“Di balik seragam putih abu-abu, Nayla menyimpan rahasia kelam.”
Di usia yang seharusnya penuh tawa dan mimpi, Nayla justru harus berjuang melawan pahitnya kenyataan. Ibu yang sakit, ayah yang terjerat alkohol dan kekerasan, serta adik-adik yang menangis kelaparan membuatnya mengambil keputusan terberat dalam hidup: menukar masa remajanya dengan dunia malam.
Siang hari, ia hanyalah siswi SMA biasa. tersenyum, bercanda, belajar di kelas. Namun ketika malam tiba, ia berubah menjadi sosok lain, menutup luka dengan senyum palsu demi sesuap nasi dan segenggam harapan bagi keluarganya.
Sampai kapan Nayla mampu menyembunyikan luka itu? Dan adakah cahaya yang bisa menuntunnya keluar dari gelap yang menelannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Qwan in, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
30
Haris duduk bersandar di kursinya. Dari wajahnya, kekecewaan sudah jelas tergambar. Dahinya berkerut, rahangnya mengeras, dan pandangannya menatap kosong ke kursi yang baru saja ditinggalkan Elvino.
Beberapa detik, ia hanya diam. Tapi ketika tak ada satu pun penjelasan keluar dari keluarga di seberang meja, membuat kesabarannya pecah.
Dengan gerakan cepat, ia berdiri dan menghantam meja dengan telapak tangannya.
Brak!
Suara keras itu menggema di seluruh ruangan, membuat beberapa pengunjung lain menoleh dengan kaget. Dentingan halus sendok dan gelas berhenti, musik piano di sudut ruangan seakan terhenti seketika.
“Apa-apaan ini?! Kenapa dia pergi begitu saja?” seru Haris, nada suaranya meninggi, menahan kemarahan yang sudah tak bisa disembunyikan.
Lidia, berusaha tetap tenang meski wajahnya menyimpan kekesalan terhadap putranya.
“Haris, tenang lah... Itu mungkin hanya urusan pekerjaan yang mendadak,” ujarnya hati-hati, mencoba meredam situasi.
“Sepenting apa pun panggilan telepon itu, tidak seharusnya ia pergi begitu saja, di saat kita sedang membicarakan tentang pernikahannya! Apakah ini caranya menunjukkan tanggung jawab?” Nada suaranya menekan setiap kata, membuat suasana meja semakin mencekam.
“Sudah cukup,” potong Lukman, kakak ipar Haris sekaligus paman Aulia, dengan suara berat yang tegas.
“Jangan membuat keributan di tempat umum.”
Hening sejenak. Suara alat makan yang tadi riuh kini lenyap.
Haris menarik napas panjang, matanya masih menyala oleh amarah yang tertahan. Ia menjatuhkan dirinya kembali ke kursi dengan kasar. Rahangnya mengeras, tangannya mengepal di atas meja, namun ia berusaha menahan diri.
“Baiklah,” gumamnya lirih tapi penuh sindiran, “semoga alasannya benar-benar sepenting itu.”
Aulia menunduk. Ia tak berani menatap siapapun. Di hadapannya, kursi kosong milik Elvino seolah menjadi bayangan pahit dari rasa kecewa yang tak terucap.
Gelas di depannya masih setengah terisi, tapi tangannya gemetar terlalu hebat untuk sekadar meraihnya. Di bawah meja, ia mengepalkan tangan erat-erat, kukunya menekan telapak hingga terasa perih, satu-satunya cara agar ia tak menangis di depan semua orang.
Udara restoran terasa lebih dingin dari sebelumnya. Denting alat makan dari meja lain terasa jauh, samar, seolah dunia di sekitar mereka ikut menahan napas.
Elang, yang duduk di sisi kanan meja, memperhatikan perubahan ekspresi itu. Tatapannya jatuh pada wajah Aulia, pucat, dingin, namun jelas menyimpan luka yang berusaha disembunyikan.
Ia melihat bagaimana gadis itu menarik napas pendek, menelan emosi yang hampir pecah.
Namun Elang tak berkata apa pun. Ia hanya menunduk sedikit, menatap ujung sendok di tangannya. Ada sesuatu di matanya, bukan sekadar iba, tapi juga rasa bersalah yang tak bisa dijelaskan.
