Saat gerbang Nether kembali terbuka, Kate Velnaria seorang Ksatria Cahaya terkuat Overworld, kehilangan segalanya. Kekuatan Arcanenya hancur di tangan Damian, pangeran dari kegelapan. Ia kembali dalam keadaan hidup-hidup, tetapi dunia yang dulu dikenalnya perlahan berubah menjadi asing. Arcane-nya menghilang, dan dalam bayang-bayang malam Damian selalu muncul. Bukan untuk membunuh, tetapi untuk memilikinya.
Ada sesuatu dalam diri Kate yang membangkitkan obsesi sang pangeran, sebuah rahasia yang bahkan dirinya sendiri tidak memahaminya. Di antara dunia yang retak, peperangan yang mengintai, dan bisikan kekuatan asing di dalam dirinya, Kate mulai mempertanyakan siapa dirinya sesungguhnya dan mengapa hatinya bergetar setiap kali Damian mendekat.
Masa lalu yang terkubur mulai menyeruak, membawa aroma darah, cinta, dan pengkhianatan. Saat kebenaran terungkap, Kate harus memilih antara melawan takdir yang membelenggunya atau menyerahkan dirinya pada kegelapan yang memanggil dengan manis.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aria Monteza, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 27. Kembali ke kastil
Pagi kembali menyapa Kastil Ceaseton dengan kehangatan khasnya. Riak ombak lembut menjamah pantai yang membentang luas di sebelah timur, mengiringi aktivitas pagi para Ksatria Cahaya yang sudah mulai berlatih di tanah lapang berpasir.
Tak ada yang terlalu mencolok. Tidak ada sorak kemenangan atau tantangan antar tim. Hanya suara-suara sepatu menginjak pasir, bunyi denting ringan dari senjata sihir yang beradu, dan aliran mantra-mantra dasar yang dikeluarkan dalam pola tertentu. Di antara mereka, Orion berdiri tegak, memperhatikan satu demi satu formasi latihan yang tengah ia susun kembali. Matanya tajam, penuh analisis, tapi dalam diamnya, ia menyimpan banyak pikiran.
Salah satu sumber pikirannya saat ini sedang melayang ringan di atas air, membentuk pusaran kecil di sekeliling dirinya yang dibuat oleh Danzzle. Pria itu terlihat berbeda sejak kembali dari mansion Damian. Mata jernihnya memancarkan semangat baru. Kali ini bukan hanya semangat untuk bertahan, tapi juga keinginan untuk belajar lebih jauh. Di hadapannya, tiga bola air melayang seolah menari mengikuti arahan jari-jarinya.
“Bagus, Danzzle. Pertahankan stabilitasnya,” ujar Orion sambil berjalan mendekat.
Danzzle mengangguk, lalu mengubah formasi bola-bola itu menjadi cambuk air tipis yang mencambuk bayangan ilusi lawan. Dalam sekali gerakan, lawan itu terlempar mundur, tubuhnya tertutup air yang langsung membeku sebagian. Itu bukan hanya manipulasi air, ada unsur mental yang memperkuat intensitas serangan. Orion mengangguk kecil. Itu adalah jejak latihan bersama Kate.
“Dia mengajarkanmu ini?” tanya Orion, meski sudah tahu jawabannya.
“Ya, Kate bilang aku punya lebih dari yang kupikirkan,” jawab Danzzle sambil menurunkan tangannya perlahan. “Dia bahkan bilang aku bisa mempengaruhi tubuh orang jika aku cukup terlatih.”
Orion tersenyum tipis. “Dia tidak salah.”
Namun senyumnya hanya bertahan sekejap. Karena pikirannya langsung kembali ke Kate. Sejak mereka kembali dari mansion Damian, Kate tampak berubah. Bukan secara sikap, karena gadis itu masih sama, pendiam, sedikit sinis, dan terlalu keras pada dirinya sendiri. Namun auranya kini berbeda, lebih dewasa dan tenang.
Tadi pagi, saat Orion melakukan pemeriksaan formasi pelindung tubuh, ia mendeteksi lapisan emas samar di sekitar pusat energi Kate. Itu bukan sekadar lapisan perlindungan. Itu adalah tanda Arcane miliknya yang sudah naik setingkat menuju Inti Emas. Kini tinggal selangkah lagi, Kate bisa menyusul level yang lain.
“Dia naik level tanpa ada orang yang menyadarinya,” gumam Jasper yang tiba-tiba berdiri di sisi kanan.
