Dikhianati oleh murid yang paling ia percayai, Asura, sang Dewa Perang, kehilangan segalanya. Tubuhnya musnah, kekuatannya hilang, dan namanya dihapus dari dunia para Dewa. Namun, amarah dan dendamnya terlalu kuat untuk mati.
Ribuan tahun kemudian, ia terlahir kembali di dunia fantasi yang penuh sihir dan makhluk mistis bukan lagi sebagai Dewa yang ditakuti, melainkan seorang bocah miskin bernama Wang Lin.
Dalam tubuh lemah dan tanpa kekuatan, Wang Lin harus belajar hidup sebagai manusia biasa. Tapi jauh di dalam dirinya, api merah Dewa Asura masih menyala menunggu saatnya untuk bangkit.
“Kau boleh menghancurkan tubuhku, tapi tidak kehendakku.”
“Aku akan membalas semuanya, bahkan jika harus menantang langit sekali lagi.”
Antara dendam dan kehidupan barunya, Wang Lin perlahan menemukan arti kekuatan sejati dan mungkin... sedikit kehangatan yang dulu tak pernah ia miliki.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mumun arch, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Jalan Menuju Kuil Bayangan Timur
Angin malam berhembus lembut, membawa aroma tanah basah dan abu sisa pertempuran. Langit perlahan meredup, menyisakan cahaya jingga di ufuk barat. Di antara reruntuhan batu dan tanah hangus, Wang Lin berdiri dengan napas berat, tapi matanya masih menyala bukan dengan amarah, melainkan dengan ketenangan yang baru saja ia temukan.
Lianhua berjalan di sampingnya, langkahnya ringan tapi penuh keyakinan. Di tangannya, ada sebilah pedang perak yang berkilau samar, memantulkan warna langit senja.
“Kau tahu ke mana kita akan pergi?” tanya Wang Lin, suaranya pelan.
“Kuil Bayangan Timur,” jawab Lianhua tanpa menoleh.
“Tempat di mana segel pertama Asura ditempatkan. Dan… tempat di mana semuanya dimulai.”
Wang Lin terdiam sejenak.
Kata-kata itu menggema di pikirannya. Segel pertama… Artinya, di sana ada kebenaran yang selama ini dikubur oleh para Penjaga Langit dan mungkin, potongan terakhir dari masa lalunya yang hilang.
Mereka berjalan melewati lembah yang dipenuhi batu berasap dan pepohonan kering. Langit mulai dipenuhi awan hitam yang bergerak cepat, seolah menyembunyikan sesuatu di baliknya.
“Langit takkan diam saja,” gumam Lianhua.
“Sejak kau kembali, keseimbangan dunia mulai retak. Mereka akan mengirimkan lebih banyak Penjaga.”
Wang Lin menatap ke depan tanpa takut.
“Kalau mereka datang, biarkan. Aku tidak akan lari lagi.”
Lianhua menoleh, menatap wajahnya dalam diam.
Di mata itu, ada luka yang belum sembuh tapi juga keberanian yang perlahan tumbuh.
Setelah beberapa saat, mereka tiba di sebuah tebing tinggi yang menghadap ke laut. Dari bawah, terlihat air berwarna biru kehitaman yang berputar membentuk pusaran besar. Di tengah pusaran itu berdiri sebuah kuil raksasa, dikelilingi pilar-pilar batu kuno yang dipenuhi ukiran simbol Asura.
“Itu dia,” bisik Lianhua. “Kuil Bayangan Timur.”
Wang Lin menatap tempat itu dengan mata menyipit.
“Tempat ini... seolah memanggilku.”
“Karena di sinilah jiwamu dulu disegel,” jawab Lianhua. “Dan jika segelnya terbuka, dunia akan tahu siapa kau sebenarnya.”
Mereka melompat turun dari tebing, tubuh mereka diselimuti cahaya biru dan putih yang berputar.
Begitu mendarat di tanah kuil, udara di sekitar langsung berubah berat, dingin, dan bergetar oleh energi kuno.
