NovelToon NovelToon
Immortality Through Suffering

Immortality Through Suffering

Status: sedang berlangsung
Genre:Fantasi Timur / Spiritual / Balas Dendam / Mengubah Takdir / Budidaya dan Peningkatan
Popularitas:6.7k
Nilai: 5
Nama Author: YUKARO

Di desa terpencil yang bahkan tidak tercatat di peta, Xu Hao lahir tanpa bakat, tanpa Qi, dan tanpa masa depan. Hidupnya hanyalah bekerja, diam, dan menahan ejekan. Hingga suatu sore, langit membeku… dan sosok berjubah hitam membunuh kedua orang tuanya tanpa alasan.

Dengan tangan sendiri, Xu Hao mengubur ayah dan ibunya, lalu bersumpah. dendam ini hanya bisa dibayar dengan darah. Namun dunia tidak memberi waktu untuk berduka. Diculik perampok hutan dan dijual sebagai barang dagangan, Xu Hao terjebak di jalan takdir yang gelap.

Dari penderitaan lahirlah tekad. Dari kehancuran lahir kekuatan. Perjalanan seorang anak lemah menuju dunia kultivasi akan dimulai, dan Xu Hao bersumpah, suatu hari, langit pun akan ia tantang.


Note~Novel ini berhubungan dengan novel War Of The God's.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon YUKARO, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Tiba Di Kota Yuan

Senja akhirnya tenggelam. Langit berubah menjadi gelap, hanya bulan pucat yang menggantung di angkasa ditemani kerlip bintang. Xu Hao masih melesat di udara dengan pedang terbang peraknya. Tubuhnya terasa lelah, dantian mulai kering, tanda bahwa Qi-nya berkurang banyak setelah perjalanan panjang.

Ia menurunkan pandangan ke bawah. Hutan luas membentang, rimbun dan gelap, hanya sedikit celah yang diterangi cahaya bulan. “Aku harus mencari tempat untuk memulihkan Qi. Jika terus memaksakan diri, perjalanan besok tidak akan sanggup kutempuh.”

Akhirnya Xu Hao menemukan sebidang tanah terbuka di tengah hutan, cukup luas untuk didarati. Ia segera menukikkan pedang terbangnya, angin malam berdesir tajam ketika tubuhnya menembus udara. Dalam sekejap ia mendarat dengan ringan, lalu menyimpan pedang peraknya kembali ke dalam cincin penyimpanan.

Udara malam di hutan terasa lembap, suara binatang malam terdengar bersahutan. Xu Hao berjalan perlahan, mengumpulkan ranting-ranting kering di sekitarnya. Dengan sedikit gesekan api dari bebatuan, ia menyalakan unggun kecil. Api itu menari, memberi kehangatan di tengah dinginnya malam hutan.

Xu Hao duduk bersila di samping api unggun, kedua matanya terpejam. Ia menyalurkan Qi tipis dari dantian ke seluruh tubuh, perlahan mengisi kembali aliran yang terkuras. Waktu terus berjalan. Cahaya bulan bergerak di langit, hingga api unggun mulai mengecil, hanya menyisakan bara merah.

Tepat ketika malam hampir mencapai tengahnya, Xu Hao membuka matanya. Sorot matanya jernih kembali, meski tubuhnya masih sedikit letih. Ia berdiri, lalu mengeluarkan pedang terbang perak dari cincin penyimpanan. “Aku tidak boleh membuang banyak waktu,” gumamnya.

Dengan satu hentakan kakinya, ia melesat ke langit malam. Pedang perak berkilau samar di bawah cahaya bulan, membelah angin dingin. Xu Hao terus melaju ke arah timur. Kesunyian malam ditemani hanya oleh cahaya bintang yang berkelap-kelip di langit luas.

Ketika fajar menyingsing, Xu Hao kembali menurunkan pedangnya, masuk ke dalam hutan yang sepi. Ia memilih tempat yang tersembunyi, lalu kembali duduk untuk memulihkan Qi. Setelah dantian terasa penuh kembali, ia melanjutkan perjalanan. Hari berganti malam, malam berganti pagi. Pola itu berulang, perjalanan panjang menuntut kesabaran.

Dua hari kemudian.

