terkesiap, seolah udara baru saja direnggut dari paru-parunya. “Jaringan penyelundup itu ... Chungmae?”
“Bukan, tapi mereka adalah sekutu alami kita!” Hwa-young menggeleng, semangatnya kembali berkobar. “Ibuku pernah bercerita tentang mereka. Para pedagang terbuang, sama seperti kita. Mereka bertahan hidup dengan menyelundupkan barang kecil bernilai tinggi seperti rempah-rempah. Kang tidak pernah menganggap mereka ancaman.”
“Sampai sekarang,” sambung Yi Seon, kepingan-kepingan puzzel itu mulai menyatu di benaknya. “Mereka punya modal dari Chungmae.”
“Tepat.” Hwa-young mengangguk tegas. “Sora ada di sana dengan semua uang kita. Lupakan kayu. Dia harus membeli setiap butir Garam dari desa-desa nelayan terpencil yang tidak tersentuh Kang, lalu menggunakan jalur tikus itu untuk membanjiri Ibukota.”
“Tapi ibuku baru saja menenggelamkan kapal suplai,” protes Yi Seon, keraguan kembali menyelimutinya. “Dia pasti sudah menduga kita akan mencari celah lain. Dia akan memperketat Utara!”
“Tidak akan,” potong Hwa-young, matanya berkilat penuh keyakinan. “Dia merasa sudah menang. Dia sedang menikmati kelangkaan Garam yang dia ciptakan. Sekarang, fokusnya adalah politik. Dia akan menyeretmu ke Istana Utama untuk membatalkan penghapusan pajak.”
Yi Seon menghela napas panjang, merasakan beban di pundaknya. Hwa-young benar. Pertarungan berikutnya bukan di perbatasan, tapi di singgasana ayahnya. “Aku harus ke Istana Utama. Sekarang.”
“Tuan Park,” Hwa-young beralih pada mata-mata itu, melembut. “Kembalilah ke persembunyian Anda. Terus kumpulkan informasi. Kami akan menghubungimu melalui Jenderal Kim.”
Pria itu mengangguk patuh, lalu menghilang kembali ke bawah lantai batu yang longgar, seperti hantu yang kembali ke persemayamannya.
Hwa-young meraih tangan Yi Seon. Tangannya dingin, tapi genggamannya kuat. “Kita harus terlihat tenang. Sekalipun di dalam kita terbakar.”
Aroma dupa cendana yang pekat di Aula Kebijakan tidak mampu menyembunyikan ketegangan yang menyesakkan dada. Para menteri berbisik di balik kipas mereka, melirik Pangeran Mahkota dengan campuran rasa takut dan kekaguman. Keputusan Yi Seon membatalkan pajak Gandum dan Minyak tanpa persetujuan Matriarch Kang adalah sebuah deklarasi perang terbuka.
Yi Seon melangkah masuk, Hwa-young setengah langkah di belakangnya, kehadirannya terasa seperti bayangan yang menenangkan sekaligus mengancam. Di atas singgasana, Kaisar tampak seperti cangkang kosong, matanya menatap hampa, boneka yang talinya sudah terlalu usang.
Matriarch Kang tidak menunggu. Begitu melihat mereka, ia melesat maju, jubah sutra hitamnya berdesir seperti sayap gagak.
“Pangeran Mahkota!” menggelegar, memecah kesunyian. “Beraninya kau mempermalukanku! Membatalkan pajak yang sah demi popularitas murahan? Kau menggerogoti keuangan Kekaisaran!”
Yi Seon berdiri tegak, dagunya terangkat. Ia bisa merasakan tatapan seluruh menteri tertuju padanya. Ini adalah momennya. “Matriarch Kang,” balasnya, nadanya dingin dan terukur, seolah setiap kata telah ia latih ribuan kali. “Saya bertindak atas nama rakyat. Pajak 30% adalah bentuk pemerasan yang melanggar Undang-Undang Kesejahteraan Rakyat.”