Aulia tidak pantas diperlakukan seperti ini, pikirnya.
...
Pagi itu matahari baru saja terbit, menyinari halaman rumah keluarga Haris dengan cahaya lembut keemasan. Burung-burung berkicau di balik pepohonan, dan aroma embun pagi masih terasa segar. Namun, suasana hati Aulia jauh dari tenang.
Ia sudah bangun sejak subuh. Matanya sedikit sembab karena semalam ia tak bisa tidur, bayangan Elvino yang meninggalkannya di restoran terus menghantui pikirannya. Tapi pagi ini, ia bertekad untuk tidak larut dalam kecewa. Ia ingin mencoba sesuatu yang sederhana, namun tulus, membuatkan sarapan untuk pria itu.
Dengan menggunakan apron bergambar bunga, Aulia mulai sibuk di dapur. Pisau di tangannya menari di atas talenan, memotong sayur dan daging dengan cekatan. Sesekali ia mengusap keringat di dahinya, lalu tersenyum kecil.
“Semoga kali ini... dia mau menerimanya,” bisiknya pelan.
Meski hatinya masih terasa perih, senyum itu tetap ia paksakan. Mungkin, dengan sedikit ketulusan, Elvino akan menoleh padanya, meski hanya sejenak.
Tak lama kemudian, aroma masakan memenuhi dapur. Ia menata makanan itu dengan hati-hati: nasi omelet, potongan daging panggang, salad segar, dan kue kecil buatan tangannya sendiri. Ia menyusunnya dalam kotak makan dengan hiasan yang manis dan rapi.
Saat ia menutup kotak itu, suara lembut terdengar di belakangnya.
“Aulia... kamu sedang apa, Nak?”
Aulia menoleh. Rika, ibunya, berdiri di ambang pintu dapur sambil tersenyum lembut.
“Oh, Ibu...” ucap Aulia sambil tersipu.
“Aulia mau buatkan makanan untuk Kak Vino. Sekalian... Aulia ingin menanyakan apa yang terjadi semalam.”
Rika melangkah mendekat, menatap hasil masakan putrinya dengan mata berbinar.
“Wah, kelihatannya enak sekali. Pasti Elvino suka,” katanya sambil mengelus kepala putrinya penuh kasih.
Ucapan ibunya membuat Aulia kembali tersenyum. Ia tahu ibunya hanya ingin memberinya semangat, tapi kata-kata itu cukup untuk menumbuhkan sedikit harapan di dadanya.
Setelah semuanya selesai, Aulia segera bersiap. Ia mengenakan gamis berwarna biru langit dan jilbab senada. Wajahnya tampak segar dan lembut, seperti berusaha menutupi segala luka di balik matanya.
Ia mengambil kotak makanan itu, menarik napas dalam, lalu berangkat menuju rumah keluarga Dirgantara. rumah Elvino.
...
Mobil yang ia kendarai berhenti di depan sebuah kediaman megah bergaya klasik modern. Pagar besi hitam tinggi berdiri tegak, dan taman di depan rumah tampak terawat rapi.
Sebelum turun, Aulia menatap bayangannya di kaca spion.
“Kamu bisa, Aul.” bisiknya.
Ia keluar dari mobil, memegang kotak makanan di dada. Saat tangannya hendak mengetuk pintu, tiba-tiba daun pintu terbuka dari dalam.
Elvino berdiri di sana.
Untuk sesaat, waktu seolah berhenti. Pria itu tampak rapi dalam kemeja hitam, dengan wajah yang... terkejut. Namun keterkejutan itu cepat memudar, berganti dengan ekspresi datar seperti biasanya.
Aulia tersenyum lembut, meski jantungnya berdetak sangat cepat.
“Kak Vino... aku datang membawakan sarapan untuk Kakak,” ucapnya, menyerahkan kotak makanan itu dengan kedua tangan.
Elvino memandangi kotak itu beberapa saat. Tak ada senyum, tak ada ucapan terima kasih. Hanya tatapan kosong yang sulit ditebak.
