Elzhar Magika Wiratama adalah seorang dokter bedah kecantikan yang sempurna di mata banyak orang—tampan, disiplin, mapan, dan hidup dengan tenang tanpa drama. Ia terbiasa dengan kehidupan yang rapi dan terkendali.
Hingga suatu hari, ketenangannya porak-poranda oleh hadirnya Azela Kiara Putri—gadis sederhana yang ceria, tangguh, namun selalu saja membawa masalah ke mana pun ia pergi. Jauh dari tipe wanita idaman Elzhar, tapi entah kenapa pesonanya perlahan mengusik hati sang dokter.
Ketika sebuah konflik tak terduga memaksa mereka untuk terjerat dalam pernikahan kontrak, kehidupan Elzhar yang tadinya tenang berubah jadi penuh warna, tawa, sekaligus kekacauan.
Mampukah Elzhar mempertahankan prinsip dan dunianya yang rapi? Atau justru Azela, dengan segala kecerobohan dan ketulusannya, yang akan mengubah pandangan Elzhar tentang cinta?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Biqy fitri S, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Sponge Cake
Seperti biasa pagi itu, Azel sibuk di dapur. Wangi tumisan bawang bercampur dengan aroma kopi memenuhi ruangan. Ia mengenakan celemek, rambutnya sedikit berantakan karena buru-buru, namun tetap terlihat manis. Di meja sudah tersusun sarapan lengkap dan bekal makan siang untuk Elzhar.
Tiba-tiba—
“Ting tong…”
Azel menoleh ke arah pintu. “Siapa pagi-pagi begini?” gumamnya heran. Dengan langkah cepat, ia menuju pintu dan membukanya.
Betapa terkejutnya ia saat melihat sosok Rossa berdiri dengan wajah datar, elegan dengan setelan rapi.
“Ibu…” Azel menahan napas sejenak. “Silakan masuk, Bu.”
Rossa melangkah masuk, matanya menyapu ruangan. Pandangannya berhenti pada meja makan yang sudah tertata rapi, bekal makan siang yang sudah siap di samping, dan suasana apartemen yang hangat.
Alisnya sedikit terangkat. Dalam hati, ia tidak menyangka—menantu yang awalnya ia anggap hanya numpang hidup ternyata benar-benar mengurus Elzhar dengan baik.
Dari arah kamar, Elzhar keluar sudah berpakaian rapi. “Siapa yang datang, Zel?” tanyanya sambil merapikan jas.
Begitu melihat ibunya, ia terkejut. “Ibu?”
“Ibu hanya mampir sebentar. Ibu bawain makanan buat kamu. Kemarin Aluna yang kasih kabar kalau kamu sakit.” Nada suara Rossa tenang, tapi menohok.
“Oh, itu…” Elzhar menggaruk kepala sambil melirik Azel. “Kemarin aku sempat demam, Bu. Tapi sekarang udah baikan kok. Berkat Azel yang telaten ngurusin aku.” Tanpa sadar, ia merangkul bahu istrinya.
Azel sontak kaku, pipinya memerah, tidak tahu harus membalas atau bagaimana.
Rossa hanya memandangi mereka sekilas, sulit ditebak apa yang ia pikirkan. “Apa Ibu mau sarapan di sini sekalian?” tanya Azel sopan, mencoba mencairkan suasana.
“Tidak usah, terima kasih. Setelah ini Ibu ada janji dengan istri Pak Menteri. Ini saja…” Rossa menyerahkan sebuah kotak makanan. “Makanan kesukaan Elzhar. Jangan lupa dimakan.”
Azel menerima dengan kedua tangan. “Terima kasih, Bu.”
Rossa hanya mengangguk singkat lalu beranjak pergi.
Begitu pintu tertutup, suasana apartemen terasa jauh lebih hening. Azel masih memegang kotak makanan dari Rossa, menatapnya beberapa detik sebelum akhirnya membawanya ke meja.
Ia membuka kotak itu perlahan. Terlihat dua sponge cake tampak empuk dan lembut dengan taburan gula halus di atasnya, juga beberapa olahan makanan khas rumah yang aromanya begitu menggoda.
Sesaat Azel terdiam. Hatinya campur aduk. Ibu bahkan masih sempat bikin semua ini buat Elzhar.
Tanpa banyak kata, ia mulai menyusunnya dengan hati-hati. Sponge cake ia letakkan di wadah transparan, sementara lauk-pauk ia tata ulang agar lebih rapi. Setelah itu, semuanya ia simpan ke dalam kulkas.
Setelah semua makanan ia rapikan ke dalam kulkas, Azel sempat menatap sponge cake buatan Rossa yang tampak begitu lembut. Awalnya ia ragu, tapi akhirnya ia memotong sepotong kecil dan mencobanya.
