Amara Kirana tidak pernah menyangka hidupnya hancur seketika saat keluarganya terjerat utang.
Demi menyelamatkan nama baik keluarga, ia dipaksa menikah dengan Bagas Atmadja—pria dingin yang ternyata adalah ayah dari sahabatnya sendiri, Selvia.
Pernikahan itu bukan kebahagiaan, melainkan awal dari mimpi buruk.
Selvia merasa dikhianati, Meylani (istri kedua Bagas) terus mengadu domba, sementara masa lalu kelam Bagas perlahan terbongkar.
Di tengah kebencian dan rahasia yang menghancurkan, muncul Davin Surya, pria dari masa lalu Amara yang kembali menawarkan cinta sekaligus bahaya.
Antara pernikahan paksa, cinta terlarang, dan pengkhianatan sahabat… akankah Amara menemukan jalan keluar atau justru tenggelam semakin dalam?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon funghalim88@yahoo.co.id, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 21 BAYANGAN BARU
Pagi itu udara kampus masih basah oleh hujan semalam. Amara melangkah masuk dengan langkah hati-hati. Meski audit yayasan sudah membersihkan namanya, gosip tidak otomatis padam. Poster gosip lama memang sudah dicabut, tetapi bisikan tetap terdengar di koridor.
“Katanya dia dibela audit, ya?”
“Ah, siapa juga yang percaya audit. Semua bisa diatur.”
“Tapi dosen kita sendiri bilang, buktinya jelas. Jadi memang dia dijebak.”
Amara menunduk, berusaha menahan napas panjang. Ia sadar, ini bukan kemenangan akhir. Justru setiap kemenangan membuat lawan mencari cara baru untuk menyerang.
Di kelas, dosen memberi tugas presentasi kelompok. Selvia langsung mengangkat tangan. “Pak, saya ingin kelompok saya membahas topik integritas. Kebetulan ada contoh nyata di sini.” Ia menoleh ke arah Amara dengan senyum menyindir.
Dosen menghela napas. “Selvia, cukup. Kita bicara tentang teori, bukan gosip.”
Namun Selvia tidak menyerah. “Tapi bukankah teori integritas justru harus dilihat dari kehidupan nyata? Apa pantas mahasiswa yang terus membawa masalah pribadi berdiri di depan panggung akademik?”
Suasana ricuh. Beberapa mahasiswa mulai berbisik, tapi ada pula yang berani menegur.
“Selvia, sudah cukup. Audit sudah jelas.”
“Kalau kamu terus serang Amara, justru kamu yang kelihatan obsesif.”
Wajah Selvia memerah, namun ia hanya mendengus dan kembali duduk. Amara menunduk, hatinya lega sekaligus getir. Mungkin perlahan, kebenaran memang bisa mengubah pandangan orang.
Sore hari, Amara kembali ke rumah. Ia mendapati Bagas menunggunya di ruang kerja dengan wajah serius.
“Aku baru saja menerima laporan dari yayasan,” katanya. “Ada donor baru yang ingin bertemu langsung denganmu. Mereka terkesan dengan caramu menghadapi fitnah.”
Amara terkejut. “Dengan… aku?”
Bagas mengangguk. “Ya. Mereka ingin bicara denganmu sebagai pemimpin program, bukan hanya istri Bagas Atmadja.”
Amara tercekat. Kata-kata itu sederhana, tapi maknanya dalam. Ia merasa untuk pertama kali, ia benar-benar dipandang karena dirinya sendiri.
Namun malamnya, kabar baru datang. Arman mengetuk pintu kamar Amara dengan wajah cemas.
“Nyonya, kami menemukan sesuatu. Ada foto baru yang beredar di forum anonim. Bukan fitnah soal yayasan, tapi… foto lama. Anda bersama Davin, di kafe, sebelum menikah.”
Amara merasakan wajahnya memanas. Itu foto lama, diambil saat ia masih mahasiswa biasa. Tidak ada yang salah, tapi di tangan orang yang tepat, itu bisa menjadi senjata baru.
“Siapa yang menyebarkannya?” tanyanya pelan.
Arman menunduk. “Belum tahu. Tapi pola sebarannya mirip akun-akun yang dulu juga menyerang.”
Amara menutup matanya. Mereka memang tidak akan berhenti.
Malam itu, ia duduk di meja kecil kamarnya, menulis di buku catatan.
“Hari ini aku dibersihkan dari fitnah, tapi bayangan baru muncul. Mereka menggali masa lalu untuk menjatuhkan masa kini. Aku tidak akan mundur. Aku akan berdiri lagi, dengan caraku sendiri.”
Ia menutup catatan, lalu menatap ke luar jendela. Hujan turun lagi, mengetuk kaca jendela seperti mengingatkan: setiap badai mungkin berulang, tapi kali ini ia sudah siap menghadapi.
Keesokan paginya, gosip soal foto lama Amara dan Davin sudah menyebar di kampus. Di papan informasi, ada kertas tanpa nama yang ditempel dengan judul besar: “Benarkah istri muda itu masih berhubungan dengan pria lain?”