“Maaf,” ucapnya datar
“tapi aku harus segera pergi.”
Tanpa menunggu jawaban, ia berjalan melewatinya begitu saja.
Langkah-langkah kaki Elvino menjauh di sepanjang halaman, meninggalkan Aulia berdiri sendiri di ambang pintu, dengan tangan yang masih terulur, memegang kotak yang kini terasa berat.
Perlahan ia menurunkan tangannya. Jemarinya menggenggam erat kantong makanan itu hingga buku-buku jarinya memutih. Matanya memanas, tapi ia memaksakan senyumnya.
“Tidak apa-apa... mungkin dia memang sedang sibuk,” gumamnya lirih.
Ia tak akan menyerah. Tidak sekarang.
Tepat saat itu, suara lembut memanggilnya.
“Aulia? Pagi-pagi begini sudah datang?”
Aulia menoleh. Lidia, muncul dari arah ruang tamu dengan wajah hangat.
“Oh, Tante... maaf kalau mengganggu. Aku cuma mau antar makanan untuk Kak Vino. Tapi sepertinya... Kak Vino sedang terburu-buru.”
“Ah, begitu ya,” ujar Lidia sambil tersenyum lembut. Ia mengambil kotak itu dari tangan Aulia.
“Wah, cantik sekali susunannya... ini kamu yang buat, Sayang?”
Aulia mengangguk. “Iya, Tante.”
“Terima kasih ya, Nak. Pasti Elvino suka. Nanti Tante pastikan dia memakannya,” ucap Lidia penuh tulus.
Senyum Aulia kembali terbit, meski hatinya perlahan runtuh. Setelah berpamitan, ia melangkah pergi menuju mobilnya. Namun, begitu mobil melaju menjauh dari gerbang rumah itu, sesuatu dalam dirinya menolak untuk pulang.
Ada rasa aneh. Rasa yang menuntunnya untuk mencari tahu.
Seolah ada sesuatu yang disembunyikan Elvino darinya.
“Kenapa akhir-akhir ini dia berubah, dingin sekali,” bisiknya dalam hati.
Dengan rasa penasaran yang semakin besar, Aulia memutar arah mobilnya dan mulai mengikuti kendaraan Elvino dari kejauhan.
Beberapa menit kemudian, ia menyipitkan mata saat melihat mobil pria itu berbelok masuk ke area rumah sakit kota. Dahi Aulia berkerut.
“Rumah sakit...? Siapa yang sakit?”
Ia memarkirkan mobilnya agak jauh, lalu turun perlahan. Dengan langkah hati-hati, ia mengikuti Elvino yang tampak berjalan cepat ke arah ruang perawatan anak.
Dari balik pilar koridor, Aulia menahan napas saat melihat pemandangan di depan matanya.
Elvino berhenti di depan seorang wanita muda berwajah sendu, yang sedang duduk di kursi tunggu, bersama seorang anak kecil perempuan berusia sekitar lima tahun. Anak itu berlari kecil ke arah Elvino dan memeluk kakinya dengan gembira.
“Om Vino datang!” seru si kecil dengan suara ceria.
Senyum lembut muncul di wajah pria yang selalu dingin itu. Ia menunduk, mengelus kepala bocah itu dengan penuh kasih, sesuatu yang belum pernah Aulia lihat sebelumnya.
Aulia terpaku. Napasnya tercekat.
Siapa gadis itu? Dan... siapa anak kecil itu?
Tatapannya tak lepas dari pemandangan di depan mata. Elvino berjongkok, membelai rambut bocah kecil itu dengan ekspresi hangat yang sama sekali tak pernah di tunjukkan padanya.
Sementara wanita di sampingnya tersenyum lembut, memandangi mereka berdua seperti keluarga kecil yang utuh.
“Tidak mungkin...” bisik Aulia, dadanya terasa sesak.
“Siapa... mereka?”
Air matanya menetes tanpa ia sadari. Di dalam hatinya, perasaan takut mulai tumbuh, takut bahwa rahasia yang disimpan Elvino... mungkin jauh lebih menyakitkan dari yang pernah ia bayangkan.
merajukkk aja biar elvino ketar-ketir buat merayu nayla😍🤭🤭