Cahaya matahari pagi memantulkan kilauan samar dari atap genting yang berjajar rapi. Xu Hao mendapati dirinya berada di dekat sebuah kota. Dari jauh terlihat dinding kota yang kokoh, dengan gerbang besar yang dijaga ketat. Banyak pedagang, orang biasa, hingga kultivator lalu-lalang keluar masuk.

Xu Hao memperlambat laju pedangnya, kemudian menukik turun dengan hati-hati. Ia mendarat di tanah sebelum mencapai gerbang, lalu menyimpan pedang peraknya ke dalam cincin penyimpanan. Ia tidak ingin menarik perhatian dengan terbang langsung masuk ke dalam kota.

Dengan langkah tenang, Xu Hao berjalan mendekati gerbang. Di atas gerbang batu besar itu tertulis jelas dengan huruf kuno. Kota Yuan. Xu Hao mengerutkan alis. “Aku belum pernah mendengar nama kota ini dari Paman Cuyo. Sepertinya kota ini tidak begitu terkenal.”

Namun meski tidak terkenal, suasananya sangat ramai. Banyak kultivator terlihat berjalan di sekitar gerbang. Mereka berbicara dengan suara cukup keras, sehingga Xu Hao bisa mendengar potongan-potongan percakapan.

“Besok alam rahasia itu akan terbuka!” seru seorang kultivator muda dengan jubah hijau.

“Benar, itu kesempatan besar. Katanya di dalamnya terdapat peninggalan kuno yang bisa membuat seseorang melompat beberapa tingkat dalam kultivasi,” jawab temannya dengan penuh semangat.

“Tapi yang bisa masuk hanya kultivator di bawah Ranah Nascent Soul. Itu sudah menjadi aturan tetap. Setidaknya, dengan begitu persaingan tidak terlalu timpang.”

“Ha! Jangan salah. Meski dibatasi, tetap saja banyak monster berbakat dari sekte besar yang turun tangan. Kita para kultivator pengembara mungkin hanya bisa memungut sisa.”

Tawa dan bisikan terdengar bersahut-sahutan. Suasana menjadi hiruk pikuk, seolah seluruh kota dipenuhi gelombang antusiasme karena pembukaan alam rahasia yang tinggal sehari lagi.

Xu Hao melangkah melewati gerbang, memasuki keramaian Kota Yuan. Matanya menyapu sekeliling, melihat berbagai macam wajah, pakaian, dan simbol sekte. Ia bisa merasakan, bahwa tempat ini telah berubah menjadi titik pertemuan banyak kultivator dari seluruh penjuru.

“Jadi… di sinilah awal persaingan itu dimulai,” gumam Xu Hao dalam hati, matanya memancarkan kilau tajam.

Xu Hao berjalan menyusuri jalan utama Kota Yuan. Keramaian di dalam kota bahkan lebih padat dibandingkan di gerbang. Bau obat-obatan spiritual, dupa, dan makanan dari berbagai kedai bercampur menjadi satu. Suara pedagang berteriak menawarkan barang mereka bergema di udara, bercampur dengan suara langkah kaki, obrolan kultivator, serta sesekali suara tertawa keras yang penuh kesombongan.

Xu Hao tidak ingin mencari perhatian. Ia memilih berjalan di sisi jalan berbatu, menghindari kerumunan di tengah. Sesekali langkahnya harus terhenti ketika sekelompok kultivator arogan melintas, berjalan berjajar menutupi jalan, seolah seluruh jalan milik mereka sendiri. Beberapa pengembara tampak menyingkir dengan wajah kesal namun tidak berani melawan. Xu Hao menundukkan kepalanya sedikit, tetap tenang, dan menahan diri. Ia tidak ingin membuat masalah kecil menjadi besar hanya karena berebut jalan.

Setelah melewati beberapa blok, Xu Hao berhenti di depan seorang pedagang kaki lima. Pedagang itu menjajakan berbagai jimat kertas, botol kecil berisi pil, dan kantong kain yang tampaknya berisi bubuk spiritual. Xu Hao menatapnya sebentar lalu bertanya dengan nada datar, “Apakah kau tahu tentang alam rahasia yang akan terbuka besok?”

Pedagang itu melirik cepat ke sekeliling sebelum menjawab. Senyumnya kecut, suaranya ditekan. “Informasi semacam itu tidak bisa diberikan gratis. Di kota ini, semua informasi ada harganya. Jika ingin tahu lebih banyak, pergilah ke restoran di ujung persimpangan itu. Restoran bernama Kita Senang. Di sana ada orang-orang yang khusus menjual informasi. Dua koin emas untuk hal-hal biasa. Jika ingin rahasia lebih dalam… tentu harganya jauh lebih mahal.”