“Undang-undang itu bisa ditafsirkan!” bentak Kang, menunjuk Yi Seon dengan jari gemetar karena amarah. “Pajak itu untuk membiayai pertahanan yang kau hancurkan! Kau meruntuhkan jembatan! Kau menciptakan kekacauan Garam!”
“Jembatan itu runtuh karena kelalaian infrastruktur Anda,” sahut Yi Seon, matanya tak berkedip. “Dan Garam? Anda yang memberi perintah untuk menenggelamkan kapal suplai di Selatan, bukan saya.”
Keheningan total menyelimuti aula. Matriarch Kang terhuyung mundur selangkah, wajahnya pucat pasi. Ia tidak menyangka Yi Seon akan menuduhnya secara terang-terangan di depan semua orang.
“Fitnah! Itu kebohongan dari mulut Putri Mahkota gilamu itu!” pekik Kang, tatapannya beralih pada Hwa-young, penuh kebencian. “Kau! Kau yang meracuni pikiran putraku! Kau menyebarkan desas-desus, mencuri dokumen, merencanakan kudeta!”
Hwa-young melangkah maju. Gerakannya anggun, wajahnya setenang danau di pagi hari. Ia membungkuk sedikit, sebuah gestur penghormatan yang terasa seperti tamparan.
“Dengan segala hormat, Matriarch Kang,” lembut, tetapi setiap kata mengandung baja. “Tugas saya adalah memastikan Pangeran Mahkota menegakkan keadilan. Bukti korupsi Anda, termasuk skema tanah di Provinsi Barat, ada di tangan saya, tercatat rapi di Buku Besar Keuangan. Saya bisa memastikan setiap menteri di sini mendapatkan salinannya sebelum matahari terbenam.”
Rahang Matriarch Kang mengeras. Ancaman itu telak. Skandal tanah itu akan menjadi akhir dari karir politiknya.
“Kau mengancamku?” desisnya.
“Saya membela kebenaran,” balas Hwa-young. “Batalkan niat Anda untuk mengembalikan pajak itu, dan lupakan tuduhan sihir murahan Anda. Jika tidak, seluruh Ibukota akan tahu bagaimana Anda memperkaya diri sendiri di atas penderitaan rakyat.”
Keringat dingin membasahi pelipis Matriarch Kang. Ia menoleh pada Kaisar, mencari dukungan. “Yang Mulia! Mereka melakukan pengkhianatan!”
Kaisar hanya menghela napas panjang, sebuah gestur kekalahan yang memuakkan.
Yi Seon melihat celah itu dan langsung menerobosnya. “Mandat Kaisar ada pada saya. Keputusan pembatalan pajak ini final!” menggema, penuh kekuatan yang tak pernah didengar siapapun sebelumnya. “Dan soal Garam, saya akan membentuk komite darurat untuk mengatasi krisis yang Anda ciptakan. Saya akan menemukan Garam untuk rakyat!”
Matriarch Kang menatap Yi Seon, bukan lagi sebagai anak tiri yang pasif, melainkan sebagai musuh yang mematikan. Pangeran yang dulu apatis kini telah bangkit, berlindung di balik perisai keadilan yang tidak bisa ia tembus.
“Kau akan menyesal telah memilih jalan ini,” bisik Kang, racun menetes dari setiap katanya. Ia berbalik dan meninggalkan aula dengan langkah marah, Kepala Sekretarisnya bergegas mengikutinya.
“Kita berhasil.”
“Ini baru permulaan,” bisik Hwa-young, matanya menyiratkan kekhawatiran yang dalam. “Dia tidak akan tinggal diam. Dia akan menyerang Chungmae. Dia akan menyerang Sora.”
Benar saja, di kantor pribadinya, amarah Matriarch Kang meledak. Ia melempar vas porselen ke dinding, serpihannya berhamburan seperti rencananya yang hancur.
“Dia tahu segalanya! Buku Besar itu ... bagaimana bisa dia mendapatkannya?” raungnya pada Tuan Choi, Kepala Sekretarisnya yang gemetaran.
