Di Surabaya, berdiri Sebuah pesantren megah pesantren Al - Ikhlas, sebuah lembaga pendidikan Islam yg dikenal dgn tradisi kuat dan menghasilkan santri" yg berprestasi. cerita ini mengikuti perjalanan 5.285 santriwan dan santriwati pesantren Al - ikhlas. ada banyak santri yg berjuang meraih keinginan orang tua dan menggapai mimpi mimpinya. namun terkadang menimbulkan pro dan kontra akibat persaingan di balik semua perjuangan para santri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon blue_era, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
34. Kontraksi datang
Satu bulan berlalu dengan cepat. Kandungan Ning Aza kini telah memasuki usia 9 bulan. Itu artinya, hari kelahiran sang buah hati sudah semakin dekat. Gus Arga telah mengajukan cuti dari kegiatan mengajar dan lainnya, agar bisa fokus mendampingi Ning Aza menjelang persalinan.
"Gus sudah siap siaga 24 jam untuk Ning Aza. Apapun yang terjadi, Gus akan selalu ada di samping Ning," ujar Gus Arga sambil mengelus perut istrinya yang semakin membesar.
"Ning juga sudah siap lahir batin, Gus. Semoga Allah SWT memberikan kelancaran dan kemudahan saat persalinan nanti," jawab Ning Aza dengan nada penuh harap.
Namun, takdir berkata lain. Belum tiba tanggal perkiraan lahir (HPL) yang telah ditentukan dokter, Ning Aza tiba-tiba mengalami kontraksi hebat.
Malam itu, Gus Arga sedang mengajar diniyyah (pendidikan agama) malam di asrama putra. Ia dengan sabar menjelaskan materi pelajaran kepada para santri.
"Anak-anak, ilmu agama itu sangat penting. Dengan ilmu agama, kita bisa membedakan mana yang benar dan mana yang salah. Kita bisa menjadi manusia yang lebih baik dan bermanfaat bagi orang lain," ujar Gus Arga dengan penuh semangat.
Tiba-tiba, suasana diniyyah yang tenang menjadi gaduh. Mbak Halimah dan Mbak Fatimah berlari tergopoh-gopoh menuju tempat Gus Arga mengajar. Wajah mereka terlihat panik dan cemas.
"Gus! Gus Arga!" panggil Mbak Halimah dengan nada terengah-engah.
Gus Arga terkejut melihat kedatangan kedua Mbak Ndalem tersebut. Ia segera menghentikan kegiatan mengajarnya dan menghampiri mereka.
"Ada apa, Mbak? Kenapa kalian terlihat panik seperti ini?" tanya Gus Arga dengan nada khawatir.
"Gus, Ning Aza... Ning Aza kontraksi, Gus! Sepertinya akan segera melahirkan!" jawab Mbak Fatimah dengan nada cemas.
Mendengar perkataan Mbak Fatimah, Gus Arga terkejut bukan kepalang. Jantungnya berdegup kencang dan tubuhnya terasa lemas.
"Apa?! Ning Aza kontraksi?! Tapi kan HPL-nya masih beberapa hari lagi..." ujar Gus Arga dengan nada tidak percaya.
"Kami juga tidak tahu, Gus. Tiba-tiba saja Ning Aza merasakan sakit perut yang hebat. Kami sudah menghubungi bidan, dan bidan bilang Ning Aza sudah pembukaan awal," jelas Mbak Halimah dengan nada panik.
Tanpa berpikir panjang, Gus Arga langsung berlari meninggalkan tempat diniyyah. Ia meminta maaf kepada para santri dan berjanji akan melanjutkan pelajaran di lain waktu.
"Anak-anak, Gus mohon maaf harus meninggalkan kalian semua. Ada urusan mendadak yang harus Gus selesaikan. Kalian belajar dengan baik ya," ujar Gus Arga dengan nada tergesa-gesa.
Gus Arga segera menuju ndalem dengan perasaan campur aduk antara khawatir, panik, dan bahagia. Ia tidak sabar ingin segera melihat Ning Aza dan calon buah hati mereka.
"Ya Allah, semoga Ning Aza dan anakku selamat dan sehat selalu. Berikanlah kelancaran dan kemudahan saat persalinan nanti," doa Gus Arga dalam hati
Sesampainya di ndalem, Gus Arga melihat suasana yang sudah ramai dan sibuk. Umi dan Abah terlihat mondar-mandir dengan wajah cemas. Beberapa santri putri juga tampak membantu menyiapkan segala keperluan persalinan.
"Gus! Alhamdulillah Gus sudah datang," sapa Umi dengan nada lega.
"Bagaimana keadaan Ning Aza, Umi?" tanya Gus Arga dengan nada khawatir.
"Ning Aza sedang ditangani oleh bidan di dalam kamar. Kontraksinya semakin kuat, Gus. Sepertinya memang akan segera melahirkan," jawab Umi dengan nada cemas.
Tanpa menunggu lama, Gus Arga langsung menuju kamar Ning Aza. Ia membuka pintu kamar dengan perlahan dan melihat Ning Aza sedang berbaring di tempat tidur dengan wajah meringis kesakitan. Bidan terlihat sedang memeriksa kondisi Ning Aza.
"Assalamualaikum, Sayang..." sapa Gus Arga dengan nada lembut.
Ning Aza membuka matanya dan menatap Gus Arga dengan tatapan penuh cinta. "Waalaikumsalam, Gus... Ning sakit sekali..." jawab Ning Aza dengan suara lirih.
Gus Arga mendekati Ning Aza dan menggenggam tangannya dengan erat. "Gus di sini, Sayang. Gus akan selalu menemani Ning. Ning yang sabar ya..." ujar Gus Arga dengan nada menenangkan.
Bidan menoleh ke arah Gus Arga dan tersenyum. "Alhamdulillah, Gus sudah datang. Ning Aza sangat membutuhkan dukungan dari Gus," ujar bidan dengan nada ramah.
"Bagaimana kondisinya, Bu Bidan?" tanya Gus Arga dengan nada khawatir.
"Pembukaan sudah semakin lengkap, Gus. Sebentar lagi Ning Aza akan melahirkan. Mohon Gus untuk terus memberikan semangat dan dukungan kepada Ning Aza," jawab bidan dengan nada memberikan semangat.
Gus Arga mengangguk mengerti. Ia kemudian mendekatkan wajahnya ke telinga Ning Aza dan membisikkan kata-kata yang menenangkan.
"Ning yang kuat ya, Sayang. Sebentar lagi kita akan bertemu dengan buah hati kita. Gus yakin Ning pasti bisa melaluinya. Gus sayang sekali sama Ning," bisik Gus Arga dengan nada penuh kasih sayang.
Ning Aza membalas genggaman tangan Gus Arga dengan erat. Ia mencoba untuk tersenyum meskipun wajahnya masih terlihat kesakitan.
"Iya, Gus... Ning akan berusaha sekuat tenaga... Ning juga sayang sekali sama Gus..." jawab Ning Aza dengan suara terbata-bata.