Xu Hao mengangguk pelan, tidak berkata lebih banyak. Ia tahu berdebat hanya akan membuang waktu. Setelah itu ia melanjutkan langkahnya menuju persimpangan yang ditunjukkan. Jalanan kota semakin ramai, para kultivator berdiri berkelompok, sebagian mendiskusikan strategi, sebagian membual tentang kemampuan mereka.

Tak lama kemudian, Xu Hao sampai di depan sebuah bangunan dua lantai. Di papan kayu besar di pintu masuk tertulis jelas dengan huruf besar, Restoran Kita Senang. Xu Hao mengerutkan alisnya, lalu bergumam lirih, “Nama yang cukup aneh untuk sebuah restoran…”

Ia kemudian mendorong pintu kayu dan masuk ke dalam.

Di dalam, suasana jauh lebih hidup. Asap tipis dari dupa dan aroma masakan spiritual memenuhi udara. Suara dentingan cangkir arak dan tawa keras bergema di setiap sudut. Meja-meja penuh dengan kelompok kultivator yang duduk beramai-ramai. Ada yang mengenakan jubah seragam sekte, ada pula yang berpakaian lusuh seperti pengembara. Namun hampir semuanya sibuk dengan percakapan mereka sendiri, tidak ada yang memberi perhatian lebih pada Xu Hao yang baru saja masuk.

Xu Hao melangkah perlahan, pandangannya menyapu ruangan, lalu memilih duduk di sudut paling ujung. Tempat itu agak sepi, jauh dari keributan utama, dan memberi pandangan luas ke seluruh ruangan. Ia duduk dengan punggung menghadap dinding, posisi yang aman untuk menghindari serangan mendadak.

Tak lama kemudian seorang pelayan wanita datang menghampirinya. Wajahnya manis, pakaiannya sederhana namun bersih. Dengan suara lembut, ia bertanya, “Apa yang ingin Tuan pesan?”

Xu Hao tidak menjawab langsung. Ia sedikit menunduk, lalu dengan suara pelan berbisik, “Aku datang untuk mencari informasi… tentang alam rahasia yang akan terbuka besok.”

Pelayan wanita itu menatap Xu Hao sebentar, seolah menilai kesungguhannya, lalu berkata dengan nada datar, “Informasi itu berharga. Lima koin emas bayaran dasarnya.”

Xu Hao tidak ragu. Dengan tenang ia mengeluarkan lima belas koin emas dari cincin penyimpanan, lalu meletakkannya di atas meja. Koin-koin itu berkilau di bawah cahaya lampu minyak, menarik perhatian beberapa pengunjung yang duduk tidak jauh. Xu Hao berkata perlahan, “Siapkan ayam bakar dan bubur spiritual. Sisanya… untuk informasi.”

Mata pelayan itu sedikit berbinar ketika melihat jumlah koin. Ia segera meraih semuanya dengan gerakan anggun, lalu menyembunyikannya ke dalam kantong pinggangnya. Dengan nada sopan ia berkata, “Tuan, mohon tunggu sebentar. Setelah makanan disiapkan, aku akan menyampaikan informasi yang kau butuhkan.”

Xu Hao mengangguk singkat. Ia lalu bersandar sedikit di kursi kayu, menunggu sambil memejamkan mata sejenak. Hiruk pikuk restoran terus berlanjut di sekelilingnya, namun Xu Hao tetap tenang, seolah samudra yang diam di balik badai.

Setelah menunggu beberapa saat, pelayan wanita itu akhirnya kembali. Ia membawa sebuah nampan kayu besar, di atasnya tersusun sepiring ayam bakar yang harum, semangkuk bubur spiritual berwarna keperakan yang memancarkan uap lembut, dan sebuah teko tanah liat berisi teh hangat sebagai tambahan. Dengan gerakan anggun, ia meletakkan semua pesanan Xu Hao di atas meja. Aroma ayam bakar yang dilumuri bumbu rempah segera menyebar, membuat beberapa pengunjung di meja terdekat melirik dengan rasa iri.

Xu Hao membuka matanya perlahan, lalu berkata dengan nada tenang, “Bicaralah.”