Orion mengernyit. “Apa maksudmu?”
“Levelnya, aku bisa merasakannya. Kau pasti juga sudah tahu, kan? Setelah pulang dari mansion Damian, tiba-tiba saja Kate naik level tanpa pelatihan. Atau kita saja yang tidak tau seberapa keras dia berlatih untuk menyusul ketertinggalannya.”
“Ya, aku rasa dia memang berlatih diam-diam tanpa kita ketahui.” Orion mengakui perlahan.
Sebenarnya, ia seharusnya bangga. Kate telah berkembang pesat, bahkan lebih cepat dari yang ia perkirakan. Namun bersamaan dengan kebanggaan itu, ada rasa getir yang sulit dijelaskan. Mungkin karena Orion merasa tidak memberikan sesuatu yang membuat Kate naik level.
Damian. Nama itu seperti duri dalam dada, menyelinap masuk perlahan dan menancap kuat. Orion tidak buta, ia melihat bagaimana Damian memperlakukan Kate selama perburuan. Juga bagaimana Kate tidak lagi membalas dengan amarah atau perlawanan seperti sebelumnya.
Di satu sisi, ia senang mereka semua kembali ke kastil. Di bawah dinding-dinding suci Ceaseton, Damian tak bisa berbuat sesuka hati. Kate kembali berada dalam jangkauan perlindungan mereka. Namun ia juga tahu, rasa yang sudah mulai tumbuh di hati Kate tidak bisa dibatasi oleh tembok kastil sekalipun.
Di sisi lain lapangan, Kate sedang duduk bersila di atas batu, memejamkan mata. Di sekelilingnya, energi sihir mengalir pelan dari tanah ke tubuhnya. Proses penyesuaian Inti Emas dengan tubuhnya membutuhkan waktu dan meditasi teratur. Namun tak masalah baginya, karena Inti Emas itu bukan hal baru. Ia hanya mengembalikan sesuatu yang dulu pernah menjadi miliknya.
Ketika ia membuka mata, ia menangkap bayangan Orion dari kejauhan, memperhatikannya. Kate tersenyum tipis, lalu kembali menutup mata.
Dalam hatinya, suara Damian terngiang kembali. “Kekuatanmu tidak pernah hilang, Kate. Aku hanya memaksamu mencari kekuatan aslimu kembali. Karena aku tahu, kau akan menemukannya.”
Dan memang benar, ia mulai menemukannya. Namun apakah itu karena dirinya sendiri atau karena pria yang ia benci tapi perlahan tak bisa diabaikan?
***
Langit sore di atas Kastil Ceaseton perlahan berubah warna, memamerkan gradasi jingga keemasan yang berpadu dengan lembayung muda. Laut di sisi timur bergemuruh lembut, membiarkan ombak kecil mencumbu pasir tanpa lelah. Udara senja membawa kesejukan yang lembut, menyapu peluh sisa latihan dari tubuh para ksatria muda yang mulai meninggalkan lapangan.
Namun dua sosok masih bertahan di tepian pantai, tak jauh dari tempat latihan. Kate duduk di atas batu datar, rambutnya yang sedikit acak tertiup angin laut. Di hadapannya, Danzzle berdiri dengan kaki sedikit terbuka, kedua telapak tangannya terangkat ke arah permukaan air laut.
“Fokus,” kata Kate sambil mencondongkan tubuh ke depan. “Jangan hanya mengangkat airnya. Dengarkan alunannya, ajak ombak itu bergerak bersamamu bukan hanya karena kehendakmu.”
Danzzle mengangguk serius. Mata cokelatnya menatap lurus ke arah gulungan air yang membeku di bawah arahannya. Detik berikutnya, air laut itu bergelombang pelan. Lalu naik membentuk gelombang kecil yang terangkat, bergerak mendekati bibir pantai. Ombak itu tak terlalu besar, tapi cukup untuk memberi bentuk dan arah.
“Bagus!” puji Kate dengan senyum bangga.
Namun alih-alih mempertahankan konsentrasinya, sudut bibir Danzzle melengkung nakal. Ia melirik Kate sekilas kemudian dengan sedikit gerakan halus, ombak berikutnya mengarah langsung ke tempat Kate duduk.
“Danzzle!” teriak Kate, tepat sebelum air menerjang dan mecah sebelum benar-benar mengenainya, tapi cukup untuk menyiram sebagian besar tubuhnya.
Kate berdiri, rambutnya menjuntai basah di pipi, pakaian putihnya menempel rapat pada tubuh. Wajahnya memerah karena kaget dan geram.