Mahasiswa berkerumun, menunjuk-nunjuk, sebagian tertawa. Amara berdiri beberapa meter jauhnya, dadanya sesak. Foto itu hanya masa lalu… tapi mereka akan memelintir jadi apa saja.
Indra, mahasiswa yang pernah membelanya, berdiri di sampingnya. “Biarkan aku yang sobek.”
Amara menggeleng. “Tidak. Aku akan lakukan sendiri.”
Ia maju, merobek selebaran itu hingga hancur, lalu menatap seisi kerumunan. “Kalian boleh percaya gosip, tapi jangan lupa: semua orang punya masa lalu. Yang menentukan adalah apa yang kita lakukan hari ini.”
Kerumunan terdiam. Tidak semua setuju, tapi setidaknya ada yang mulai menunduk malu.
Siang harinya, di kelas, Selvia kembali melancarkan serangan. “Amara, kalau kau memang bersih, kenapa fotomu dengan Davin bisa muncul? Kau pura-pura jadi istri setia, tapi ternyata—”
“Cukup, Selvia!” potong seorang mahasiswi lain. “Kau terlalu jauh. Itu foto lama, sebelum dia menikah. Tidak ada yang salah.”
Suasana kelas ricuh. Untuk pertama kali, suara yang membela lebih keras daripada suara yang menyerang. Amara duduk diam, menahan haru. Akhirnya… ada yang melihat kebenaran.
Malamnya, di rumah, Meylani sudah menunggu di ruang tamu. Wajahnya tampak puas. “Foto lama bisa jadi senjata baru, bukan? Kau bisa bersih dari audit, tapi masa lalu tak bisa kau hapus.”
Amara menatapnya tanpa gentar. “Aku tidak berniat menghapus masa laluku. Justru itu yang membentukku. Kau boleh menyebarnya, Meylani. Tapi orang yang benar akan tahu: tidak ada yang salah dengan seorang gadis duduk di kafe bersama temannya.”
Meylani mendengus. “Kau terlalu percaya diri. Dunia tidak sebaik itu.”
“Benar,” jawab Amara pelan, “tapi aku tidak sendiri. Dan itu cukup.”
Malam itu, Bagas datang ke kamar membawa berkas. “Aku tahu soal foto itu. Jangan khawatir. Aku sudah siapkan tim hukum kalau ada media yang berani memelintir.”
Amara menatapnya terkejut. “Kau… membelaku lagi?”
Bagas menaruh berkas di meja. “Aku tidak membelamu, Amara. Aku membela fakta. Dan fakta berpihak padamu.”
Amara merasakan sesuatu bergetar di dadanya. Perlahan, tembok di antara mereka mulai runtuh.
Ia menulis di buku catatan sebelum tidur:
“Hari ini, masa lalu dipakai untuk menyerangku. Tapi aku tidak akan malu. Aku akan tetap berdiri, karena aku tahu siapa diriku sekarang.”
Keesokan harinya, Amara masuk kelas dengan langkah lebih mantap. Ia sudah menyiapkan hati menghadapi apa pun. Namun begitu ia duduk, beberapa mahasiswa justru menyapanya lebih ramah.
“Amara, kalau butuh bantuan bahan presentasi, bilang saja.”
“Aku lihat program yayasanmu di berita lokal, keren banget.”
Amara sempat terdiam, hampir tidak percaya. Ada rasa hangat menjalari dadanya—perlahan, ia bukan lagi sasaran tunggal.
Di sisi lain ruangan, Selvia menggertakkan gigi, jelas kesal karena serangannya tidak lagi efektif. Ia berbisik pada temannya, tapi kali ini banyak yang tidak menoleh.
Sepulang kuliah, Amara duduk di mobil bersama Arman. Ponselnya kembali bergetar—pesan singkat dari nomor tak dikenal:
“Kau boleh lolos sekali, dua kali. Tapi kami akan terus menggali masa lalumu. Sampai kau tidak bisa lagi berdiri.”
Amara menatap layar, lalu menghapus pesan itu. Ia menutup matanya sebentar, mengatur napas. Biarlah mereka mengancam. Selama aku tidak mundur, mereka yang akan lelah.
Malamnya, sebelum tidur, Bagas kembali mengetuk pintu. Kali ini ia tidak membawa berkas, hanya secangkir teh hangat.
“Untuk apa ini?” tanya Amara heran.
“Untuk tenang,” jawab Bagas singkat.
Mereka duduk berhadapan, tanpa banyak kata. Namun diam itu terasa berbeda—hangat, bukan dingin.
Amara menyadari, sedikit demi sedikit, dunianya berubah. Ia bukan lagi perempuan yang hanya dipaksa menikah demi status. Ia sedang tumbuh menjadi sosok yang bisa menegakkan kepalanya sendiri.
Sebelum tidur, ia menulis di catatan:
“Hari ini aku melihat cahaya kecil: beberapa orang mulai percaya. Dan mungkin, perlahan, aku bisa percaya pada diriku sendiri.”