Simbol-simbol di dinding kuil menyala perlahan, seakan menyambut mereka. Namun di balik itu, ada sesuatu yang lain. Bayangan hitam mulai bergerak di antara pilar-pilar, berubah bentuk menjadi makhluk-makhluk dengan mata merah menyala.
“Penjaga Bayangan…” gumam Lianhua. “Mereka takkan membiarkan siapa pun mendekati segel.”
Wang Lin menegakkan tubuhnya, kedua matanya berubah biru menyala.
“Kalau begitu, aku juga tak akan berhenti.”
Makhluk-makhluk itu melompat serentak, menciptakan suara gemuruh di udara. Lianhua bergerak cepat, bilah pedangnya membentuk kilatan perak yang membelah udara. Wang Lin menyalakan apinya, membentuk pusaran besar yang meledak di tengah kerumunan bayangan.
Suara benturan, desis, dan ledakan memenuhi kuil kuno itu. Api dan cahaya menari di antara reruntuhan, memantulkan bayangan dua sosok yang bertarung seirama api dan cahaya, menyatu dalam harmoni yang aneh namun indah.
Beberapa menit kemudian, semuanya berhenti.
Bayangan-bayangan itu menghilang menjadi debu hitam, meninggalkan kesunyian yang mencekam.
Wang Lin berlutut, napasnya terengah. “Sudah… selesai?”
Lianhua menatap ke tengah ruangan kuil. “Belum.”
Di tengah altar, muncul sebuah lingkaran simbol kuno berwarna merah darah. Dari dalamnya, cahaya perlahan keluar, membentuk bayangan seorang pria berjubah hitam dengan mata api biru menyala.
Wang Lin terdiam.
Wajah itu... ia mengenalnya.
“Kau...” Wang Lin berbisik. “Kau adalah aku.”
Bayangan itu tersenyum tipis. “Tidak, aku adalah bagian yang kau tinggalkan. Dendammu, amarahmu, dan semua yang membuatmu disebut Asura.”
Udara menjadi panas seketika. Lianhua mundur selangkah, merasakan tekanan luar biasa dari dua aura yang identik.
Bayangan Asura melangkah maju. “Kau ingin hidup sebagai manusia? Maka buktikan... bahwa api tanpa amarah bisa bertahan di dunia ini.”
Tubuh Wang Lin gemetar. Api birunya menyala, tapi kali ini tidak membakar hanya bergetar, seperti menahan sesuatu yang besar di dalamnya.
“Aku tidak akan membunuhmu,” ujar Wang Lin perlahan. “Karena kalau aku membunuhmu, aku membunuh diriku sendiri.”
Bayangan itu tersenyum lebih lebar. “Maka bersiaplah… karena untuk menjadi manusia, kau harus kehilangan segalanya sekali lagi.”
Seketika ruangan itu bergetar hebat. Lingkaran merah di lantai mulai menyerap cahaya dari sekeliling, dan pusaran energi besar muncul di antara mereka.
Lianhua berteriak, “Wang Lin, hentikan! Kalau kau teruskan, segelnya akan pecah sepenuhnya!”
Wang Lin menatapnya dengan tenang.
“Mungkin... memang sudah saatnya segel itu pecah.”
Sebuah cahaya biru terang meledak dari tubuhnya, memenuhi seluruh ruangan. Udara bergetar, lantai retak, dan seluruh Kuil Bayangan Timur diterangi oleh kobaran api yang tidak membakar hanya memantulkan cahaya seperti matahari yang lahir dari kegelapan.
Lianhua berusaha mendekat, tapi cahaya itu terlalu kuat. Di tengah silau yang menyilaukan itu, ia sempat mendengar suara Wang Lin berbisik:
“Jika api ini benar-benar milikku... biarkan ia menjadi cahaya bagi dunia yang lupa akan kebenaran.”
Lalu semuanya... hening.
Cahaya padam.
Angin berhenti.