“Matriarch, kita harus fokus. Hwa-young tidak mungkin hanya mengandalkan gertakan politik,” kata Tuan Choi, mencoba bernalar.
Kang berhenti mondar-mandir, matanya menyipit licik. “Kau benar. Buku Besar itu hanya pengalihan. Serangan yang sesungguhnya ... Garam. Dia berjanji akan mendapatkan Garam.” Ia berjalan ke arah peta, matanya menyapu seluruh wilayah. “Selatan dan Timur kita kuasai.” Jari-jarinya berhenti di perbatasan utara. “Utara…” bisiknya. “Para penyelundup rempah-rempah sialan itu.”
“Mereka terlalu kecil, Matriarch. Tidak mungkin bisa memenuhi kebutuhan Ibukota.”
“Tidak jika mereka punya uang tak terbatas dari Chungmae,” desis Kang, otaknya bekerja secepat kilat. “Hwa-young mengirim dananya ke Utara. Dia menggunakan para tikus itu untuk membeli Garam dan membanjiri pasar. Cerdik.”
Senyum dingin dan kejam terukir di wajahnya. “Tapi dia lupa satu hal. Aku yang mengendalikan para Jenderal.”
Ia menatap Tuan Choi. “Hubungi Jenderal Jang di perbatasan Utara. Dia pion kita yang paling setia pada uang.”
“Apa perintah Anda?”
“Perintahkan dia untuk menutup seluruh perbatasan Utara. Darat dan air. Alasan? Ancaman invasi dari suku barbar. Tidak ada kereta kuda, tidak ada perahu, tidak ada satupun yang boleh lewat. Cekik jalur suplai mereka sebelum sempat bernapas.”
“Itu akan melumpuhkan perdagangan di sana!”
“Tentu saja,” kata Kang, menikmati rencananya. “Hwa-young mengira dia bisa menyelinap melalui jalur penyelundupan. Dia tidak tahu kalau Jenderal Jang adalah raja di sana. Kita akan menjebak agennya, Sora, bersama semua uang Chungmae.” Matanya berkilat. “Perintahkan Jenderal Jang untuk bergerak. Sekarang!”
Di Paviliun Bulan Baru, Hwa-young sedang menulis pesan darurat untuk Sora ketika Jenderal Kim menerobos masuk, wajahnya pias dan napasnya tersengal.
“Yang Mulia! Putri Mahkota! Kabar buruk dari Utara!”
Hwa-young menjatuhkan kuasnya, tinta hitam menodai kertas perkamen. “Ada apa?”
“Jenderal Jang ... dia telah menutup total perbatasan Utara! Dia mengklaim ada ancaman militer!”
Dunia Hwa-young seakan runtuh. Yi Seon mengumpat pelan. “Dia sudah menduganya!”
“Dia bukan menduga, dia tahu!” seru Hwa-young, kepanikan mulai menjalari . “Sora! Dia ada di sana dengan seluruh aset Chungmae! Jika Jenderal Jang menangkapnya, kita habis! Chungmae akan bangkrut!”
“Kita kirim pasukan untuk menyelamatkannya!” usul Yi Seon.
“Tidak bisa!” Hwa-young menggeleng keras. “Jenderal Jang adalah orangnya Kang. Mengirim pasukan sama saja dengan deklarasi perang saudara. Kang akan menggunakan itu untuk mengeksekusi kita atas tuduhan pemberontakan!”
“Lalu apa yang harus kita lakukan? Kita tidak bisa membiarkannya!” desak Yi Seon, putus asa.
Hwa-young memejamkan mata, memaksa otaknya bekerja di tengah kepanikan. Ia menggali ingatannya dari masa depan. Jenderal Jang ... Jenderal Jang ... Ada sesuatu tentang dia. Pemberontakan kecil ... karena monopoli…
Matanya terbuka lebar. “Rempah-rempah.”
“Apa?” tanya Yi Seon, bingung.
