Nael, seorang notaris kondang, tenggelam dalam kesedihan mendalam setelah kepergian istrinya, Felicia. Bermodalkan pesan terakhir yang berisi harapan Felicia untuknya, Nael berusaha bangkit dan menjadi pribadi yang lebih baik. Meski kehidupannya terasa berat, ia tidak pernah menyerah untuk membenahi diri seperti yang diinginkan oleh mendiang istrinya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon indrakoi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
CHAPTER 28: Langgeng Sari
Sabtu dini hari, aku, Felix, dan Lina berangkat ke Langgeng sari untuk bertemu dengan Jonathan Christian serta Helena Christian, yang merupakan orang tua Felix dan Felicia, sekaligus mertuaku dan Lina. Kami memutuskan untuk berangkat pada dini hari agar tidak silau sepanjang perjalanan, karena lokasi tujuan yang berada di timur pulau Andawana.
Kami sudah meninggalkan ibukota sekitar pukul 4.27 dini hari. Felix berada di belakang kemudi, sementara aku duduk di sebelahnya. Lina rebahan di bangku belakang, sambil terdengar scrolling-scrolling di sosial medianya. Sedangkan Marco tentu saja berada di bagasi mobil yang terhubung langsung dengan kursi penumpang.
Sepanjang perjalanan, Felix tiada hentinya bernyanyi mengikuti playlist lagu pop kreatif yang tersimpan di mobilnya. Sementara itu, aku sesekali tertidur karena tak kuasa menahan rasa kantuk yang begitu berat. Aku yakin Lina juga sempat terlelap di bangku belakang karena handphonenya terdengar jatuh berkali-kali.
Setelah tiga jam perjalanan melalui jalur Pantura, akhirnya kami tiba di depan rumah keluarga Christian. Suasana di sekitar sama sekali tidak berubah sejak terakhir kali aku berkunjung ke sini. Asri, damai, dan juga sejuk. Benar-benar nyaman untuk ditinggali oleh para lansia seperti ayah dan juga ibu mertuaku.
Setelah turun dari mobil, Felix langsung menekan bel yang tertempel pada pilar tembok pagar di sebelah kiri. Walaupun habis nyetir selama tiga jam non stop, wajahnya masih terlihat segar dan juga bersemangat, seolah ia baru saja selesai mandi pagi dengan air dingin. Sementara itu, aku dan Lina malah terlihat seperti mayat hidup yang baru saja bangkit dari kubur.
Tak perlu waktu lama, kami langsung disambut oleh Jonathan yang berlari dengan penuh semangat untuk membukakan pagar yang masih terkunci. Sementara itu, Helena hanya tampak menunggu di teras dengan menampilkan senyumannya yang hangat.
“Wah, kalian cepat banget datangnya, ya!” Ucap ayah mertuaku dengan penuh semangat, sambil mengutak-atik gembok yang masih terkunci.
“Pasti, dong! Kan anak lanangmu ini yang nyetir!” Balas Felix dengan nada yang terdengar penuh kebangaan.
Setelah diutak-atik berkali-kali, akhirnya gembok berkarat yang tercantol di pintu pagar itu terbuka juga. “Baiklah, masuklah kalian bertiga!” Sambut ayah mertuaku sambil menarik pintu pagar geser itu.
Kami langsung bersalaman dengan Jonathan dan Helena tepat setelah masuk ke halaman rumah mereka. Saat menyalami tangan ibu mertua, aku bisa merasakan bahwa ia sedang memperhatikan pet carrier yang ditenteng oleh tangan kiriku.
“Ibu mau langsung ketemu sama Marco?” Helena tersentak karena aku menyadari bahwa ia sudah tidak sabar untuk bertemu dengan kucing ini.
“Iya, dong! Ibu udah pengen mainan, nih, sama si Marco. Ibu bahkan sampai bikin bola benang buat dia.” Balas Ibu mertuaku dengan binar mata yang mewakili semangatnya.
“Hahahaha, ibu mertuamu itu emang senang banget kalau udah berurusan sama yang lucu-lucu kayak si Marco ini, El.” Tambah Jonathan dengan nada yang menggoda istrinya.
“Hahaha, iya, aku tahu, kok. Tapi, kalau ibu mau mainan sama dia, aku saranin buat main di halaman belakang aja. Soalnya kucing ini bakalan rusuh banget kalau udah lari-larian gitu. Takutnya barang-barang di rumah jadi hancur gara-gara dia.” Ucapku memperingatkan agar barang-barang antik di rumah ini nggak diluluhlantahkan sama si Marco.
“Oke, kalau gitu kita langsung ke halaman belakang aja, yuk!”
...***...
Lina dan Helena tampak begitu ceria bermain lempar tangkap dengan Marco yang berlarian kesana-kemari mengejar bola benang berwarna merah itu. Seperti yang kukatakan sebelumnya, Marco sebenarnya adalah seekor anjing golden retriever yang terperangkap dalam tubuh kucing british shorthair. Dia mengelilingi halaman belakang rumah yang jauh lebih luas daripada kebun milikku ini tanpa kelihatan lelah sama sekali.
Di sisi lain, aku, Felix, dan Jonathan duduk bersama di sebuah meja piknik besar yang berada di bawah pohon rimbunnya pohon mangga. Kami menyantap roti tawar yang diolesi mentega serta ditambah dengan taburan meses coklat. Sebagai pelengkapnya, tersedia secangkir teh hangat dengan kadar gula yang diatur sesuai selera masing-masing. Kami menyantap sarapan pagi tersebut sambil menertawakan kelakuan Marco yang kesal karena kesulitan mendapatkan bola benang merah incarannya itu.
