SMA Adhirana dikenal sebagai sekolah elit dengan reputasi sempurna — tapi di balik tembok megahnya, beredar satu rumor yang gak pernah dibahas secara terbuka: “Lantai Tujuh.”
Katanya, gedung utama sekolah itu cuma punya enam lantai. Tapi beberapa siswa bersumpah pernah menekan tombol “7” di lift... dan tiba di lantai yang tidak tercatat di denah mana pun.
Lantai itu selalu berubah-ubah. Kadang berupa ruang kelas kosong dengan bau darah, kadang koridor panjang penuh loker berkarat. Tapi yang pasti — siapa pun yang masuk ke lantai tujuh selalu kembali dengan ingatan yang terpotong, atau malah tidak kembali sama sekali.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Siti Nuraida, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 3 — Daren Sang Penjaga Reputasi
Keesokan paginya, atmosfer SMA Adhirana terasa lebih berat di pundak Reina. Bukan karena ransel atau buku-buku tebal, tapi karena beban rahasia yang ia dan Zio sekarang tanggung. Video CCTV semalam telah menghilangkan semua keraguannya. Sekarang yang ada hanya satu pertanyaan yang membakar: bagaimana cara masuk ke sana, dan mengapa Aksa ada di sana?
Reina menyusuri koridor lantai tiga, menuju lokernya. Ia mencari Zio, tapi klub jurnalistik itu tampak tidak ada di mana-mana. Hanya suara-suara bisikan yang mengikuti setiap langkahnya. Mereka berbisik tentang siswi pindahan. Mereka berbisik tentang kakaknya.
Tepat saat ia hendak membuka loker, sebuah bayangan tinggi jatuh di depannya. Reina mendongak.
Itu Daren Kurniawan.
Ketua OSIS itu berdiri tegak, seragamnya—kemeja putih yang disetrika tanpa cela, dasi yang terikat sempurna, dan lambang OSIS yang berkilauan—terlihat kontras dengan Reina yang merasa lusuh dan penuh keringat dingin. Dia adalah definisi sempurna dari citra sekolah elit: bersih, berwibawa, dan sedikit mengintimidasi.
“Reina Alyssa,” sapa Daren. Suaranya rendah dan tenang, tanpa emosi, seperti suara yang telah dilatih untuk menenangkan kerumunan, atau menutupi sesuatu.
“Ketua OSIS,” balas Reina, nadanya datar. Ia tidak mencoba bersikap sopan atau ramah. Ia tidak punya waktu untuk drama popular-kid.
Daren bersandar di loker sebelah Reina, membuat Reina merasa terperangkap. Ia tidak menatap Reina, melainkan menatap lurus ke lorong yang sepi.
“Saya dengar kamu banyak bertanya. Tentang denah, tentang lift, dan tentang hal-hal yang tidak ada di sekolah ini,” katanya, masih dengan nada tenang yang membuat Reina jengkel.
“Saya bertanya tentang denah yang salah. Dan saya bertanya pada guru yang terlihat gugup,” Reina membalas tatapannya. Ia tidak akan mundur. “Apa urusannya denganmu?”
Daren akhirnya menoleh, dan tatapan matanya—hitam, dalam, dan tanpa kilau—langsung menusuk Reina. Tatapan itu terasa lebih tua dari usianya.
“Urusannya dengan reputasi sekolah. Adhirana adalah tempat untuk mencapai masa depan, bukan tempat mencari masa lalu. Dan saya adalah yang menjaga itu tetap stabil,” jawab Daren, tidak ada nada bangga dalam suaranya, hanya sebuah pernyataan fakta.
“Menjaga stabilitas? Atau menutupi kejahatan?” tanya Reina tajam. Ia tidak peduli jika ia melanggar etika. “Dua tahun lalu, ada siswi yang keluar dari lift itu dengan darah di tangannya. Kenapa arsip sekolah bersih? Kenapa semua orang berlagak gila?”
Daren tidak menunjukkan reaksi terkejut sama sekali. Ia hanya menghela napas, seolah Reina adalah anak kecil yang rewel.
“Kamu sudah terlalu dalam, Reina. Sebaiknya kamu berhenti,” Daren memperingatkan. “Beberapa rahasia itu bukan untuk dibongkar, melainkan untuk dilupakan. Untuk kebaikanmu sendiri.”
“Kebaikan saya? Atau kebaikan sekolahmu?” Reina mengejek. “Kakak saya hilang di sini. Saya akan berhenti kalau saya sudah tahu di mana dia. Kamu tahu banyak, kan? Kamu yang menemukan lift itu macet. Kamu ada di sana.”
Jeda yang terjadi terasa sangat panjang. Di luar, suara hujan mulai turun lagi, menambah suasana melankolis dan suram.
Daren kembali menatap ke lorong, tapi kali ini, ada kerutan samar di sudut matanya. Seolah Reina telah menyentuh luka lama.
“Aku tahu lebih banyak daripada yang kamu bayangkan,” akunya.
“Kalau begitu, beri tahu aku. Apa itu lantai tujuh? Kenapa semua orang takut?” desak Reina.
Daren menggeser posisi berdirinya, sedikit mencondongkan tubuh ke arah Reina. Jarak mereka kini sangat dekat. Reina bisa mencium aroma kayu cendana dan mint yang samar dari seragamnya.
Daren berbisik, suaranya kini terdengar sangat pelan, hanya untuk didengar Reina.
“Lantai tujuh adalah tempat untuk dosa. Tempat di mana rasa bersalah kembali dan menuntut balas.”
Reina tercengang. Itu bukan jawaban logis. Itu adalah kalimat dari sebuah film horor murahan.