“KAU!!”
Danzzle hanya tertawa terpingkal-pingkal, memegangi perutnya. “Maaf, aku tak bisa menahan godaan! Wajahmu barusan tampak lucu!”
Kate mengerucutkan bibirnya, lalu dengan gerakan cepat mencelupkan tangannya ke laut dan mencipratkan air ke wajah Danzzle.
“Aha! Perang air, ya?” seru Danzzle senang.
Mereka pun saling berlari, berkejar-kejaran di tepi pantai, saling mencipratkan air seperti dua anak kecil yang baru mengenal musim panas. Tawa mereka menggema di atas pasir dan debur ombak. Saat Kate berhasil mencipratkan air ke punggung Danzzle, pemuda itu terpeleset dan terjatuh, lalu tertawa semakin keras.
“Cukup.”
Suara Orion yang berat namun tenang terdengar dari arah belakang mereka.
Kate dan Danzzle langsung berhenti. Kate yang masih setengah tertawa menoleh cepat, lalu wajahnya memucat sedikit saat melihat sosok Orion berdiri dengan tangan menyilang, tatapannya datar tapi jelas tidak sedang bercanda.
“Maaf, Kapten,” ujar Danzzle, buru-buru berdiri dan menepuk pakaiannya.
“Waktu latihan sudah selesai. Kembali ke kastil,” perintah Orion pendek.
Kate yang masih memegang ujung rambut basahnya, hanya mengangguk. Saat hendak berjalan, Danzzle tiba-tiba mengangkat tangannya pelan. Suara gemericik air terdengar, lalu seluruh air yang menempel pada tubuh Kate dan dirinya mulai menguap perlahan, seolah diserap udara. Tak lama kemudian, pakaian mereka kering seolah tak pernah terkena air laut.
“Sedikit trik kecil,” ujar Danzzle bangga. “Kate juga yang ngajarin cara mengalirkan panas lewat sihir alam.”
Kate hanya terkekeh. “Kau semakin cepat belajar, Danzzle.”
Orion tidak berkomentar, hanya memandangi Kate beberapa saat. Lalu tanpa berkata apa-apa, ia melepaskan mantel gelapnya dan menyampirkannya ke bahu Kate. Mantel itu hangat, menyimpan aroma pasir, debu sihir, dan sedikit angin garam yang khas dari pria itu.
Kate mematung sejenak. “Aku tidak butuh ini.”
“Jangan menolak perhatian,” potong Orion, matanya lurus ke depan.
Kate menunduk pelan, akhirnya membiarkan mantel itu melekat.
Mereka berjalan bertiga di sepanjang garis pantai yang mulai gelap, langkah mereka ringan di atas pasir yang mendingin. Tak ada obrolan panjang, tetapi di antara keheningan itu ada sesuatu yang tumbuh ketenangan, kehangatan, dan rasa yang belum terucap.
Langit sudah menjingga tua saat bayangan mereka memudar menuju benteng Ceaseton. Dari kejauhan, seseorang yang tersembunyi di balik batu karang mengamati mereka bertiga. Sorot matanya tajam dan berkilau keperakan, sebelum lenyap ditelan bayang malam.
Malam sudah turun sempurna saat Orion dan Kate berhenti di depan pintu kamar gadis itu. Lorong batu kastil Ceaseton tampak sepi, hanya diterangi lentera dinding yang temaram dan cahaya bulan dari jendela kecil. Hanya suara debur laut dari kejauhan yang menemani mereka berdiri dalam diam.
Kate menoleh, lalu mengembalikan mantel gelap yang masih melingkupi bahunya. “Terima kasih untuk tadi,” ucapnya pelan, menunduk sedikit saat menyerahkan mantel itu.
Orion menerimanya tanpa kata. Matanya menatap wajah Kate yang sebagian terbungkus bayangan, seolah ingin mengatakan sesuatu. Walau akhirnya ia hanya mengangguk kecil, lalu berbalik dan berjalan pergi.
Kate menarik napas dalam, lalu mendorong pintu kamarnya perlahan. Begitu ia masuk dan menutup pintu di belakangnya, langkahnya terhenti seketika. Di sana duduk di kursi kayu ukir dekat jendela, dalam bayangan bulan ada Damian.
Rambut gelapnya tertata rapi seperti biasa, dan matanya menyipit tajam menatap Kate dari balik siluet malam. Ia tidak berkata apa-apa, hanya diam mengamati.
