Sera, harus kehilangan calon anak dan suaminya karena satu kecelakaan yang merenggut keluarganya. Niat ingin berlibur malah menjadi petaka.
Sera bersedih karena kehilangan bayinya, tapi tidak dengan suaminya. Ungkapannya itu membuat sang mertua murka--menganggap jika Sera, telah merencanakan kecelakaan itu yang membuat suaminya meninggal hingga akhirnya ia diusir oleh mertua, dan kembali ke keluarganya yang miskin.
Sera, tidak menyesal jatuh miskin, demi menyambung hidup ia rela bekerja di salah satu rumah sakit menjadi OB, selain itu Sera selalu menyumbangkan ASI nya untuk bayi-bayi di sana. Namun, tanpa ia tahu perbuatannya itu mengubah hidupnya.
Siapakah yang telah mengubah hidupnya?
Hidup seperti apa yang Sera jalani setelahnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dini ratna, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Berjumpa Lagi
"Essa!"
"Essa, cepat turun!"
Panggil Ane yang berteriak. Essa, langsung turun dari kamarnya menuju dapur.
"Apa, Bu? Aku sedang istirahat ini."
"Sini sebentar." Ane melambai, agar Essa mendekat. "Ibu, masak banyak hari ini, tolong kamu antarkan makanan ini ke rumahnya Tuan Darren, Ibu sudah telepon kakak kamu, nanti setelah kamu sampai langsung telepon kakakmu."
"Ibu tapi aku capek!"
"Eh, anak gadis tidak boleh begitu. Ini Ibu kasih, buat ongkos taksinya dan ini untuk kamu jajan."
Mata Essa berbinar diiringi senyuman lebar kala Ane memberikan uang jajan untuknya. Segera Essa, mengantongi uang jajannya.
"Nah, kalau begini ... aku setuju. Kalau gitu Essa, ganti baju dulu, ya Bu."
Essa kembali ke kamar, hanya beberapa menit ia sudah keluar dengan setelan casual, celana jeans panjang dan jaket jeans. Dengan gaya rambut di kuncir dua di kedua sisi kepalanya, sangat menggemaskan dan imut tapi tidak ketinggalan dengan wajah yang selalu dirias natural.
Essa, sebenarnya menyukai rok mini atau celana pendek hanya saja Ane suka marah jika putrinya itu keluar dengan pakaian terbuka.
"Ibu mana?" tanyanya setelah berada di dapur.
Ane tersenyum setelah melihat putrinya, lalu menyerahkan keranjang coklat kepada Essa.
"Rantang warna hijau itu untuk kakakmu, ya. Selain itu untuk Tuan Darren dan ibunya."
"Baiklah Bu, aku pergi dulu." Essa, salam kepada Ane lalu pergi meninggalkan kedai kosongnya.
Essa memesan taksi online untuk menuju rumah Darren. Di jalanan cukup ramai malam ini, lampu kendaraan menghiasi jalan raya, serta orang berlalu lalang menandakan kehidupan ibu kota.
"Aish ... yang punya pacar enak, jalan-jalan lah aku ... jomblo abiss ... kapan, ya aku punya pacar."
"Neng, jangan mau pacaran mending nikah saja," seru si sopir.
Mata Essa, menyipit dengan bibir mencebik. "Ih, pak sopir ini aku masih sekolah, Pak."
"Bercanda Neng," sahut si sopir dengan senyuman.
Essa, melirik ke sisi kiri melihat kehidupan di luar. Tidak berselang lama, jalanan ramai yang ia lewati mulai menghilang dan mobil taksinya memasuki sebuah kawasan elit penthouse ternama.
Essa, sedikit menyembulkan kepalanya untuk melihat kemewahan di sana.
"Neng, sudah sampai," ucap si Sopir.
"Sudah sampai, ya, Pak? Di mana rumahnya?"
"Ini Neng." Kata sopir itu sambil menunjuk rumah besar di samping kanannya. Essa, yang melihat itu hanya diam, dalam hati ia merasa takjub.
"Ini pak ongkosnya, terima kasih."
"Sama-sama Neng."
Essa, langsung turun sambil membawa keranjang coklat. Ia berdiri mematung di depan pagar tinggi yang sama sekali tidak tampak dalam rumahnya.
"Rumah ini privat banget, sih. Sampai tidak kelihatan dalamnya, pagarnya tinggi lagi setinggi tembok Cina," gumam Essa.
Essa, langsung menghubungi Sera, memberitahukan jika dia sudah ada di depan.
"Kakak, aku sudah di depan. Ini bagaimana cara masuknya, aku nggak melihat satpam."
"Tunggu sebentar, kakak ke bawah sekarang."
"Yaudah, cepetan gak pake lama."
Sambungan telepon pun ditutup. Tidak berselang lama, pintu kecil terbuka, seorang pria dengan seragam hitam itu keluar yang berjalan ke arahnya.
"Nona Vanessa?"
"Iya."
