Pernikahan adalah mimpi setiap gadis.
Tapi tidak bagi Zia.
Bukan malam itu.
Bukan di altar itu.
Dan—terutama—bukan dengan pria itu.
Yang Zia tahu, Viren Kaeshiro adalah pengusaha muda yang jenius, berkuasa, dan sempurna.
Begitu kata semua orang. Begitu kata kakaknya, Alin.
Tapi di balik jas mahal dan perusahaan teknologi raksasa,
Viren adalah pemimpin Cinderline—organisasi bayangan yang tak tersentuh hukum dan tak dikenal dunia.
Dan malam itu…
Zia baru saja menikahi seorang iblis bersetelan jas.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon LaruArun, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 5 RUTINITAS LAMA
Jam baru menunjukkan pukul lima pagi saat Zia bersiap meninggalkan Calligo. Udara masih dingin, langit masih kelabu, tapi langkahnya ringan. Setelah semalam bergelut dengan kesunyian rumah megah itu, pagi ini terasa seperti jendela kecil menuju kebebasan.
Ia menyampirkan tas selempang ke bahu, mengikat rambutnya asal, lalu berjalan menuju gerbang utama. Wajahnya tampak lebih segar dibanding kemarin—tidak sepenuhnya bahagia, tapi lebih hidup.
Namun langkahnya terhenti ketika melihat seseorang berdiri di depan gerbang. Emi. Pelayan yang kemarin menyeduhkan teh hangat itu kini berdiri sambil membawa sapu, seolah tak sengaja menunggu.
“Nyonya mau ke mana pagi-pagi begini?” tanyanya lembut.
Zia meringis kecil. “Jangan panggil aku Nyonya. Terlalu berat di telinga. Panggil saja Zia, ya?”
Emi tersenyum kaku, lalu mengangguk pelan.
Zia melongok ke arah gerbang, seolah memastikan jalan aman. “Apa dia sudah pergi?” bisiknya.
"Siapa yang nona maksud?" Tanya Emi.
"Viren."
“Tuan belum kembali sejak keluar semalam,” jawab Emi datar.
“Begitu ya...”
Zia mengangguk singkat, lalu menarik napas panjang. “Baiklah. Aku pergi dulu. Nanti sore aku pulang.”
“Tapi Tuan—”
“Dia sudah tahu,” potong Zia cepat, mencoba terdengar yakin meski jantungnya berdebar karena sebenarnya dia tidak tahu apa yang akan terjadi kalau pria itu tahu ia pergi hari ini.
Setelah membujuk salah satu penjaga untuk membukakan gerbang, Zia akhirnya keluar dari Calligo. Jalan setapak beraspal di depannya panjang dan sepi. Tak ada kendaraan umum. Tak ada halte. Sepertinya memang hanya ditujukan untuk akses pribadi.
Zia berjalan sekitar lima belas menit sebelum menyadari sesuatu.
“Sial,” gerutunya sambil berhenti. Napasnya terengah. “Aku lupa mencatat jalan.”
Ia menghapus peluh di kening. Langit mulai terang perlahan. Dari kejauhan, suara mesin mobil terdengar. Sebuah mobil hitam melaju pelan dan berhenti tepat di depannya.
Kaca mobil turun sedikit.
“Masuklah,” ujar Manuel dari dalam dengan suara datar.
Zia menatapnya sejenak, menghela napas pasrah, lalu masuk ke kursi penumpang.
Perjalanan dilanjutkan tanpa sepatah kata. Hanya suara mesin dan deru ban menyentuh aspal yang mengisi keheningan. Zia melipat tangannya di pangkuan, melirik jendela, lalu melirik pria itu.
“Lain kali, jika perlu sesuatu, hubungi saya,” ucap Manuel tiba-tiba tanpa menoleh.
“Aku tidak—”
“Saya hanya menjalankan perintah,” potongnya dingin.
Zia mendengus pelan, merasa seperti hidupnya kini dijalankan orang lain. Pria itu—Viren—entah siapa dia sebenarnya, tapi jelas ia memiliki kekuasaan untuk membuat semua orang bergerak seperti pion.
Tak lama kemudian, mobil berhenti di pinggir jalan kecil. Dari kursi belakang, Zia bisa melihat kafe miliknya berdiri tenang dengan cat hijau tua dan krem yang sedikit pudar, namun selalu membuatnya nyaman.
Zia mengangguk pada Manuel. “Aku akan kembali sore nanti.” ucapnya sebelum keluar.
