PEDANG GENI. seorang pemuda yang bernama Ranu baya ingin membasmi iblis di muka bumi ini.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Fikri Anja, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 2
"Kalian berdua dari daratan Jawata mempunyai jurus yang benar aneh." Bawono berkata pelan sesaat setelah mendarat.
"Di sini sebenarnya ada, tapi belum ketemu saja sama orangnya," balas Mahesa sambil tetap memasang sikap waspada. Matanya menatap sekitar untuk memastikan bahwa tidak ada lagi anggota Perguruan Tapak Iblis yang akan menyerang mereka lagi.
***
Pertarungan Wismoyo dan Ranu kembali berlanjut, dalam gebrakan pertama, Wismoyo dibuat kaget dan meloncat mundur karena api yang dikiranya hanya permainan ilusi, ternyata terasa benar-benar panas. Tangannya hampir saja terbakar andai dia tidak segera menarik pulang serangannya.
"Edan ...! Kekuatan pemuda itu masih jauh di atasku," gumam Wismoyo. Pandangan matanya tertuju kepada tumpukan ratusan mayat anggotanya yang berserakan tidak karuan. Dan yang membuatnya semakin miris, sebagian mayat anggotanya terpotong menjadi dua bagian.
Melihat rasa takut di wajah Wismoyo, Ranu tersenyum kecil. "Aku akan melepaskanmu jika kau memberi informasi di mana pendekar berjuluk Racun Utara?"
"Apa kau berjanji akan melepaskanku jika aku memberimu informasi itu?" senyum licik terkembang di bibir Wismoyo.
"Aku berjanji tidak akan membunuhmu. Dan janji seorang pendekar itu pantang untuk diingkari."
"Di puncak gunung Soputan ada sebuah perguruan besar. Namanya Perguruan Jiwa Darah. Di sanalah Racun Utara berdiam," jawab Wismoyo.
"Mampus kau!" ucap Wismoyo dalam hati. Akal liciknya langsung bekerja. Selain untuk menyelamatkan dirinya sendiri, juga untuk mencelakakan pemuda yang ada di depannya itu.
"Apa ucapanmu bisa dipegang?"
"Bukankah kau bilang janji seorang pendekar itu pantang untuk di ingkari?" ejek Wismoyo.
"Baiklah."
Ranu kemudian bertepuk tangan memanggil Mahesa dan Bawono yang sudah menyelesaikan pertarungannya.
"Ada apa, Ranu?" tanya Bawono
"Kalian boleh membunuhnya!" jawab Ranu singkat.
Wismoyo terkejut dengan apa yang baru saja dikatakan Ranu. Keringat dinginnya langsung keluar dan lututnya bergetar.
"Tunggu! Kau bilang tidak akan membunuhku jika aku sudah memberimu informasi. Apa kau sudah lupa janji seorang pendekar itu pantang untuk diingkari?"
"Aku tidak pernah mengingkari janji dan selalu menepatinya," Sambil tersenyum tipis, Ranu menjawab pertanyaan Wismoyo.
"Lalu tadi...?" sahut Wismoyo cepat.
"Aku sudah berjanji tidak akan membunuhmu, dan aku menepatinya," Ranu kembali tertawa kecil, "Tapi mereka yang akan membunuhmu!"
"Bajingan tengik!" umpat Wismoyo sebelum menyerang saking putus asanya.
Pedangnya berkelebat cepat ke arah Ranu. Namun dia dibuat terkejut karena serangannya hanya menerpa ruang kosong. Pemuda itu sudah tidak berada di tempatnya semula.
Perhatian Wismoyo beralih kepada Bawono dan Mahesa yang berada di dekatnya.
Secepat kilat Wismoyo menghujamkan pedangnya ke tubuh Mahesa. Namun lagi-lagi Wismoyo dibuat terperangah karena pedangnya menerpa Perisai Giok Salju yang dipasang Mahesa.
"Tidak mungkin!" Wismoyo tersurut mundur.
Bawono pun senada dengan Wismoyo. Dia hanya bisa menggelengkan kepalanya. Berkali-kali dia dibuat terkejut dengan kemampuan dua pemuda dari daratan Jawadwipa itu.
"Apakah sudah selesai seranganmu?" cibir Mahesa.
Wismoyo tidak menjawab, dia langsung berlari dengan kemampuan ilmu meringankan tubuhnya.
Mahesa tidak tinggal diam, dia menarik Pedang Giok Iblisnya dan menyabetkannya ke arah Wismoyo yang sudah berlari cukup jauh. Beberapa pisau es yang berukuran cukup besar melesat mengejar Wismoyo.
Kecepatan pisau es yang dilesatkan Mahesa melaju hampir tidak terlihat. Tiba-tiba saja Wismoyo terjungkal, setelah sebuah pisau es menancap di punggungnya hingga tembus ke depan.
Ranu dan Labosi berjalan mendekati Mahesa dan Bawono, setelah melihat Wismoyo terkapar meregang nyawa.
"Mari kita kembali ke perguruan!" ucap Ranu.
