Di Surabaya, berdiri Sebuah pesantren megah pesantren Al - Ikhlas, sebuah lembaga pendidikan Islam yg dikenal dgn tradisi kuat dan menghasilkan santri" yg berprestasi. cerita ini mengikuti perjalanan 5.285 santriwan dan santriwati pesantren Al - ikhlas. ada banyak santri yg berjuang meraih keinginan orang tua dan menggapai mimpi mimpinya. namun terkadang menimbulkan pro dan kontra akibat persaingan di balik semua perjuangan para santri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon blue_era, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
28. Ning Aza sakit, Fathul Izhar terhenti
Sesampainya di ndalem, Gus Arga langsung mengucapkan salam dengan tergesa-gesa. "Assalamualaikum! Mbak Halimah! Ning Aza di mana?" tanyanya dengan nada cemas.
Mbak Halimah yang sedang berada di ruang tamu segera menghampiri Gus Arga. "Waalaikumsalam, Gus. Ning Aza ada di kamar, Gus. Tadi sudah saya kompres, tapi badannya masih panas," jawab Mbak Halimah dengan wajah khawatir.
Tanpa menunggu lebih lama, Gus Arga langsung menuju kamar Ning Aza. Ia membuka pintu kamar dengan perlahan dan melihat Ning Aza sedang terbaring lemah di tempat tidur. Wajahnya pucat dan bibirnya kering.
"Assalamualaikum, Ning," sapa Gus Arga dengan lembut sambil menghampiri Ning Aza.
Ning Aza membuka matanya perlahan dan tersenyum lemah saat melihat Gus Arga. "Waalaikumsalam, Gus. Kok sudah pulang? Bukannya masih ada pengajian?" tanyanya dengan suara lirih.
"Pengajian sudah Abah yang lanjutkan, Ning. Gus khawatir sama Ning Aza," jawab Gus Arga sambil mengelus lembut kening Ning Aza.
"Ning Aza nggak apa-apa kok, Gus. Cuma sedikit pusing sama mual aja," kata Ning Aza berusaha menenangkan Gus Arga.
"Ning Aza sudah minum obat?" tanya Gus Arga.
"Sudah, Gus. Tadi Mbak Halimah sudah bikinin teh hangat juga," jawab Ning Aza.
Gus Arga kemudian duduk di tepi tempat tidur dan menggenggam tangan Ning Aza dengan erat. "Gus khawatir banget sama Ning Aza. Gus nggak mau Ning Aza sakit," ucapnya dengan tulus.
Ning Aza tersenyum dan membalas genggaman tangan Gus Arga. "Ning Aza janji akan cepat sembuh, Gus. Ning Aza juga nggak mau bikin Gus khawatir," katanya dengan lembut.
Gus Arga menatap wajah Ning Aza dengan penuh kasih sayang. Ia merasa sangat bersyukur memiliki istri yang begitu sabar dan pengertian.
"Ya sudah, sekarang Ning Aza istirahat saja ya. Gus akan menemani Ning Aza di sini," kata Gus Arga sambil membenarkan selimut Ning Aza.
Ning Aza mengangguk dan memejamkan matanya. Gus Arga terus menggenggam tangannya sambil membaca doa untuk kesembuhan Ning Aza. Ia berharap agar Allah SWT segera mengangkat penyakit Ning Aza dan memberikan kesehatan kembali kepadanya.
Gus Arga menatap wajah Ning Aza dengan penuh kasih sayang. Ia merasa sangat bersyukur memiliki istri yang begitu sabar dan pengertian.
"Ya sudah, sekarang Ning Aza istirahat saja ya. Gus akan menemani Ning Aza di sini," kata Gus Arga sambil membenarkan selimut Ning Aza.
Ning Aza mengangguk dan memejamkan matanya. Gus Arga terus menggenggam tangannya sambil membaca doa untuk kesembuhan Ning Aza. Ia berharap agar Allah SWT segera mengangkat penyakit Ning Aza dan memberikan kesehatan kembali kepadanya.
Namun, hingga malam hari, kondisi Ning Aza belum juga membaik. Ia masih merasa mual dan pusing, bahkan badannya semakin terasa lemas. Gus Arga semakin khawatir dan berusaha melakukan berbagai cara untuk meringankan penderitaan Ning Aza.
"Ning Aza mau makan apa? Biar Gus buatkan," tanya Gus Arga dengan lembut.
"Nggak nafsu makan, Gus. Mual banget," jawab Ning Aza dengan lirih.
"Ya sudah, kalau gitu Gus buatkan teh hangat saja ya," kata Gus Arga sambil beranjak dari tempat tidur.
Ia kemudian pergi ke dapur dan membuatkan teh hangat untuk Ning Aza. Setelah itu, ia kembali ke kamar dan menyuapi Ning Aza dengan sabar.
"Ning Aza minum sedikit ya. Biar nggak terlalu lemas," kata Gus Arga sambil menyodorkan cangkir teh ke bibir Ning Aza.
Ning Aza meminum teh tersebut sedikit demi sedikit. Setelah itu, ia kembali berbaring dan memejamkan matanya.
Karena kondisi Ning Aza yang masih sakit, Gus Arga memutuskan untuk tidak mengajar diniyyah pada malam itu. Ia menghubungi salah satu ustadz senior untuk menggantikannya.
"Assalamualaikum, Ustadz," sapa Gus Arga melalui telepon.
"Waalaikumsalam, Gus Arga. Ada apa?" jawab Ustadz tersebut.
"Afwan, Ustadz. Malam ini saya tidak bisa mengajar diniyyah karena Ning Aza sedang sakit. Apakah Ustadz bersedia menggantikan saya?" pinta Gus Arga dengan nada memohon.
"Innalillahi wa inna ilaihi roji'un. Ya Allah... Tentu saja, Gus. Saya bersedia menggantikan Gus Arga. Semoga Ning Aza segera sembuh," jawab Ustadz tersebut dengan penuh pengertian.
"Terima kasih banyak, Ustadz. Jazakumullahu khairan," ucap Gus Arga dengan lega.
"Sama-sama, Gus. Semoga Allah SWT selalu melindungi keluarga Gus Arga," jawab Ustadz tersebut.
Setelah menutup telepon, Gus Arga kembali menemani Ning Aza di kamar. Ia terus berdoa dan berharap agar Ning Aza segera diberikan kesembuhan. Ia berjanji akan selalu berada di sisi Ning Aza dalam keadaan suka maupun duka.