“Hahahaha, si Marco itu ternyata beneran gesit banget, ya.” Ucap Jonathan mengomentari stamina Marco yang tiada habisnya itu.
“Iya, ayah. Makanya si Nael benar-benar kewalahan waktu ngurusin dia sendirian di rumahnya, hahahaha.” Ujar Felix membalas perkataan ayahnya.
“Selain itu, ternyata ibu juga masih lincah banget, ya. Mengejar bola yang menggelinding agar tidak ditangkap oleh Marco itu bukanlah perkara mudah untuk orang-orang seusianya.” Aku juga turut memberikan komentar, namun diarahkan pada ibu mertuaku yang gerak motoriknya jauh lebih bagus daripada anak-anak muda zaman sekarang.
“Iya, dong. Itu karena kami benar-benar menjaga pola hidup agar tetap bisa bergerak dengan leluasa di usia senja. Nggak kayak kalian yang setiap hari bisa nyebat sampai 6 batang rokok tanpa olahraga sama sekali.”
Aku dan Felix yang sama-sama hendak menyulut rokok tiba-tiba dibuat beku sementara oleh pernyataan Jonathan. Kami kemudian nyengir layaknya orang yang kepergok mokel di bulan puasa, lalu secara serempak memasukkan kembali batang rokok itu ke dalam bungkusnya.
“Tapi aku masih ngegym, kok, yah.” Ucap Felix mencoba membantah pernyataan Ayahnya.
“Iya, tapi cuma dua kali dalam sebulan, kan?”
“Aku kan sibuk banget, yah.”
Tak seperti Felix, aku memilih untuk tetap diam karena mengetahui bahwa sekeras apapun aku membantah akan tetap ditepis oleh Jonathan yang sepertinya mengetahui gaya hidup kami di ibukota.
“Ngomong-ngomong, gimana kondisi mentalmu sekarang, El?” Tiba-tiba saja Jonathan melontarkan pertanyaan mengenai kesehatan mentalku. Aku pikir ini adalah hal yang wajar karena terakhir kali kami bertemu saat kondisiku masih sangat hancur.
“Aku sudah semakin membaik, ayah.” Jawabku sambil menyeruput teh hangat yang uapnya masih mengepul ke udara. “Ini semua berkat terapi dan konsultasi dari dr. Sofia, serta dukungan penuh dari Felix dan kawan-kawan.” Jonathan tersenyum lega mendengar penjelasanku itu. Sepertinya dia masih terbayang-bayang oleh wajahku yang terlihat seperti gelandangan saat masih menderita depresi berat beberapa bulan yang lalu.
“Syukurlah kalau begitu.”
...***...
Saat matahari sudah mulai merangkak turun di ufuk barat, kami berlima memutuskan untuk jalan-jalan menyusuri sungai bersama Marco. Walaupun sekarang masih pukul empat sore, udara sekitar sudah terasa sangat dingin. Karena belum beradaptasi dengan suhu rendah di kaki gunung, aku sampai-sampai harus meminjam jaket milik ayah mertuaku untuk menghalangi dingin yang menusuk hingga ke tulang.
Selain itu, kehangatan yang dipancarkan oleh keluarga ini sepertinya berhasil menyelamatkanku dari serangan hipotermia berat. Senyum dan tawa mereka yang begitu ceria berhasil membuatku tidak tahan untuk ikut memancarkan kebahagiaan melalui seringai yang sudah sangat jarang terpasang di wajah ini. Sayang sekali Felicia tidak bisa hadir bersama kami di sini.
“Woah, lihat ini!” Ucap Felix dengan semangat, sambil mengangkat sebuah batu vulkanik bulat seukuran bola kasti. Setahuku, batu dengan bentuk yang seperti itu biasanya mengandung fosil makhluk purba di dalamnya.
“Wah, cepat belah batunya, Felix!” Ucap Jonathan dengan penuh antusias.
“Tapi aku nggak bawa palu, yah.”
“Hei, benturkan di sini saja, Felix.” Ucapku pada Felix, sambil menunjuk ke sebuah batu besar di pinggir sungai yang terlihat sangat keras.
“Ide yang bagus!”
Felix kemudian menghantamkan batu bulat itu berkali-kali dengan kedua tangannya. Aku tidak menghitung berapa kali dia melakukannya, tapi yang pasti Felix sampai dibuat ngos-ngosan karena batu bulat itu sangat sulit untuk dibelah. Hingga akhirnya, dengan teriakan bak petarung yang hendak melancarkan serangan ultimate, dia menghantamkan batu itu sekali lagi hingga berhasil membuatnya terbelah.
Di dalamnya, terlihat sebuah fosil kerang purba yang berbentuk spiral. Mungkin kalian sudah pernah melihat hal yang seperti ini di sosial media. Penemuan fosil kerang ini membuktikan bahwa sebelumnya daratan Andawana merupakan sebuah lautan purba yang kaya akan keragaman hayati.
“Indah sekali!” Ucap Helena dan Lina secara serempak. Bahkan, Marco pun ikut terpukau oleh pesona fosil kerang tersebut. Ia mengendus batu tersebut, seolah merasakan aroma masa lalu dari dunia ini.
“Kalau begitu, belahan yang satu ini kita pajang di rumah ibu, sementara yang satu lagi kita bawa ke Andawana, ya.” Ucap Felix sambil mengangkat tangan kanan dan kirinya secara bergantian. “Nael, kalau kau mau, cari sendiri, ya, hahahaha.” Tambah Felix dengan mengarahkan candaannya kepadaku.
“Nggak, ah. Malas banget!”