Setelah sampai di Perguruan Pedang Emas, mereka berempat berbicara di sebuah ruangan yang tidak terlalu besar.
"Labosi, untuk ke depannya biar Paman Bawono yang menjadi ketua perguruan ini. Berikanlah kitab milik ayahmu biar dipelajari Paman Bawono semuanya, agar nantinya bisa diajarkan kepada semua anggota perguruan ini," kata Ranu.
Labosi mengangguk, kemudian berdiri menuju sebuah lemari dan mengambil beberapa kitab.
"Ini semua kitab berisi jurus Perguruan Pedang Emas.Aku harap Paman juga bisa mengajarkan jurus-jurus yang Paman miliki." Labosi meletakkan beberapa kitab itu di meja.
Bawono meraih salah satu kitab dan membaca sampulnya sebentar, "Baiklah, tapi pemilik perguruan ini tetap kamu. Aku menjadi ketua hanya sampai kau siap menjadi ketua."
"Apakah kalian tahu di mana letak gunung Soputan?"tanya Ranu tiba-tiba.
"Jaraknya dari sini tidak terlalu jauh, Ranu. Besok aku akan mengantarkan kalian ke sana?" jawab Bawono.
"Jangan, Paman! Sebaiknya Paman tetap di perguruan ini saja untuk menata mulai dari awal. Kami akan berangkat ke sana besok pagi," sergah Ranu. Dia berpikiran untuk tidak melibatkan orang lain setelah mengetahui lokasi Racun Utara.
***
Keesokan paginya, setelah mendapat petunjuk arah menuju gunung Soputan dari Bawono, Ranu dan Mahesa memacu kudanya perlahan menuruni gunung Klabat.
Bawono dan Labosi memandang kepergian keduanya dengan rasa haru. Mereka bersyukur pernah mengenal kedua pemuda yang sudah menunjukkan bahwa umur bukan menjadi ukuran tingkat kemampuan seorang pendekar.
Sesampainya di kaki gunung Klabat, mereka berdua memacu kudanya dengan cepat.
Setelah keluar dari hutan, mereka di sambut sebuah desa yang cukup besar. Ranu dan Mahesa memutuskan untuk berhenti sebentar di sebuah tempat makan untuk beristirahat.
Di dalam tempat makan itu, Ranu tidak menemukan satu pun meja yang kosong. Mereka akhirnya menuju sebuah meja yang ditempati seorang laki-laki tua berbaju hitam dan memakai caping bambu. Di sampingnya berdiri sebuah tongkat kayu yang disandarkan di bibir meja.
"Mohon maaf, Kek. Bolehkah kami berdua duduk di meja ini?" tanya Ranu dengan sopannya.
Lelaki tua yang sedang menikmati makanan itu mengangkat wajahnya sedikit lalu mengangguk pelan, "Silakan!" jawabnya singkat dan kembali melanjutkan aktifitas makannya.
"Orang yang aneh!" gumam Ranu dalam hati.
Sambil menunggu pesanan makanan mereka diantar, Ranu dan Mahesa berbicara dengan pelan.
"Apa kau yakin dengan ucapan Wismoyo kalau Racun Utara ada di gunung Soputan?" tanya Mahesa.
Ranu mengangkat kedua bahunya, "Antara yakin dan tidak. Di dunia persilatan, kita tidak boleh percaya sepenuhnya kepada siapapun. Semua orang berpotensi untuk menusuk dari belakang, meskipun itu sahabat sendiri."
Mahesa terhenyak sebentar, "Berarti kau tidak percaya sepenuhnya kepadaku?"
"Bisa ya, bisa tidak. Kadar kepercayaanku tidak bisa sepenuhnya kepada seseorang, kecuali kepada orang tua dan guruku."
"Belum juga kenal, tapi sudah bilang aneh kepada orang lain," ucap lelaki tua itu pelan.
Ranu dan Mahesa menolehkan kepalanya bersamaan ketika mendengar lelaki tua itu berbicara.
Mahesa bahkan dibuat kaget karena ucapan di hatinya tadi bisa dibaca lelaki tua itu. Buru-buru dia meminta maaf karena telah salah menduga, "Maafkan aku, Kek. Bukan maksudku bicara seperti itu."
Ranu heran dengan Mahesa. Kenapa dia minta maaf kepada lelaki tua itu?
"Tidak usah heran, Anak muda. Temanmu itu mengatakan aku orang aneh, hanya karena aku menjawab pertanyaanmu dengan satu kata saja," lelaki tua itu kembali berucap.
"Kapan kau bilang seperti itu, Hesa?"
"Tadi, dalam hati," jawab Mahesa.
Ranu terkejut dengan jawaban Mahesa. Berarti lelaki tua yang duduk semeja itu bisa membaca hati orang lain, pikirnya.
"Maafkan temanku ini, Kek. Dia memang sering sulit untuk mengendalikan dirinya."
Lelaki tua itu tersenyum memandang Ranu, "Nampaknya kau harus sering berjibaku untuk menyelamatkan temanmu ini, Anak Muda."
Ranu bisa menduga kalau lelaki tua misterius di depannya itu bukan orang sembarangan.