Tanpa menjawab, Manuel hanya memberi anggukan kecil. Mobil pun melaju perlahan dan menghilang di tikungan.
Zia berdiri beberapa detik di trotoar, memandangi kafenya. Helaan napasnya terasa seperti lepas dari jerat panjang. Ia mengambil kunci dari saku tas, membuka pintu.
Denting lonceng menyambutnya saat pintu terbuka.
Aroma khas kafe langsung menyergap. Campuran kopi, mentega, dan vanilla yang entah bagaimana selalu menenangkan. Meski belum ada satu pun oven menyala, tempat ini tetap menyambutnya dengan hangat.
Jam baru menunjukkan pukul tujuh pagi.
Zia menggulung lengan bajunya, lalu mulai membersihkan lantai, meja, dan etalase. Tangannya bergerak otomatis, pikirannya pun mulai menyatu kembali dengan rutinitas yang sudah lama ia rindukan.
Dunia luar boleh saja terasa asing. Tapi di tempat kecil inilah, Zia merasa dirinya kembali utuh.
Bel pintu berdenting pelan—tanda seseorang masuk. Zia menoleh dari balik etalase setelah memastikan adonan di oven mulai mengembang sempurna.
“Pagi, Kak Zia!” seru Ami sambil berlari kecil menghampiri.
“Pagi,” balas Zia, tersenyum tipis.
Ami mengendus udara di sekitar, lalu menatap oven dengan penasaran. “Aromanya beda. Resep baru, ya?”
Zia mengangguk. “Iya, aku sedang coba varian baru.”
“Kalau gitu, aku bantu bikin adonan yang lain, ya.”
Tanpa menunggu jawaban, Ami mengambil beberapa loyang dan mangkuk stainless, lalu mulai menyiapkan bahan. Tangan kecilnya cekatan, seperti sudah terbiasa dengan ritme pagi yang sibuk di kafe itu.
Bel kembali berdentang.
Refleks, keduanya menoleh ke arah pintu.
Seorang pria tinggi berdiri di ambang pintu. Ia mengenakan kemeja garis-garis, celana bahan gelap, dan mantel panjang yang membuat siluet tubuhnya terlihat tegas.
Zia menegang sejenak. “Giin…?”
Pria itu tersenyum hangat. “Senang kau masih mengingatku.”
Zia menarik napas pelan, mencoba menjaga nada suaranya tetap datar. “Maaf, kami belum buka. Jadi kalau—”
“Aku hanya mampir. Ingin bertemu denganmu sebentar saja,” potongnya cepat.
Zia melangkah pelan mendekat. “Ada apa?”
“Aku sedang menyusun acara minggu depan,” ucap Giin, menatapnya lekat. “Aku ingin mengajakmu ke suatu tempat. Tak perlu yang formal. Hanya kita berdua.”
Zia terdiam, pikirannya melayang pada status barunya yang tak bisa ia ceritakan. Satu kalimat terngiang di kepalanya—kalimat dari Viren semalam: "Ini hanya formalitas. Kita tidak perlu terlibat terlalu dalam."
Sungguh, ia ingin mengatakan ya.
Namun akhirnya ia hanya menjawab, “Akan aku pikirkan,”
“Baiklah,” ucap Giin, tersenyum kecil. “Nanti kabari aku, ya.”
Ia membuka pintu, melambai pelan, dan pergi tanpa menunggu respons.
Begitu pintu tertutup, Ami menyenggol Zia dengan bahu. “Kak... siapa tuh? Kekasih rahasia, ya?” godanya dengan nada geli.
“Bukan,” jawab Zia cepat, terlalu cepat malah. “Dia senior saat aku sekolah dulu.”
“Ohhh...” Ami mengangguk pura-pura paham, lalu melirik ke arah pintu dengan ekspresi dramatis. “Tapi kayaknya cocok, lho! Kamu kelihatan nyambung banget sama dia.”
Zia hanya mendesah sambil menyalakan mixer. “Ami, diam. Atau...”
Ia mengambil sebutir telur dari meja dan mengangkatnya tinggi-tinggi.
“Ampun! Jangan dilempar!” seru Ami sambil mundur, tertawa geli.
Zia ikut tersenyum. Gadis itu memang seperti adik kecil yang tak pernah kehilangan energi. Di tengah tawa kecil itu, pikirannya mendadak kembali ke masa lalu.
Giin adalah sosok baik—selalu ada untuknya saat sekolah dulu. Mengajak ikut karate, membantunya saat dibully, dan sering meminjamkan buku atau makanan jika ia kehabisan uang jajan. Jika saja...
