NovelToon NovelToon
SEKRETARIS INCARAN

SEKRETARIS INCARAN

Status: sedang berlangsung
Genre:Romantis / Cintapertama / Selingkuh / Persahabatan
Popularitas:5.5k
Nilai: 5
Nama Author: Noona Rara

Febi adalah gadis cerdas dan menawan, dengan tinggi semampai, kulit seputih susu dan aura yang memikat siapa pun yang melihatnya. Lahir dari keluarga sederhana, ayahnya hanya pegawai kecil di sebuah perusahaan dan ibunya ibu rumah tangga penuh kasih. Febi tumbuh menjadi pribadi yang tangguh dan mandiri. Ia sangat dekat dengan adik perempuannya, Vania, siswi kelas 3 SMA yang dikenal blak-blakan namun sangat protektif terhadap keluarganya.
Setelah diterima bekerja sebagai staf pemasaran di perusahaan besar di Jakarta, hidup Febi tampak mulai berada di jalur yang cerah. Apalagi ia telah bertunangan dengan Roni, manajer muda dari perusahaan lain, yang telah bersamanya selama dua tahun. Roni jatuh hati pada kombinasi kecantikan dan kecerdasan yang dimiliki Febi. Sayangnya, cinta mereka tak mendapat restu dari Bu Wina, ibu Roni yang merasa keluarga Febi tidak sepadan secara status dan materi.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Noona Rara, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

RASA BERSALAH

Di malam yang sama, di sudut kota yang berbeda, Raisa duduk manis di depan meja riasnya. Di hadapannya terhampar seserahan yang tadi siang diantar Roni. Matanya berbinar melihat kotak-kotak berisi barang branded, tas, sepatu, skincare, bahkan jam tangan yang sempat ia lihat di butik mewah minggu lalu.

“Hmm... akhirnya masuk juga ke tanganku.” gumamnya sambil tersenyum bangga.

Tak jauh dari sana, Ibu Feni ikut-ikutan sibuk. Tangannya gesit memotret satu per satu isi seserahan dengan sudut terbaik. Begitu semua foto terkumpul, jari-jarinya langsung mengetik caption penuh kebanggaan.

"Seserahan branded dari calon menantu MANAGER. Alhamdulillah ya Buibu…."

Upload.

Senyumnya mengembang puas. Sudah terbayang notifikasi dan komentar dari grup emak-emak di aplikasi biru.

“Pamer dikit nggak papa lah ya.” katanya sambil menyeringai.

Raisahanya menggeleng, melihat tingkah ibunya yang sudah kayak influencer senior.

“Ibu, ya ampun…” gumamnya pelan, setengah geli, setengah malu.

Tiba-tiba, Ibu Feni duduk di sebelahnya, nadanya berubah serius. “Untung kamu bisa dapetin Roni dari Febi. Anak itu terlalu polos. Sekarang tinggal kita manfaatkan dengan baik. Apalagi Roni orangnya royal. Kalau udah nikah, kamu pegang semua uangnya ya. Nggak boleh tuh dia ngabisin buat orang tuanya terus. Kalau buat kita, baru boleh.”

Raisa mengangguk mantap. “Tenang, Bu. Aku yang pegang nanti. Harusnya sih semua uang masuk ke aku biar bisa diatur baik. Kalau buat Ayah-Ibunya, secukupnya aja. Bukan pelit, cuma realistis.”

“Betul! Lagian, anak laki udah nikah ya prioritasnya ke istri dulu, baru ke orang tua.” sahut Ibu Feni.

Obrolan berlanjut ke urusan rumah tangga. Ibu Feni menyarankan agar Raisa dan Roni tinggal di rumah mereka saja setelah menikah.

"Daripada tinggal sama mertuamu yang sok tahu itu, Bu Sekar. Nanti rumah tangga kalian dikacauin.”