“Kelemahan Jenderal Jang bukan uang, tapi keserakahan. Secara spesifik, keserakahannya pada rempah-rempah,” jelas Hwa-young cepat. “Kang menyuruhnya menutup perbatasan, tapi aku berani bertaruh Jenderal Jang punya gudang rempah-rempah ilegal yang sangat besar di dekat sana. Dia tidak akan membiarkan keuntungan pribadinya terganggu.”
“Jadi?”
“Kita tidak menyerang pasukannya. Kita menyerang dompetnya,” kata Hwa-young, kilat berbahaya muncul di matanya. “Sora adalah bagian dari jaringan itu. Dia pasti tahu lokasi gudang rahasia Jenderal Jang.”
Ia segera menyambar kuas baru dan menulis pesan sandi yang lebih rumit.
“Jenderal Kim,” katanya sambil menyerahkan gulungan kecil itu. “Gunakan terowongan bawah tanah para pedagang. Sampaikan pesan ini pada Sora secepat mungkin. Pesannya singkat, ‘Bakar gudangnya’.”
Malam itu, Matriarch Kang menerima dua laporan hampir bersamaan.
Laporan pertama membuatnya tersenyum puas. Jenderal Jang telah berhasil menyudutkan seorang wanita bernama Sora, yang diduga sebagai agen Chungmae. Ia terkepung di sebuah desa nelayan kecil.
Namun, laporan kedua yang datang beberapa menit kemudian membuatnya membeku. Seorang kurir militer yang panik melaporkan bahwa gudang rempah-rempah pribadi Jenderal Jang, aset ilegalnya yang paling berharga, diserbu dan dibakar habis oleh sekelompok orang tak dikenal.
Jenderal Jang mengamuk. Ia menarik seluruh pasukannya dari pengepungan Sora untuk memburu para pencuri rempah-rempahnya, meninggalkan celah besar di perbatasan.
Dan melalui celah itulah, di bawah lindungan kegelapan, puluhan kereta kuda yang dipimpin oleh Sora meluncur masuk ke Ibukota, sarat dengan Garam.
Ketika fajar menyingsing, warga Ibukota yang putus asa terbangun oleh berita yang luar biasa, Garam murah tersedia di pasar, didistribusikan oleh Chungmae atas perintah Pangeran Mahkota. Yi Seon dan Hwa-young dipuja sebagai pahlawan.
Di Paviliun Bulan Baru, Hwa-young, Yi Seon, Jenderal Kim, dan Sora yang kelelahan tetapi penuh kemenangan, akhirnya bisa bernapas lega.
“Kita berhasil,” kata Yi Seon, menggenggam tangan Hwa-young. “Kita benar-benar berhasil.”
Hwa-young tersenyum, kelegaan yang tulus akhirnya menghangatkan hatinya. Untuk pertama kalinya, masa depan terasa sedikit lebih cerah.
Namun, momen itu pecah seketika.
DUB! DUB! DUB!
Suara langkah kaki yang berat dan serempak terdengar mendekat. Bukan langkah patroli biasa. Ini adalah langkah berbaris dari pasukan elite.
Pintu paviliun ditendang hingga terbuka. Di sana berdiri Kapten Pengawal Kerajaan, wajahnya sedingin baja, diapit oleh dua puluh prajurit bersenjata lengkap. Mereka tidak melihat ke arah Jenderal Kim atau Yi Seon.
Mata mereka tertuju pada satu orang.
Kapten itu mengangkat sebuah gulungan resmi dengan segel Kekaisaran. yang keras dan tanpa emosi membelah keheningan.
“Atas perintah Kaisar, dan berdasarkan bukti pengkhianatan yang diajukan oleh Dewan Keuangan Kekaisaran…”
Ia berhenti sejenak, tatapannya menusuk Hwa-young.
“…Putri Mahkota Hwa-young, Anda ditahan atas tuduhan penggelapan dana negara dan korupsi tanah berskala besar untuk mendanai organisasi pemberontak Chungmae.”