“Apa maksudmu? Itu cuma ruangan. Kenapa kamu bicara seperti itu dimensi lain?”
Daren tersenyum kecil—senyum yang tidak mencapai matanya. Senyum itu dingin dan menyakitkan.
“Lantai itu berubah wujud tergantung pada apa yang kamu sembunyikan. Itu mengambil apa yang kamu cintai dan mengembalikannya dalam bentuk ilusi yang akan membunuhmu. Makanya, berhenti.”
Reina memundurkan langkah, merinding. Daren benar-benar terlihat seperti orang gila. Atau dia adalah korban dari kegilaan itu.
“Apa kamu takut aku akan membongkar rahasia pribadimu?” tanya Reina, mencoba memancingnya.
Daren menatap Reina, matanya kembali kosong dan dingin. “Aku tidak punya rahasia, Reina. Aku hanya menjaga yang lainnya.”
Lalu, Daren mengucapkan kalimat yang menghancurkan semua pertahanan logis Reina. Ia menjulurkan tangan kanannya, dan dengan ujung jari yang bersih dan rapi, ia menyentuh lembut pergelangan tangan kiri Reina.
“Kamu ingin bertemu Aksa lagi?”
Jantung Reina langsung berdentum kencang, memukul-mukul rusuknya. Udara seperti terkunci di paru-parunya.
“... Dari mana kamu tahu nama kakakku?” Reina bertanya, suaranya tercekat. Ia sudah tahu Daren tahu, tapi mendengarnya diucapkan Daren membuatnya terasa sangat nyata.
Daren menarik tangannya. Ekspresinya kini berubah menjadi sedikit melankolis, penuh penyesalan yang samar.
“Semua orang yang tersisa di sini tahu,” jawabnya. “Dia bukan ‘siswi yang mengundurkan diri’. Dia adalah siswi yang menghilang. Dan dia yang paling tahu tentang lantai itu.”
“Lalu kenapa kamu menyuruhku berhenti?” Reina menuntut.
Daren memejamkan mata sebentar, lalu membukanya. Tatapannya kini terlihat sedikit putus asa.
“Karena kamu terlihat seperti dia. Penuh rasa ingin tahu, tapi mudah terbawa rasa bersalah. Aku tidak mau melihatmu berakhir sama.”
Kemudian, Daren berbisik, mendekatkan wajahnya sedikit ke telinga Reina, suaranya kini hampir tidak terdengar di antara gemuruh hujan:
“Kamu ingin bertemu kakakmu lagi? Tekan tombol itu saat jam 11:11.”
Reina terkejut. Itu bukan peringatan. Itu adalah instruksi. Sebuah jebakan? Atau petunjuk?
“Jam 11:11? Kenapa jam itu?”
Daren mundur. Ia kembali ke sosok Ketua OSIS yang sempurna. Keheningan yang menakutkan kembali tercipta.
“Jam itu adalah nol. Nol waktu, nol ruang. Itu adalah momen ketika void tersier itu paling tipis. Kamu akan mengerti setelah masuk,” jawab Daren.
Ia menoleh, bersiap pergi, tapi ia berhenti di tengah jalan.
“Satu hal lagi, Reina,” Daren berkata tanpa menoleh. “Jika kamu masuk, kamu harus punya alasan yang kuat untuk keluar. Lantai itu adalah cermin dari jiwa. Jika kamu punya rahasia gelap, dia akan menjeratmu. Dan kamu akan menjadi bagian dari arsip yang bersih.”
Daren lalu berjalan pergi, langkahnya mantap, seolah tidak pernah ada percakapan gila yang terjadi.
Reina ditinggalkan sendirian di depan lokernya yang dingin. Kata-kata Daren terus berputar di kepalanya.
Aksa.
Dosa. Rasa Bersalah.
Jam 11:11.
Ia mengeluarkan ponselnya dan melihat waktu. Pukul 09:30. Dua jam lagi menuju nol waktu.
Di tengah kebingungan, ia menarik napas. Perkataan Daren terasa seperti sebuah peringatan yang jujur, bukan ancaman kosong. Daren tidak mengancamnya dengan hukuman sekolah. Daren mengancamnya dengan lantai itu sendiri.
Saat Reina membuka lokernya, ia terkejut. Di antara buku-bukunya yang tersusun rapi, terselip sebuah catatan kecil. Kertas buram, ditulis dengan huruf cetak yang rapi.
“Daren bukan penyelamat. Dia yang membawanya ke sana. Jangan percayai dia.”
Jantung Reina kembali berdetak liar.
Siapa lagi yang tahu? Zio? Naya? Atau seseorang yang mengawasi Daren, dan mengawasi dirinya?
Ia meremas catatan itu. Matanya kembali menatap ke arah koridor yang dilewati Daren. Sosoknya sudah lama menghilang.
Daren tahu Aksa. Daren memberikan petunjuk untuk masuk. Dan seseorang memberinya peringatan untuk tidak mempercayai Daren.
Reina menyadari satu hal yang paling krusial. SMA Adhirana bukan hanya memiliki satu rahasia. Ia memiliki lapisan-lapisan rahasia. Dan Daren adalah salah satu lapisan paling tebal.
Reina tersenyum getir.
“Oke, Daren. Aku akan masuk. Tapi aku nggak akan sendirian.”
Ia mengeluarkan ponsel, mengetik pesan cepat kepada Zio: “Jam 11:11. Lift lama. Konten besar. Jangan telat.”
Ia ingin tahu apa yang Daren sembunyikan. Dan satu-satunya cara mengetahui rahasia seseorang adalah dengan melangkah ke dalam dimensi yang paling ditakutinya.