Ia mengambil sepotong besar ayam bakar dan langsung menyantapnya. Suara daging yang empuk robek di mulutnya terdengar jelas. Meski sedang makan, tatapan Xu Hao tetap serius, memberi tanda bahwa ia ingin mendengar penjelasan.

Pelayan wanita itu menarik kursi dan duduk di depannya. Sikapnya berubah dari sekadar pelayan menjadi seperti penyampai informasi resmi. Ia menundukkan kepalanya sedikit, lalu mulai berbicara.

“Alam rahasia yang sedang ramai dibicarakan itu baru ditemukan sekitar setahun yang lalu. Para penemu awal menyebutnya sebagai sebuah reruntuhan kuno, meskipun mereka tidak berani memastikan klan atau sekte kuno mana yang meninggalkannya.”

Xu Hao masih sibuk mengunyah, lalu melambaikan tangannya seolah menyuruhnya untuk terus berbicara. “Lanjutkan saja. Jangan pedulikan aku.”

Pelayan wanita itu mengangguk, lalu melanjutkan dengan suara sedikit lebih pelan agar tidak didengar orang lain. “Menurut kabar, di dalam alam rahasia itu tersimpan banyak harta. Bukan hanya pil obat atau bahan spiritual, tetapi juga buku teknik tingkat tinggi, pusaka kuno, bahkan warisan dari para pendahulu. Itu sebabnya begitu berita tersebar, banyak kultivator dari berbagai penjuru benua Qiyuan segera datang untuk mencoba peruntungan.”

Xu Hao mengangguk kecil sambil menelan potongan ayam terakhir, wajahnya tetap datar.

Pelayan itu mencondongkan tubuh sedikit ke depan, suaranya semakin menurun. “Namun, ada hal yang membuat alam rahasia ini berbeda dari kebanyakan. Aturan di dalamnya hanya mengizinkan kultivator Qi Refining, Foundation Establishment, dan Core Formation. Siapa pun yang berada di Ranah Nascent Soul dan mencoba masuk… kekuatan aturan akan langsung melumatnya menjadi abu. Tidak ada pengecualian.”

Xu Hao meletakkan tulang ayam ke samping piring, lalu mengangguk pelan. “Aku mengerti.”

Pelayan itu melanjutkan dengan serius, “Karena itulah, tempat itu disebut peluang emas bagi generasi muda. Namun juga medan pertempuran berdarah. Lima sekte besar benua Qiyuan telah mengirim murid-murid terbaik mereka. Bahkan aku mendengar rumor… beberapa murid di ranah Nascent Soul menekan kultivasi mereka dengan metode rahasia agar bisa masuk ke dalam.”

Xu Hao yang sedang menyendok bubur spiritual tiba-tiba mengernyit. “Kalau begitu, siapa pun bisa masuk jika bisa menekan kultivasinya?”

Pelayan itu tersenyum tipis, seolah sudah menebak pertanyaan itu. “Tidak semudah itu. Hanya sekte besar yang memiliki harta khusus untuk menekan kultivasi tanpa merusak fondasi. Mereka bisa menurunkan seorang Nascent Soul ke ranah Core Formation. Tetapi tidak lebih rendah dari itu. Menekan terlalu jauh akan menghancurkan dasar kultivasi mereka. Jadi tidak semua orang punya kesempatan semacam itu.”

Xu Hao terdiam sejenak, lalu mengangguk pelan. Bubur di mangkuknya telah habis, ia menggeser mangkuk ke tepi meja.

Pelayan wanita itu menatapnya sebentar sebelum melanjutkan dengan nada serius. “Jika kau berencana masuk sendirian, sebaiknya berhati-hati. Karena bukan hanya sekte besar, tetapi juga klan-klan berpengaruh telah mengirimkan keturunan mereka. Klan Feng, klan He, dan beberapa keluarga besar lainnya. Mereka tidak hanya kuat, tetapi juga licik, dan tidak segan bekerja sama untuk menyingkirkan pesaing.”

Mata Xu Hao bergetar sesaat mendengar nama dua klan besar itu. Namun ekspresinya cepat kembali tenang. Ia meraih teko, menuangkan teh ke cangkir kecil, lalu mengangkatnya perlahan. Dengan nada tenang namun dalam, ia berkata, “Tenang saja. Terima kasih atas informasinya. Kau boleh pergi.”