Begitu potongan kue itu menyentuh lidahnya, matanya langsung melebar.
“Ya ampun… enak banget,” gumamnya tanpa sadar. Teksturnya halus, manisnya pas, dan ada aroma mentega yang bikin nagih.
“Elzhar, pantes aja lo suka banget kue buatan Ibu. Rasanya emang luar biasa,” ucap Azel sambil menghela napas panjang.
Elzhar yang duduk di sofa hanya menoleh sambil tersenyum nakal. “Hmmm… tapi tetep aja, sponge cake Ibu gak bisa ngalahin telor dadar gosong lo, Zel.”
Azel spontan melotot. “Apaaa? Lo ngeledekin gue ?waktu itu kan gue lagi buru buru makanya agak gosong!”
“Hahaha, becanda. Gue serius, Zel. Masakan lo tuh punya rasa yang gak bisa digantiin sama siapa pun. Soalnya tiap suapan ada perhatian lo di dalamnya.”
Azel terdiam, hatinya bergetar mendengar ucapan itu. Ia buru-buru menutup wadah sponge cake dan memasukkannya lagi ke kulkas, takut senyumnya yang merekah ketahuan Elzhar.
Suasana pun kembali mencair, meski dalam hati Azel masih menyimpan rasa gugup atas kedatangan Rossa yang mendadak.
Setelah semua makanan tersimpan rapi, Azel menghidangkan sarapan yang tadi sudah ia siapkan. Meja makan sederhana itu tampak hangat dengan dua piring nasi, lauk, dan secangkir kopi hangat.
“Yuk sarapan dulu sebelum kerja,” ucap Azel sambil duduk.
Elzhar ikut duduk di depannya, menatap bekal yang sudah rapi di meja. “Lo tuh kayak istri beneran, Zel. Semua disiapin. Gimana gue gak betah?” godanya sambil tersenyum tipis.
Azel pura-pura cuek, padahal pipinya sedikit memerah. “Udah deh makan aja, nanti telat.”
Mereka pun sarapan bersama dengan suasana hangat. Sesekali Elzhar melempar candaan kecil, sementara Azel hanya bisa menahan senyum meski dalam hati merasa canggung.
Tak lama kemudian, mereka bersiap. Azel merapikan tas kerjanya, sementara Elzhar mengambil jas yang sudah ia gantung rapi sejak semalam.
“Gue ke klinik dulu, Zel. Nanti kalau ada apa-apa kabarin gue,” ujar Elzhar sambil mengenakan sepatu.
“Iya, hati-hati di jalan. Jangan lupa makan bekalnya,” jawab Azel.
Elzhar tersenyum puas, lalu mengisyaratkan tangannya agar Azel mendekat. “Pelukan dulu sebelum berangkat.”
Azel mendengus tapi tetap menurut. Mereka berpelukan singkat, dan tanpa sadar, kehangatan itu membuat pagi mereka terasa berbeda.
Begitu pintu apartemen tertutup, keduanya berjalan beriringan menuju lobi. Azel sibuk merapikan tali tasnya, sementara Elzhar dengan santai menyelipkan tangan di saku celana.
Saat tiba di depan pintu utama, Elzhar tiba-tiba menghentikan langkah. “Zel… pelukan tadi kurang. Gue butuh recharge lagi sebelum kerja,” ucapnya dengan nada manja.
“Apaan sih, L. Orang-orang ngeliatin tau!” bisik Azel panik karena memang ada beberapa tetangga yang juga bersiap berangkat.
“Biarin, biar semua tau gue punya istri yang perhatian,” jawab Elzhar tanpa malu.
Azel langsung memukul pelan lengannya. “Dasar gila!” Tapi wajahnya memerah habis-habisan.
Beberapa penghuni apartemen yang lewat hanya saling senyum-senyum, bahkan ada yang berbisik, “Aduh,, pengantin baru.”
Elzhar makin puas, lalu berbisik di telinga Azel, “Tuh denger… mereka juga ikutan nge-ship kita.”
Azel langsung menjauh dengan wajah sebal campur malu. “Udah sana pergi! Nanti telat kerja!”
Elzhar terkekeh puas, melambaikan tangan sambil berjalan keluar. Sementara Azel berdiri di lobi, menepuk-nepuk dadanya sendiri, mencoba menenangkan debaran yang nggak karuan.
“Ya ampun, kalau terus-terusan begini, gue bisa baper beneran,” gumamnya sambil berjalan ke arah butiknya.
Setelah itu, keduanya pun berangkat ke arah tujuan masing-masing—Azel ke butik, Elzhar ke klinik—dengan sisa senyum yang masih menggantung di wajah mereka.