Raisa mengangkat bahu. “Aku ikut Mas Roni aja sih, Bu. Tapi punya rumah sendiri memang lebih ideal.”

“Beli aja rumah di kompleks ini. Ada tuh yang di ujung gang, lumayan besar. Pas banget buat pengantin baru.”

Raisamengangguk lagi, walau pikirannya mulai lelah. Ibunya nyerocos dari tadi tanpa jeda.

“Udah ah, Bu. Ngantuk…” katanya sambil menarik napas.

“Iya, iya. Ibu juga mau tidur dulu. Maskeranku udah kering,” ujar Ibu Feni sambil berdiri dan berjalan ke kamar.

Begitu sunyi menyapa, Raisa segera mengambil ponsel dan menelpon Roni. Panggilan pertama... tak diangkat. Kedua... masih sama. Baru di panggilan ketiga suara Roni terdengar.

“Halo, Sayang...”

“Kok lama sih?” tanya Raisa dengan nada agak sinis. “Kamu lagi mikirin Febi, ya?”

Ronimenghela napas panjang. “Raisa... aku tadi di kamar mandi. Bisa nggak sih, jangan mikir yang aneh-aneh?”

“Hm, iya deh.” jawab Raisa cepat, enggan minta maaf. “Aku cuma mau bahas dekor pernikahan kita.”

“Besok aja, ya? Ini udah malam banget. Aku capek banget hari ini.” jawab Roni pelan.

Raisa mendesah. “Yaudah. Makasih ya mas buat seserahannya. Aku senang banget.”

“Sama-sama. Kamu juga istirahat, besok kita masuk kerja lagi.”

Setelah menutup telepon, malam terasa lebih hening.

**

Sementara itu, di rumah sederhana yang lain, suasana justru ramai sejak subuh.

Vania berdiri di dapur, sibuk memecahkan telur dan mengocoknya. Di sebelahnya, Bu Anita sedang menggoreng nasi. Keduanya kompak seperti duo masak andalan.

“Sekolahmu gimana, Van ?” tanya Bu Anita sambil mengaduk wajan.

“Aman terkendali bu. Nggak usah khawatir.” jawab Vania sambil senyum.

“Pokoknya kamu jangan buat masalah, ya. Belajar yang bener.” nasihat Bu Anita.

Vania tertawa. “Tenang aja Bu. Tapi maaf nih, kalau ada yang nyenggol, Vania nggak bakal diem. Aku bukan tipe yang bisa ditindas, Bu. Nggak cucok sama zodiakku.”

Gayanya lucu, seperti anak remaja yang terlalu banyak nonton drama Korea.

Bu Anita hanya menggeleng pelan, tersenyum melihat tingkah anak gadisnya.

Tak lama, Pak Beni datang ke dapur, disusul Marko yang tiba-tiba muncul di ruang makan.

“Selamat pagi Om, Tante!” sapanya dengan senyum lebarnya yang khas.

Vania mengerutkan kening. “Lho, ngapain lu pagi-pagi nongol di sini?”

“Cuma pengen makan nasi goreng buatan Tante Anita. Enaknya nggak ketulungan. Lebih enak dari buatan Mama!” jawab Marko tanpa rasa bersalah.

“Dasar anak durhaka.” sindir Vania sambil tertawa.

Marko ikut ketawa. “Mama ke Sleman semalam, nemenin Papa. Mbahku sakit. Jadi aku sendirian di rumah.”

Pak Beni menyahut, “Kalau lapar Ko, ke sini aja. Rumah ini terbuka buat kamu.”

Vania langsung protes, “Halah, jadi panti asuhan ini, Pak!”

Bu Anita melotot. Vania langsung mengangkat tangan, “Canda, Bu! Beneran, Ko. Kamu bisa makan di sini. Bahkan nginep juga boleh!”

Akhirnya, nasi goreng spesial terhidang dan pagi itu diisi dengan tawa, canda, dan aroma telur dadar yang menggoda.