Pelayan wanita itu berdiri dan menundukkan badan sedikit. “Semoga keberuntungan menyertai Tuan.” Ia lalu meraih piring dan mangkuk kosong, sebelum melangkah pergi menuju dapur.

Xu Hao duduk dalam keheningan. Asap tipis dari teh hangat naik perlahan di depannya. Ia memandang cangkir kecil itu, lalu menyesap perlahan. Pikirannya berputar, menimbang kata-kata tadi. Nama sekte besar, aturan alam rahasia, hingga keberadaan klan Feng dan He. Semakin ia memikirkan, semakin berat beban yang ia rasakan. Namun di balik sorot matanya yang bergetar, ada cahaya keteguhan yang mulai menyala.

Xu Hao masih duduk diam di sudut ruangan, jemarinya memegang cangkir kecil berisi teh yang masih mengepulkan asap tipis. Setiap tegukan ia gunakan untuk menenangkan pikiran, sambil mengulas kembali informasi penting yang baru saja ia dapatkan dari pelayan wanita tadi. Nama sekte besar, harta warisan kuno, hingga peringatan tentang klan Feng dan klan He berputar dalam benaknya.

Pintu restoran tiba-tiba berderit terbuka. Dari balik pintu masuk, sepasang kultivator muda melangkah masuk. Langkah mereka mantap, pakaian mereka rapi dan menunjukkan latar belakang dari sekte yang cukup besar. Begitu Xu Hao mengangkat kepalanya sedikit, matanya langsung terbelalak. Ia mengenal keduanya.

Chen Wuji. Lin Meihua.

Wajah mereka jelas tertanam dalam ingatannya saat peristiwa di goa itu. Detik itu juga Xu Hao segera menundukkan kepalanya kembali, berpura-pura sibuk menatap permukaan tehnya. Ia berharap dua orang itu tidak menyadarinya. Namun takdir tidak selalu berpihak.

Mata Lin Meihua tiba-tiba menangkap sosok Xu Hao. Tubuhnya sedikit bergetar, matanya membelalak lebar, seolah tak percaya. Hatinya terasa teriris, bercampur antara rasa senang karena Xu Hao selamat, sekaligus bersalah karena hari itu ia meninggalkannya.

Chen Wuji yang berjalan di sampingnya menoleh dengan heran. “Ada apa, junior?”

Lin Meihua menahan napas sejenak lalu berkata dengan suara lirih, “Itu… itu teman Su. Dia berhasil keluar dari goa itu ternyata.”

Chen Wuji langsung melirik sekeliling dengan waspada. Wajahnya berubah serius dan ia mendekat pada Lin Meihua. “Pelankan suaramu, junior. Jangan sampai orang-orang tahu kalau kita pernah masuk ke goa itu.”

Lin Meihua menggigit bibir, lalu hanya mengangguk kecil, menahan kata-kata yang ingin ia ucapkan.

Chen Wuji lalu mengarahkan pandangan ke arah Xu Hao. Sosok muda itu duduk menunduk di pojok ruangan, cangkir teh di tangannya tidak goyah meski jelas ia mendengar percakapan mereka. Chen Wuji mempersempit matanya, mencoba menilai reaksi Xu Hao.

Namun sebelum Chen Wuji bisa bertindak lebih jauh, Lin Meihua tiba-tiba melangkah maju. Suara hentakan kakinya pelan, namun penuh ketegasan. Ia berdiri tepat di samping Xu Hao, wajahnya tampak gugup namun matanya penuh ketulusan.

“Teman Su,” katanya dengan suara yang sedikit bergetar. “Syukurlah kau selamat. Jika tidak, aku mungkin akan merasa bersalah seumur hidupku.”

Xu Hao melirik sekilas ke arahnya. Sorot matanya tetap tenang meski dalam hatinya ada banyak hal yang ingin ia lontarkan. Dengan suara datar namun tegas, ia menjawab, “Ya. Itu berkat keberuntunganku.”

Lin Meihua tampak semakin sedih mendengar jawaban itu. Matanya memerah, ia menundukkan wajah sejenak sebelum berbisik, “Maaf… hari itu kami meninggalkanmu saat terjebak di goa. Aku… aku sebenarnya ingin menolongmu, tapi…”

Sebelum ia sempat menyelesaikan kalimatnya, Xu Hao mengangkat tangannya pelan, menghentikannya. “Tidak perlu merasa bersalah. Aku masih hidup, itu sudah cukup. Tidak ada gunanya mengingat masa lalu.”

