Sekelompok siswa SMA dipaksa memainkan permainan Mafia yang mematikan di sebuah pusat retret. Siswa kelas 11 dari SMA Bunga Bangsa melakukan karyawisata. Saat malam tiba, semua siswa di gedung tersebut menerima pesan yang menunjukkan permainan mafia akan segera dimulai. Satu-satunya cara untuk bertahan hidup adalah dengan menyingkirkan teman sekelas dan menemukan Mafia.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon jewu nuna, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Beberapa Bulan Kemudian
Beberapa bulan kemudian…
Membicarakan fakta seputar mimpi yang Khalil alami, tampak nyata yang menyenangkan, tapi tidak. Tidak untuk Khalil dan Arsya yang tidak lupa. Untuk mereka yang sudah dihapus ingatannya, terbilang seru-seru saja, iya kan?
“Ngapain?”
Arsya mendongak dengan senyum setelah silau matahari di hadang tubuh kekar Khalil, tentu dengan senyum manis yang tidak pernah hilang diwajahnya.
“Liatin yang lain aja”
“Kenapa di lihatin?”
Arsya menggeleng pelan sambil kembali menatap teman-temannya yang sibuk bermain pasir pantai dan air di tepi pantai. Menyenangkan, tapi sangat hambar.
“Nggak usah terlalu dipikirin, Sya”
“Lo kadang suka keinget gitu nggak sih, Khal?”
Khalil kali ini ikut duduk berdampingan dengan Arsya. Mengintai teman-temannya yang tidak pernah merasa tidak bahagia. Menurut Khalil, memang harusnya inilah yang terjadi pada mereka dan Arsya. Biarkan dirinya saja yang menderita, tapi kenapa Arsya juga harus mengingat semuanya?
“Aletha udah tenang, harusnya udah lebih dari cukup kan?”
“Lo aman nggak?”
Arsya tersenyum, “nggak tahu, tapi sejauh ini bayangan tentang permainan itu,”
Khalil menghela napas, menatap Dion yang baru saja datang ke salah satu warung untuk membeli minuman dingin. Sejauh ini, tidak ada yang janggal. Tapi bagi Khalil, hubungan merekalah yang janggal.
Khalil tidak pernah merasa sejauh ini dengan Dion. Si pria yang sempat digosipkan dekat dengan Arsya, sekarang menjauh. Entah atas dasar apa, sengaja atau tidak, tapi Khalil berharap itu bukan karenanya.
“Kok berhenti?”
Arsya kali ini menatap Dion, “dia bilang kalo suka sama gue, apa gue berhak nerima cinta yang nggak gue cintai juga?”
“Maksud lo?”
“Khal, mungkin aja kita ditakdirkan buat sama-sama, tapi kita nggak tahu apakah untuk waktu yang lama atau sebentar”
Khalil terdiam. Ternyata demikian?
“Gue cuman kasih tahu aja, kalau gue nggak akan bisa jauh dari seorang sahabat buat dia”
“Cause you like somebody else?”
Arsya terdiam, tidak ada jawaban adalah jawaban. Ya, mungkin itukah jawaban kenapa Arsya menolak Dion. Ada seseorang yang sudah genap di hati Arsya yang Dion dan semua orang tidak tahu.
“Ya udah, yang penting lo udah bilang”
“Lo nggak tahu kalau Yuna suka banget sama Dion?”
Khalil kali ini menatap Dion yang mulai di hampiri Yuna. Gadis itu, entah sejak kapan punya perlakuan yang manis dan baik.
“Menurut lo, apa gue juga ngalah sama dia?”
Khalil menggeleng, “gue nggak pernah berpikir kayak gitu, nggak tahu kalau yang lain”
“Kalau ini cuman mimpi, gue nggak akan mau inget sama kata-kata Agil waktu itu”
“Yang mana?” Maksudnya, Agil selalu mengatakan banyak hal, mana mungkin Khalil mengingat semuanya?
“Yang nyuruh gue buat nggak deket-deket sama lo” Arsya terkekeh. Dari banyaknya kata dan wejangan dari mulut rombeng Agil, apa hanya itu yang mau Arsya lupakan? Kenapa tidak semua saja?
“Kenapa?”
Arsya menghela napas, “bohong kalau bisa lupa mah,”
“Kalian takut jadi gosong?!”
Arsya dan Khalil mendongak saat kedatangan Intan dan Agil mengejutkannya. Sejoli yang entah sejak kapan punya waktu untuk mengenal satu sama lain.
“Kenapa nggak ikut main?”
“Gue bukan anak kecil, mending tiduran aja” Khalil merebahkan tubuhnya. Mengabaikan Intan yang kesal karena jawaban Khalil dan Agil yang hanya sanggup tertawa. Sementara Arsya? Gadis itu masih menelaah apa isi pikiran Khalil. Apakah pria itu punya perasaan yang sama dengannya?
“Lo juga sekarang hobi banget menyendiri, Sya?”
“Gue aman kok, cuman lagi PMS aja” ujarnya dibalas anggukan kecil dari Agil.
“Gue masih janggal deh sama orang itu”
Arsya dan Intan menatap Agil yang kali ini memfokuskan arah pandangnya pada teman-temannya.
“Orang yang aman?”
“Itu loh, Khal? Siapa? Merah?”
Arsya melirik tepat saat Khalil membuka matanya, “itu cuman game”
“Ya dia nggak sih sebab semuanya? Tapi kenapa dia milih buat bunuh diri dan bikin game selesai? Bukan itukan yang dia mau?”
Khalil menghela napas panjang, menatap Arsya, Intan, dan Agil secara bergantian.