**

Setelah Vania dan Marko berangkat sekolah, dan Pak Beni berangkat kerja dengan sepeda motornya yang sudah setia sejak zaman awal menikah, suasana rumah jadi kembali sepi. Bu Anita baru saja selesai merapikan dapur ketika ponselnya berdering. Layar menunjukkan nama yang membuat hatinya langsung hangat, Febi.

Video call dari putri sulungnya itu selalu jadi penyegar suasana.

“Assalamualaikum, Bu!” sapa Febi ceria dari balik layar. Wajahnya tampak segar, dengan make-up tipis dan rambut yang disisir rapi.

“Waalaikumsalam, cantikku…” jawab Bu Anita dengan senyum penuh rindu. “Wah, anak Ibu makin glowing aja. Gimana kabarnya di sana, Feb?”

“Alhamdulillah baik, Bu. Ini hari terakhir kunjungan proyek. Sorenya aku balik Jakarta.”

“Baguslah. Tapi kamu tetap jaga diri, ya. Jangan kecapekan. Jaga makan, jaga kesehatan…” ucap Bu Anita lembut.

Seketika, senyum Febi sedikit meredup. Ucapan ibunya barusan seperti tamparan halus untuk hatinya. Ia merasa bersalah, sangat bersalah. Gaya pacarannya dengan Arkan akhir-akhir ini terasa sudah... melewati batas. Bukan hal yang bisa dibanggakan di hadapan ibunya yang selalu percaya padanya.

Febi menarik napas perlahan dan memaksakan senyum. “Iya, Bu. Aku berangkat ke lokasi dulu, ya.”

“Iya, Sayang. Hati-hati.”

Panggilan berakhir, dan Febi meletakkan ponselnya di atas meja kecil dekat jendela. Beberapa detik kemudian, pintu kamar hotel terbuka. Arkan masuk dengan mengenakan kemeja hitam rapi. Langkahnya ringan dan senyumnya hangat. Ia langsung menghampiri Febi dan mengecup keningnya dengan lembut.

“Sudah siap, Sayang?” tanyanya.

Febi hanya mengangguk pelan. Tatapannya tak secerah biasanya.

Arkan menatapnya dengan cemas. “Kamu kenapa? Sakit?”

Ia menyentuh dahi Febi, memastikan suhu tubuhnya.

Febi menggeleng.

“Terus kenapa? Ada yang gangguin kamu?” tanya Arkan lagi, nadanya lebih serius.

Febi diam sejenak sebelum akhirnya berkata pelan, “Aku tadi habis video call sama Ibu... dan entah kenapa aku ngerasa bersalah banget. Aku ngerasa udah ngecewain ibu dengan gaya pacaran kita yang terlalu intim mas”

 Arkan menghela napas. Dadanya terasa sesak mendengar itu. Ia duduk di sisi Febi dan menggenggam tangannya.

“Maaf ya, sayang... Maaf banget. Aku juga ngerasa bersalah. Kita terlalu terbawa suasana akhir-akhir ini. Tapi aku janji… aku nggak akan macam-macam lagi. Aku akan jaga kamu. Kita jalani ini dengan benar, sampai waktunya tiba. Sampai kita halal.”

Febi menatap Arkan, matanya berkaca-kaca, tapi senyum kecil akhirnya muncul di wajahnya. “Terima kasih, ya... karena kamu mau ngerti.”

Arkan mengangguk. Ia mengeratkan genggaman tangannya.

“Karena aku sayang kamu. Dan aku nggak mau kamu kehilangan kepercayaan ibumu... karena aku.”

Hening sesaat di antara mereka, tapi kali ini bukan hening yang canggung. Melainkan tenang seperti hujan yang reda setelah badai kecil dalam hati masing-masing.

1
Andriyani Lina
namanya juga suka Febu, ya gitu2 kelakuan bos kalau mau dekat2 sama karyawan
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!