"Silakan masuk."
Essa, mengangguk lalu mengikuti langkah pria itu. Setibanya di dalam ia menatap takjub halaman yang luas, juga interior rumah yang klasik dan bergaya eropa itu. Jika dibandingkan dengan rumahnya itu sangat jauh, Essa terus celingukan, sampai tidak sadar ada Sera, di depannya.
"Essa?"
"Eh, Kak. Ini dari ibu yang rantang hijau katanya buat kakak tapi kalau dua rantang biru itu untuk Tuan Darren."
Sera, langsung melihat isi ranjang itu, ia merasa jatah Darren lebih banyak daripada punyanya. Ibunya sekarang sudah beralih kasih kepada majikannya.
"Ya, udah makasih, ya. Kakak harus masuk dulu."
"Eh, tunggu. Terus aku gimana? Nggak disuruh masuk ini." Essa tentu kaget, melihat Sera, yang pergi begitu saja tanpa mengajaknya.
"Kamu pulang saja, ya. Nggak enaklah kakak."
"Pelit banget, sih. Aku jauh Lo, Kak kesini suruh masuk kek, kasih minum apa kek, di rumah besar kayak gini pasti banyak makanan."
"Eh, Essa," tahan Sera. Ketika Essa, hendak mendahuluinya. Tiba-tiba Maudy datang, dia melihat Sera, keluar dan berbicara dengan Essa, Maudy pun melangkah keluar untuk menemui mereka.
"Sera, siapa ini?" tanyanya menunjuk Vanessa.
"Saya, adiknya Nyonya, nama saya Vanessa. Saya disuruh Ibu mengantarkan makanan untuk Nyonya." Essa, memberikan keranjang yang baru saja di bawanya tadi.
"Kenapa kamu tidak suruh masuk? Ayo, masuk," ajak Maudy sambil berlalu membawa keranjang itu.
"Tuh, kan Nyonya besar sangat baik."
Vanessa, berlalu mengikuti Maudy, sementara Sera, dia bukan tidak mengizinkan Vanessa masuk hanya saja, anak itu selalu bikin rusuh. Essa, orangnya ceroboh Sera tidak mau jika Essa, buat kegaduhan di rumah Darren.
"Inah!"
"Iya Nyonya."
"Ini kamu bawa ke dapur, lalu sajikan untuk makan malam."
"Iya Nyonya." Inah membawa makanan itu ke dapur, sementara Maudy mengajak Essa duduk.
"Bilang, sama ibumu terima kasih."
"Sama-sama Nyonya. Ngomong-ngomong nggak ada minuman jus atau apa gitu, dahagaku kering." Essa sambil nyengir, Mata Sera langsung melebar menatap tajam kepada adiknya. Gak ada sopan-sopannya itu anak.
"Oh, maaf. Ya, ampun sampai lupa, ya."
"Biar saya saja Nyonya," ujar Sera ketika
Maudy hendak memanggil Inah. Sera, langsung berjalan ke arah dapur ia mengambil gelas di dalam kitchen set, lalu mengisinya dengan air mineral bila perlu air keran. Sera, benar-benar malu dengan tingkah adiknya.
"Kamu masih sekolah?"
"Iya, Nyonya. Sebentar lagi lulus, tapi aku nggak mau jadi Ibu susu, aku mau jadi seorang model nanti."
Ingin rasanya Sera, melempar gelas itu ke kepala Essa. Anak itu sungguh tidak bisa menjaga mulutnya. Sera, menaruh gelas itu di atas meja tepat di hadapan Sera. Mata Essa membola ketika yang dibawa Sera, hanya air minum biasa.
"Kakak ...."
"Jangan banyak minta, kamu bukan tamu mengerti!" hardik Sera sedikit berbisik. Essa, memanyunkan bibirnya sambil mengambil gelas itu lalu meneguknya. Padahal ia berharap bisa minum jus mangga segar, atau buah anggur segar, tapi ternyata hanya air jernih.
Dalam waktu bersamaan Darren dan Alex keluar dari ruang kerja Darren. Mereka berjalan ke arah Maudy karena Alex akan pulang dan berpamitan. Namun, ketika tiba di sana matanya membola, ketika melihat gadis dikuncir dua di samping Sera.
"Kamu!"
Sera, yang sedang meneguk air minum pun langsung tersedak, ketika menatap wajah Alex.
"Uhuk, uhuk." Essa terbatuk.
Sera, Maudy, dan Darren terkejut. Mereka menatap bingung ke arah Essa dan Alex.
Kenapa Om ini ada disini, batin Essa dengan mulut yang masih mengembung karena air minum yang ia tampung. Sementara Alex, dia menatap Essa, dengan sorot mata tajamnya seolah ingin menghardik anak itu. Alex, tidak ingin melepaskan lagi gadis itu.
"Kalian kenapa? Alex, kamu kenal dia? O iya, Mama memangnya dia siapa?" tanya Darren penuh kebingungan.