NovelToon NovelToon
Umbral

Umbral

Status: sedang berlangsung
Genre:Horor
Popularitas:412
Nilai: 5
Nama Author: Rudi Setyawan

Davin menemukan catatan rahasia ayahnya, Dr. Adrian Hermawan, di attic yang merupakan "museum pribadi' Adrian. Dia bukan tak sengaja menemukan buku itu. Namun dia "dituntun" untuk menguak rahasia Umbral.
Pada halaman terakhir, di bagian bawah, ada semacam catatan kaki Adrian. Peringatan keras.
“Aku telah menemukan faktanya. Umbral memang eksis. Tapi dia tetap harus terkurung di dimensinya. Tak boleh diusik oleh siapa pun. Atau kiamat datang lebih awal di muka bumi ini.”
Davin merinding.
Dia tidak tahu bagaimana cara membuka portal Umbral. Ketika entitas nonmanusia itu keluar dari portalnya, bencana pun tak terhindarkan. Umbral menciptakan halusinasi (distorsi persepsi akut) terhadap para korbannya.
Mampukah Adrian dan Davin mengembalikan Umbral ke dimensinya—atau bahkan menghancurkan entitas tersebut?.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rudi Setyawan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 17 — The Haunted Pool: Fact or Fake?

MEREKA berempat duduk di ruang santai keluarga untuk menonton potongan video lewat layar kaca berukuran raksasa sebelum diedit Davin dan Rayan. Semua file video sudah dipindahkan ke laptop—termasuk b-roll yang direkam Davin di ruang loker. Rutinitas yang biasa mereka lakukan setelah syuting di lokasi angker.

Tari memegangi gelas tehnya yang mengepulkan uap hangat. Di sampingnya, Naya berusaha duduk dengan tenang. Dia masih tak bisa melupakan kejadian-kejadian ganjil di kolam renang angker tadi. Di atas meja kaca, kue yang dibawa Tari dari kulkas sudah nyaris ludes dilahap Davin dan Rayan.

Rayan menyeringai lebar pada Tari dan Naya. “Brace yourself,” ujarnya setengah bercanda, sambil memutar file video pertama.

Di layar kaca, gambar sedikit bergoyang. Sepatu kets Rayan menapak di lantai keramik kusam. Cahaya sore menerpa kolam utama. Kamera bergerak lambat menangkap tribun—dan di sana terlihat Sasha, Naya dan Elisa berdiri santai. Kamera bergeser ke gedung tua di sisi kanan. Bangunan bekas kafe itu terlihat kusam—jendelanya suram seperti rongga mata raksasa.

Kamera perlahan bergerak ke papan loncat di ujung kolam. Beberapa detik tidak ada apa-apa… lalu, dari balik papan loncat, terlihat kepala kecil mengintip. Bayangan itu tak bergerak, hanya miring sedikit, seakan mendengar sesuatu. Lensa sedikit bergetar. Gambar buram sepersekian detik, lalu kepala itu hilang.

Naya menahan napas. Bulu kuduknya begitu saja berdiri. “Oh, siapa itu?”

Rayan ikut kaget. “Gila, berarti kepala anak itu beneran terekam. Bukan ilusi optik.”

“Kamu… tadi liat anak itu?”

“Cuma di layar ponsel. Pas gue nengok, dia udah nggak ada.”

Tari melirik Rayan sekilas, lalu matanya berpindah ke arah Davin yang fokus ke layar. Tapi dia tak bersuara apa-apa.

Rayan memutar video kedua. Fokus kamera bergerak ke kolam dalam. Beton retak, lumut menempel. Papan loncat miring dan goyah. Kamera turun mengikuti tangga besi. Setiap pijakan membuat suara serak besi, tapi di video bunyinya terlalu keras—seperti direkam dari jarak sangat dekat ke mikrofon.

Gambar lantai kolam penuh dedaunan, pecahan keramik dan pecahan kaca. Di sudut, sesuatu seperti tangan kecil menyentuh bibir kolam dari luar—lalu menghilang sebelum fokus kamera menyesuaikan.

Kamera naik lagi ke tepi kolam. Papan loncat terekam lagi—dan kali ini sosok kecil berdiri di atasnya, punggung menghadap kamera. Gerakannya seperti mengayun-ayunkan kaki di udara. Namun saat kamera bergeser setengah meter ke kanan, papan itu kosong.

Cut mendadak ke pintu besi ruang pompa air. Terdengar deritan samar. Pintu itu bergerak sendiri—terbuka sedikit lebih lebar.

“Pintu itu nggak bergerak tadi sore,” ujar Rayan.

Naya refleks menutup mulutnya dengan telapak tangan. Dia ingin memalingkan wajahnya ke arah lain. Tapi matanya justru seperti terkunci di layar.

Langkah Rayan bergerak ke ruang pompa air—suaranya berubah dan sedikit terengah. Cahaya lampu kilat menyapu isi ruangan—memperlihatkan dinding berjamur, pipa terpotong dan rongsokan besi berkarat.

Lampu kilat mati. Gambar jadi agak berbutir. Dari sisi kiri layar, bayangan hitam melintas cepat—tidak seperti manusia, tapi lebih seperti siluet kabur yang merayap di dinding.

“Kamu… liat itu tadi?” bisik Naya dengan suara bergetar.