“Damian?” Kate mengerutkan dahi. “Apa yang kau lakukan di sini?”
Namun Damian tak langsung menjawab. Ia bangkit dari kursi dengan gerakan lambat, seperti binatang pemangsa yang mendekati mangsanya dalam diam. Wajahnya tetap tenang, meski ada sesuatu yang berbeda. Aura di sekelilingnya terasa lebih tajam.
Ia berhenti hanya beberapa langkah dari Kate, lalu memiringkan kepalanya sedikit. “Bajumu...” gumamnya lirih. Hidungnya mengerut halus, seperti mencium sesuatu yang mengganggu pikirannya. “Kau membawa pulang aroma pria lain.”
Kate menegang. “Apa?”
“Orion.” Damian melafalkan nama itu dengan nada rendah yang nyaris seperti geraman. “Aku bisa menciumnya, menempel di kainmu.”
Kate menelan ludah, teringat mantel yang baru ia pakai tadi. Sebelum ia sempat menjelaskan, Damian sudah mengulurkan tangan dan dengan lembut melepaskan mantel luar tipis yang ia kenakan, lalu menggantungnya ke sisi tempat tidur. Matanya tak pernah lepas dari wajah Kate.
“Gantilah pakaianmu. Aku tidak suka melihatmu memakai apa pun yang membawa jejak pria lain.”
Kate hanya terdiam sejenak, lalu menghela napas dan berbalik menuju kamar mandi. Tidak ingin memperpanjang pertengkaran saat tubuhnya sendiri masih lembap oleh sisa air laut.
Beberapa saat kemudian, Kate keluar dengan rambut basah yang disisir ke belakang dan pakaian santai yang bersih. Damian masih berdiri di tempat yang sama. Namun kini matanya lebih tenang, meski bibirnya menyiratkan sesuatu antara puas dan waspada.
Kate menatapnya lama, lalu membuka suara penuh curiga. “Bagaimana kau bisa masuk ke sini?”
Damian mengangkat bahu ringan. “Kau istriku, Kate. Ini kamarmu, jadi juga kamarku. Aku bisa datang kapan pun aku mau. Dan tidak ada seorang pun di Ceaseton yang bisa mendeteksiku jika aku tidak mengizinkan.”
“Jadi kau memata-mataiku?” Kate mengerutkan alis, kesal. “Itu sudah melewati batas.”
Damian mendekat. Ia tidak menjawab langsung, hanya menatap mata Kate dalam-dalam. Tanpa aba-aba tangannya mengusap pelan pipi Kate, sebelum ia menunduk dan mengecup kening gadis itu.
“Ini bukan pengintaian, Kate,” bisiknya lembut namun mengandung tekanan. “Ini penjagaan.”
Kate bergeming, dadanya sesak. Ia ingin mendorong Damian menjauh, ingin menolak sentuhan itu sayangnya tubuhnya terlalu terbiasa dengan kehangatan pria itu dan perlindungan yang selalu terselip dalam sikap menguasai Damian.
“Kenapa?” gumam Kate akhirnya. “Kenapa kau begitu terobsesi untuk menjagaku dari Orion?”
Damian memejamkan mata sejenak. Ketika ia membukanya, pandangannya tak lagi hanya cemburu melainkan dikuasai perasaan lain yang lebih rumit. “Karena aku pernah kehilanganmu sekali. Dan jika kau mendekat pada siapapun yang mungkin merebutmu, aku akan hancur, Kate.”
Kata-kata itu keluar begitu saja. Tanpa permainan, tanpa topeng.
Kate terdiam, matanya menatap dalam, mencari kebohongan di balik mata Damian. Namun yang ia lihat adalah ketulusan yang justru membuatnya semakin bingung.
Perasaannya berkecamuk. Antara kesal, tersentuh, dan tak ingin mengakui bahwa bagian dari hatinya mulai melemah di hadapan Damian. Untuk sesaat, mereka hanya berdiri berhadapan dalam keheningan, hingga Damian menyentuh pipinya sekali lagi dan bergumam.
“Aku akan pergi sebelum fajar. Tapi ingatlah, Kate tidak ada ruang untuk pria lain di antara kita.”
Seperti bayangan, Damian menghilang dalam gemuruh bisikan sihir. Kate menghela napas dalam dan duduk di sisi ranjangnya, jantungnya berdetak tak beraturan. Di luar, bulan bersinar redup seakan tahu bahwa badai dalam dirinya belum benar-benar reda.