Dan hanya satu hal yang tersisa di tengah reruntuhan kuil jejak langkah terbakar, meninggalkan bentuk sayap di tanah batu.
Cahaya biru yang meledak dari tubuh Wang Lin perlahan meredup, menyisakan asap tipis di udara.
Lianhua berdiri di tengah reruntuhan kuil, tubuhnya bergetar, matanya mencari tapi Wang Lin sudah tidak ada di sana.
“Wang Lin…” suaranya parau, hampir tak terdengar.
Hanya angin yang menjawab.
Dan di tengah debu dan batu yang berserakan, ia melihat sesuatu: sehelai kain hitam terbakar separuh, dengan simbol Asura di ujungnya.
“Jadi… segelnya benar-benar pecah,” bisiknya.
Langit di atas kuil mulai berwarna merah. Petir menyambar tanpa suara, membelah awan seperti luka di langit. Dunia seolah merasakan sesuatu yang besar baru saja berubah.
Di sisi lain benua, di Aula Langit, para Penjaga berdiri di depan cermin suci yang bergetar. Cahaya biru muncul di permukaannya, membentuk bayangan samar Wang Lin yang dikelilingi api.
“Itu mustahil,” gumam salah satu penjaga.
“Segel Asura sudah diaktifkan sejak seribu tahun lalu! Bagaimana bisa...?”
Seorang lelaki berjubah putih melangkah maju. Sorot matanya tajam, penuh tekanan ilahi.
“Karena dia tidak lagi Asura yang dulu.”
“Apa maksudmu, Pengawal Utama?” tanya salah satu.
“Dewa Asura itu… bereinkarnasi dengan hati manusia,” jawabnya pelan.
“Dan sekarang, manusia itu mulai mengingat siapa dirinya.”
Sementara itu, di dunia bawah, Wang Lin membuka matanya perlahan. Tubuhnya terbaring di tepi sungai yang jernih, dikelilingi kabut lembut dan bunga-bunga biru yang berpendar samar di malam hari.
Rasa sakit menjalar di seluruh tubuhnya, tapi hatinya terasa ringan.Untuk pertama kalinya… ia merasa bebas.
“Aku masih hidup?” bisiknya, nyaris seperti bertanya pada dirinya sendiri.
Sebuah suara lembut terdengar dari balik kabut.
“Kau bukan hanya hidup... kau baru saja dilahirkan kembali.”
Wang Lin menoleh.
Di sana berdiri sosok perempuan berjubah putih dengan rambut panjang keperakan dan mata setenang air.Di tangan kanannya, ia membawa tongkat berukir simbol bulan.
“Siapa kau?” tanya Wang Lin dengan napas berat.
Perempuan itu tersenyum samar.
“Namaku Yue. Aku Penjaga Cahaya. Dan tugasku… memastikan api sepertimu tidak kembali membakar dunia.”
Wang Lin tersenyum miring. “Kalau begitu… sepertinya kita akan sering bertemu.”
“Mungkin. Tapi ingat, Wang Lin…” kata Yue pelan sambil berjalan mendekat.
“Kau bisa memilih menjadi cahaya, atau kembali tenggelam dalam gelap. Dunia akan menunggu jawabanmu.”
Wang Lin menatap ke langit.
Di balik awan gelap, cahaya bulan tampak redup—seperti saksi bisu dari kebangkitan yang tak seharusnya terjadi.
“Aku tidak tahu apa yang menungguku,” gumamnya, “tapi jika aku harus melawan takdir sekali lagi… maka biarlah aku melakukannya sebagai manusia.”
Yue menatapnya tanpa berkata.
Angin malam berhembus pelan, meniupkan bunga-bunga biru yang berputar di sekitar mereka seperti serpihan cahaya.
Dan di kejauhan, dari balik kabut, bayangan Asura yang berapi biru muncul sekilas menatap Wang Lin dengan tatapan yang sama persis.
“Kita akan bertemu lagi,” bisik suara itu di udara.