Chen Wuji yang sejak tadi mengamati dari jarak beberapa langkah akhirnya ikut mendekat. Dengan suara penuh percaya diri ia menambahkan, “Betul apa yang dikatakan teman Su. Jadi kau tidak perlu menyalahkan dirimu terus-menerus, junior.”

Lin Meihua mendongak dengan tatapan tajam menembus Chen Wuji. Sorot matanya berubah, penuh amarah yang tertahan. “Kau memang tidak punya malu, senior. Meninggalkan teman Su tanpa perasaan bersalah sedikit pun.”

Chen Wuji sedikit tersentak, alisnya berkerut. “Junior, kenapa kau kasar sekali kepada senior sendiri?”

Nada suaranya terdengar ingin menekan, tetapi Lin Meihua tidak mundur. Suaranya lantang meski bergetar. “Jika saja senior mau kembali untuk menyelamatkan teman Su, pasti kita bisa keluar bersama. Buktinya, sekarang teman Su berhasil keluar.”

Chen Wuji terdiam sesaat, lalu menarik napas dalam-dalam dan mencoba menjaga ketenangan wajahnya. “Aku tidak tahu kalau teman Su bisa keluar hidup-hidup. Jika aku yakin ada kemungkinan besar, tentu aku akan membantunya.”

Xu Hao yang sejak tadi diam, justru tersenyum tipis. Ia meletakkan cangkir tehnya perlahan ke atas meja. “Sudahlah. Jangan saling berdebat. Untuk apa meributkan hal yang telah berlalu?”

Chen Wuji segera mengangguk, wajahnya kembali tenang. “Itu benar, teman Su. Perdebatan hanya membuang waktu.”

Lin Meihua masih terlihat kesal, namun akhirnya menghela napas panjang dan ikut mengangguk.

Xu Hao lalu menatap keduanya, kali ini dengan nada lebih lembut. “Duduklah. Mari kita berbicara sebentar, mengisi waktu.”

Lin Meihua menatap wajah Xu Hao beberapa saat, lalu mengangguk pelan. Ia menarik kursi dan duduk di hadapan Xu Hao. Chen Wuji mengikuti, duduk di samping Lin Meihua. Meski wajahnya tenang, namun sorot matanya yang sesekali melirik Xu Hao menyiratkan sesuatu yang sulit ditebak.

Suasana meja kecil itu kini berubah menjadi lingkaran kecil dari masa lalu yang belum sepenuhnya usai.

1
Nanik S
Ditunggu upnya tor 🙏🙏🙏
Nanik S
Huo... nekat benar memberi pelajaran pada Pria Tu
Nanik S
apakah mereka bertiga akan masuk bersama
Nanik S
Huo memang Urakan.... memang benar yang lebih Tua harus dipanggil senior
Nanik S
Lha Dau Jiwa sudah dijual
YAKARO: itu cuma tanaman obat kak. bukan jiwa beneran
total 1 replies
Nanik S
Inti Jiwa...
Nanik S
Lanjutkan makin seru Tor
Nanik S
Lanjutkan Tor
Nanik S
Makan Banyak... seperti balas dendam saja Huo
Nanik S
Pil Jangan dijual kasihkan Paman Cuyo saja
Nanik S
Mau dijual dipasar tanaman Langkanya
Nanik S
Lanjutkan
Nanik S
Ceritanya bagus... seorang diri penuh perjuangan
Nanik S
Cerdik demi menyelamatkan diri
Nanik S
Baru keren... seritanya mulai Hidup
YAKARO: Yap, Thanks you/Smile/
total 1 replies
Nanik S
Mungkin karena Xu Hai telah byk mengalami yang hampir merebut nyawanya
Ismaeni
ganti judul yaa thor?
YAKARO: enggak. Hidup Bersama Duka itu awalnya judul pertama pas masih satu bab, terus di ubah jadi Immortality Though Suffering. malah sekarang di ganti sama pihak Noveltoon ke semula.
total 1 replies
Nanik S
Xu Hai... jangan hanya jadi Penonton
Nanik S
Sebenarnya siapa Pak Tua yang menyelamatkan Hao
YAKARO: Hmm, saya juga penasaran/Proud/
total 1 replies
Nanik S
untung ada yang menolong Xu Hai
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!