Rayan mengangguk pelan. “Ya, aku ada liat sekilas,” sahutnya. “Tapi pas aku nengok, nggak ada apa-apa.”

Di layar kaca, kamera berputar merekam pintu besi. Pintu itu kembali berderit dan perlahan tertutup hingga rapat.

Tiba-tiba, layar membeku sepersekian detik, lalu terdengar tawa anak kecil—serak, basah, dan seolah direkam tepat di sebelah mikrofon.

Pada satu frame terakhir—pantulan Rayan di dinding ruangan… namun wajahnya terlihat menghadap ke arah yang berbeda dari tubuhnya.

Rayan menegakkan tubuhnya. “Oh, shit,” cetusnya pelan. Mau tidak mau dia merasa tegang. Ada kontras antara apa yang dilihatnya dengan mata telanjang dan rekaman di video.

Dia memutar tangkapan kamera drone di gedung tua. Cahaya LED perlahan menyapu dinding—lalu menyusuri bar yang sudah hancur total. Sesaat gambar bergerak liar ketika mengejar bunyi “KREEEEKK…” yang muncul dari ruang pompa air. Pintu besinya tampak makin suram di bawah kegelapan malam.

Kamera bergerak lagi ke bibir kolam utama. Kosong. Sosok lelaki tua itu sama sekali tak terlihat. Di layar kaca justru tampak Naya dan Elisa—dan Naya seperti berbicara sendiri pada gelap malam.

“Oh, rasanya aku nggak tahan lagi,” keluh Naya sambil memejamkan mata.

Rayan menyeringai lebar. “Lo mau ngumpet di mana? Semua jin yang ada di kolam tadi udah pada eksodus ke sini. Tuh, mereka lagi antri di teras.”

“Kadang aku benci banget sama kamu, Ray,” gerutu Naya.

Rayan tertawa kecil. “Ya, gue tahu.”

Video berikutnya diputar. Di layar kaca, wajah Rayan terlihat tegang sambil berbicara di kamera. Cut ke genangan air keruh di kolam utama. Riak-riak air terlihat cukup jelas di bawah siraman cahaya LED drone.

Fokus kamera bergerak cepat ketika terdengar lagi bunyi “BRAKKK!” di gudang tua. Rayan berbicara cepat di kamera. Beberapa detik kemudian disusul bunyi “KREKKKK….” di pintu masuk.

Kamera bergerak sedikit liar ketika Rayan melangkah cepat ke gedung tua. Terdengar suara teriakan Davin di latar belakang. LED drone menyorot pintu yang setengah terbuka—dan tampak semakin dekat di layar kaca.

Naya menatap layar kaca yang memperlihatkan lantai bawah—sambil siap-siap memejamkan mata kalau ada potongan gambar yang mengerikan. Lantainya kotor dan berdebu. Dinding penuh dengan coretan.

Suara Rayan terdengar tegang. Langkahnya terseret ke dapur kecil di samping tangga. Terlihat rak berkarat menempel di dinding—bak cuci piring tampak hitam tanpa keran—dan sebuah piring plastik robek teronggok di atasnya.

Di sisi kiri, ada sebuah pintu kecil. Tertutup rapat. Kamera bergetar sebentar ketika Rayan mendekat. Tak ada suara apa pun selain napasnya sendiri.

Ketika dia menguakkan daun pintu, tiba-tiba terdengar sebuah tawa lirih dari balik rekaman. Bukan suara tawanya.

“Gue juga nggak denger itu,” ujarnya sambil mengernyitkan alis. “Viewers pasti nyangka cuma efek suara. Tapi biar aja, kita upload apa adanya, Prof.”

“Oke,” sahut Davin singkat.

Rayan memutar video terakhir. Bidikan kamera terlihat stabil dalam kendali Naya. Rayan menyeringai ketika menyaksikan aksi parkour-nya di ujung video.

Dia menoleh ke arah Davin. “Judulnya udah ketemu, Prof?”

Davin mengetik cepat di laptop. “Gimana kalau “The Haunted Pool: Fact or Fake?”?”

“Wow, mantap.”

Naya menghembuskan napas lega ketika jemputannya akhirnya datang. Dia langsung meluncur keluar. Wajahnya tampak agak pucat. Tari ikut beranjak pergi karena dia tak sanggup mengikuti Davin dan Rayan yang seperti tak kenal rasa capek.

“Kita perlu makan, Bro,” gumam Davin sambil mulai fokus mengedit video.

“Dari tadi udah gue pesen,” sahut Rayan. “Sebentar lagi pasti nyampe. Gue juga udah laper banget.”

Hening sejenak. Suara klik mouse dan detak keyboard terdengar jelas di ruang yang lengang.

Lalu tiba-tiba terdengar suara benda jatuh di dapur.

Buk.

Bunyinya berat seperti kardus menghantam lantai keramik.

Rayan mengangkat wajahnya. Matanya bertemu dengan tatapan Davin.

“Mungkin cuma angin,” ujar Davin datar.

Rayan mengangguk pelan. “Ya, pasti cuma angin.”

Tapi keduanya tahu bahwa tak ada angin yang cukup kuat untuk menjatuhkan sebuah benda di dapur.

Apa mungkin mereka… diikuti?

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!