Jika saja semuanya berbeda. Jika saja ia tak harus mengenakan cincin yang tak pernah ia pilih. Mungkin... ia akan memberi kesempatan untuk perasaannya sendiri.
Tapi kenyataannya berbeda.
“Melamun, nih,” Ami mencoleknya, menyadarkan Zia dari pikirannya.
Zia hanya tersenyum kecil, lalu kembali fokus pada adonan di hadapannya. Tangannya bekerja cekatan, namun pikirannya jauh dari sana. Sesekali, matanya melirik ke jendela, menatap langit pagi yang mulai menguning.
Di luar, kota mulai hidup. Tapi dalam dirinya, masih ada kehampaan yang sulit dijelaskan.
Sementara itu, ribuan kilometer dari kafe kecil itu, suasana pagi tampak berbeda. Langit Osaka pagi itu kelabu. Angin laut dari arah teluk meniup lembut jas Viren saat ia melangkah keluar dari terminal VIP bandara. Kacamata hitam menutupi sorot matanya, namun tubuhnya memancarkan kehadiran yang tak bisa diabaikan.
Jake menyusul di belakang, menarik koper kecil. Samuel berjalan lebih cepat, memindai sekitar seperti biasa.
“Mobil sudah menunggu di gerbang utara,” kata Jake, menyodorkan ponsel ke Viren. “Tuan Aoyama mengirim koordinat baru—bukan kediamannya, tapi markas lamanya.”
Viren hanya mengangguk. “Kita ke sana langsung. Aku tak ingin ada yang tahu aku berada di Jepang.”
Mereka bertiga menaiki mobil hitam tanpa pelat khusus, lalu meluncur keluar dari bandara. Jalanan Osaka yang bersih dan teratur menyatu kontras dengan atmosfer sunyi dalam kendaraan.
Di tengah perjalanan, Jake melirik ke arah Viren. “Apa menurutmu dia akan bekerja sama?”
Viren menyandarkan kepala. “Heiji-san bukan orang yang mudah dilunakkan. Tapi dia menghormati ayahku… dan dia tahu siapa aku.”
Sebuah mobil hitam meluncur tenang melewati distrik bisnis, berhenti di depan bangunan tua yang nyaris tertelan modernitas kota.
Viren melangkah keluar terlebih dahulu, mengenakan mantel gelap sarung tangan kulit dan topi hitam . Wajahnya setenang biasanya, tapi matanya penuh kalkulasi. Di belakangnya, Jake dan Samuel menyusul—keduanya siaga, seolah paham bahwa kota ini menyimpan lebih banyak teka-teki daripada yang tampak di permukaan.
“Tempatnya tidak berubah sejak terakhir aku ke sini,” gumam Jake sambil menyapu pandangan ke sekitar.
Viren tak menjawab. Ia hanya menaiki tangga gedung tua itu, satu per satu, langkahnya mantap. Di lantai tiga, pintu kayu dengan ukiran nama “A. Heiji” menyambut mereka. Ia mengetuk sekali, lalu menunggu.
Tak lama, pintu dibuka. Sosok tua berkacamata dengan rambut perak menyembul. Aoyama Heiji. Matanya menatap tajam ke arah Viren sebelum tersenyum tipis.
“Welcome son Antonio,” katanya. “Akhirnya kau datang juga.” Sapanya dalam bahasa Jepang.
Viren mengangguk singkat.“You said you had something.”
“Come in. But let me warn you—not every legacy is worth continuing.”
Mereka bertiga pun masuk, pintu tertutup perlahan di belakang mereka—dan masa lalu yang terkubur siap untuk disingkap.
Ruangan itu sederhana. Dinding kayu tua dipenuhi rak buku berdebu, peta dunia tergantung di dinding—penuh garis merah melintang dan catatan kecil dalam bahasa Jepang. Di sudut, lemari logam tua digembok rantai besi. Bau tembakau dan kayu lapuk memenuhi udara.
Aoyama Heiji duduk santai di balik meja bundar, mengisap pipa tembakau kecil. Di belakang Viren, Jake dan Samuel berdiri waspada, seperti dua bayangan yang setia pada pemiliknya.
“Jadi, apa yang kau tahu tentang ayahku, Heiji-san?” Viren memulai, suaranya tenang tapi tajam. Tak ada basa-basi.
Aoyama tersenyum kecil, mengangguk pelan. “Kalau begitu, kita bicara dalam bahasamu saja.” Ia membuka laci, lalu mengeluarkan sebuah map merah usang dan meletakkannya di atas meja. “Aku hanya punya ini.”
Viren meraih map itu. Aroma kertas tua menyergap saat ia membukanya. Matanya menyapu cepat halaman demi halaman, lalu berhenti.
“Apa ini?” tanyanya, matanya menusuk.
Aoyama menghembuskan asap dari pipanya, matanya menyipit. “Sesuatu yang sudah seharusnya dikubur. Tapi kau—kau mulai menggalinya kembali.”
Viren membalik halaman berikutnya. Ekspresinya tetap datar, tapi matanya tajam membaca setiap kalimat. “Tak ada satu pun informasi tentang Nexux. Kau bilang ini penting.”
“Bodoh! kalau kau pikir sistem seperti Nexux ditulis begitu saja,” desis Aoyama. “Itu bukan sistem biasa. Nexux adalah bom waktu. Dibuat untuk tak bisa dibuka... kecuali oleh penciptanya.”
Viren menyandarkan punggung, lalu menatapnya tajam. “Berarti kita butuh penciptanya.”
Aoyama mengangguk. “Leonardo Murpy…”
Ia berdiri dan berjalan ke rak buku. Tangannya menyapu punggung-punggung buku yang berdebu, lalu menarik satu volume besar berwarna hitam.
“Siapa itu?” tanya Jake, menyipitkan mata.
“Pencipta Nexux,” jawab Aoyama, tak berbalik.
“Jadi nama lengkapnya Leonardo Murpy? Aku hanya tahu dia dipanggil Leo,” lanjut Jake.
“Mungkin ayahmu sengaja menyembunyikan nama aslinya,” sahut Aoyama, lalu menyerahkan buku itu pada Viren. “Mungkin… pencarianmu bisa dimulai dari sini.”
Viren menerimanya. Buku itu tebal, tua, dan berbau apek. Ia membuka halaman pertama dan membaca sepintas. Tertulis:
7 September 2010 — Titik Awal Kekacauan di Cinderline.
Kudeta. Pengkhianatan. Darah yang mengalir dari dalam.
Viren menutup buku perlahan, lalu berdiri. Ia membungkuk singkat.
“Terima kasih, Paman Aoyama,” ucapnya dalam bahasa Jepang.
Aoyama menatapnya diam. Ia terkejut—Viren tak pernah menyebutnya begitu. “Paman” berarti ia telah menerima dan mempercayainya sebagai bagian dari Cinderline yang masih layak dipertahankan.
Aoyama tersenyum miris. “Terima kasih. Tapi biarkan aku tetap seperti ini… pengawal di sekelilingku hanya akan mengundang pertanyaan.”
Viren mengangguk. “Aku akan berhati-hati.”
Lalu ia pergi. Jake dan Samuel mengikutinya.
Beberapa Menit Kemudian – Di Mobil
Viren duduk di kursi belakang, membuka topi dan menggantinya dengan kacamata hitam. Matahari sudah tinggi, langit bersih tanpa awan.
“Kita makan dulu sebelum kembali,” ucapnya pendek.
“Baik, Tuan,” jawab Jake.
~Toko Ramen Tradisional~
Sebuah mobil hitam berhenti di depan toko ramen kecil yang ramai pengunjung. Viren turun, disusul Jake dan Samuel. Tinggi badan dan gaya pakaian Viren menarik perhatian orang-orang di dalam.
“Wah, dia tinggi banget…”
“Dia mirip model…”
Jake mengamati sekeliling, lalu menunjuk meja kosong di dekat jendela. “Di sana.”
Sebelum para pengunjung bisa mengenali wajah Viren lebih jauh, mereka segera duduk. Samuel duduk di sisi yang menghadap pintu, matanya tetap waspada.
Pelayan datang, memberikan menu, tapi Viren hanya memesan satu hal.
“Shoyu ramen. Tanpa topping.” ucapnya.
“Dan teh panas,” tambah Jake.
Samuel tidak bicara. Tapi matanya memperhatikan semua sudut ruangan.
Di bawah meja, tangan Viren menggenggam buku hitam itu erat.
Satu nama terpaku di pikirannya: Leonardo Murpy.
Sementara di tempat sebelumnya,
Aoyama berdiri di jendela, menatap matahari siang. Asap dari pipanya mengepul lambat.
“Don…” bisiknya pada bayangan masa lalu.
“Anakmu akan membalaskan semuanya.”
.
.
.
Terimakasih atas kunjungan serta dukungan kalian semua🤗Jangan lupa like nya😘 karena itu bikin author semangat 🤗