bagaimana jika seorang CEO menikah kontrak dengan agen pembunuh bayaran
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SOPYAN KAMALGrab, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bianka kembali pada andika
"Bianka," ucap Andika, matanya berkaca-kaca.
"Andika..." ucap Bianka, suaranya serak.
Andika segera memeluk Bianka erat.
"Kamu ke mana saja, Bian? Aku mencari kamu. Aku mengkhawatirkan kamu, Sayang," ucap Andika. Ia merasa terharu akhirnya bertemu kembali dengan kekasihnya.
Andika melepas pelukannya, lalu membelai pipi Bianka.
"Kamu baik-baik saja, kan?" tanya Andika.
"A-aku baik-baik saja, Sayang. Maafkan aku. Orang tuaku sakit parah, jadi aku tidak datang di hari pernikahan kita. Aku bingung mau bilang apa sama kamu, Sayang. Sampai sekarang aku masih merasa bersalah padamu. Aku merasa tidak pantas dimaafkan, makanya aku menghindar darimu," isak Bianka.
Namun dalam hati, Bianka berkata lain, "Duh, brengsek banget sih, segala ketemu di sini. Gimana kalau Feri tahu?"
"Kamu tidak salah, Bianka. Aku tahu kamu pasti punya alasan mengapa tidak datang di hari pernikahan kita. Dan maafkan aku, aku terpaksa menikah dengan perempuan pilihan Mama. Tapi tenang saja, pernikahanku hanya enam bulan kok. Setelah itu kita bisa melanjutkan hubungan kita," ucap Andika.
"Terima kasih, Sayang. Aku juga mau fokus dulu sama orang tuaku," jawab Bianka.
"Aku mau jenguk orang tuamu," kata Andika, suaranya rendah tapi jelas.
Bianka buru-buru menggeleng. "Nggak usah, Dika. Mereka nggak mau ketemu siapa pun. Aku juga harus cepat balik."
"Bianka, aktifkan nomor kamu," pinta Andika.
"Iya, aku akan mengaktifkan HP-ku. Sekarang aku mau cepat ke rumah sakit," pamit Bianka, lalu meninggalkan Andika yang tampak senang karena sudah bertemu kembali dengannya.
"Andika!" pekik Renata.
Andika menoleh. Ternyata mamahnya, Renata, sudah berdiri di sana dengan tatapan menyala.
"Anak bodoh! Baru ditinggal sebentar sudah ketemu sama perempuan murahan itu!" hardik Renata, marah dengan sikap Andika yang dianggapnya terlalu mudah dibodohi.
"Mah, aku masih mencintai Bianka," ucap Andika pelan.
"Ingat kata nenekmu! Kamu akan mendapatkan warisan sepenuhnya kalau kamu punya anak dari Amira. Nenekmu tahunya Amira itu istrimu. Jangan lakukan tindakan bodoh dengan kembali pada Bianka! Dia itu wanita nggak beres, Dika. Kalau dia perempuan baik-baik, harusnya dia menghubungi kamu, memberi kepastian jadi atau tidaknya pernikahan. Dia hampir saja merusak reputasi keluarga kita!" Renata memuncak amarahnya.
"Warisan, warisan saja yang ada dalam pikiran Mamah! Aku bosan, Mah. Aku ingin memilih jalan hidupku sendiri. Aku nggak butuh warisan. Aku hanya ingin bahagia," balas Andika dengan nada getir.
"Kamu kira aku butuh warisan? Aku tidak butuh warisan, aku hanya butuh kamu! Kalau kamu tidak mendapatkan warisan itu, potong saja telinga Mamah kalau kamu masih mendapatkan Mamah bernyawa lagi! Musuh kamu terlalu banyak, dan kamu tidak menyadarinya karena kamu terlalu baik!" ucap Renata, nadanya getir.
"Sudah, Mah. Mamah terlalu paranoid. Mamah menganggap semua orang jahat, hingga Mamah punya rasa takut berlebihan," ujar Andika dengan nada putus asa.
"Apa kamu bilang aku penakut? Aku tidak takut apa pun! Aku hanya takut kehilangan kamu, Dika!" seru Renata.
Andika berbalik dan meninggalkan Renata yang hanya bisa berdiri terpaku, menahan gejolak perasaannya.
Amira datang menghampiri Renata.
"Sudah, Mah, jangan menangis," ucap Amira.
Namun, Renata justru menangis sesenggukan di pelukan Amira.
"Andika jadi bodoh gara-gara wanita," isak Renata.
"Iya, dia jadi bodoh. Kalau aku malah jadi pintar gara-gara lelaki," ucap Amira santai.
"Kenapa kamu bilang begitu?"
"Ya, tahulah, aku juga bingung. Yang jelas aku banyak mendapatkan keuntungan setelah dinikahi Andika. Bapakku dirawat dengan perawatan terbaik, aku bisa ke salon, bahkan ke Singapura. Aku suka menggunakan prinsip ambak dalam hidupku."
"Apa itu ambak, Mira?" tanya Renata penasaran.
"Apa manfaatnya bagiku," jelas Amira sambil tersenyum. "Aku melangkah kalau ada manfaatnya. Aku dekat kalau ada manfaatnya. Karena hidupku dari kecil selalu berkutat dengan kemalangan, baru sekarang aku bisa merasakan senang-senang."
"Iya, Andika juga seharusnya berpikir seperti itu. Dia jangan cuma mengutamakan perasaan, harusnya pakai pikiran, supaya bisa membedakan mana yang bermanfaat dan mana yang tidak," ucap Renata.
"Mamah juga jangan terlalu pakai perasaan, Mah," kata Amira.
"Emang Mamah pakai perasaan?"
"Daripada Mamah sedih mikirin anak bodoh Mamah, lebih baik Mamah belanja. Ingat, Mah, bagi wanita, apa pun masalahnya, belanja itu solusinya," bisik Amira sambil tertawa kecil.
Renata tersenyum “pinter juga kamu, ayolah kita belanja kalau begitu” ucap renata mulai tersenyum
Sementara itu, di Orchard, Bianka menunduk dalam-dalam. Setelah berpisah dari Andika, ia berjalan lunglai menuju sebuah toko tas mewah, di mana Feri—pria yang ia anggap lebih kaya dari Andika—sudah menunggu.
Andika memang kaya, pikir Bianka, tetapi sayang, terlalu takut pada ibunya. Bianka tidak mau hidupnya diatur-atur lagi.
"Mas, aku mau tas ini," ucap Bianka, menunjuk sebuah tas Hermès seharga Rp350 juta, yang sudah lama ia impikan.
"Ambil saja, Sayang. Apa pun yang kamu inginkan akan aku belikan," balas Feri percaya diri.
Belum sempat Bianka mengambil tas itu, seorang wanita lain menahan tangannya.
"Tidak bisa, tas ini sudah aku pilih duluan," ucap wanita itu ketus.
"Tapi kamu belum bayar, kan? Jadi aku masih berhak memilikinya," jawab Bianka dingin.
"Aku sedang menunggu suamiku. Tadi aku sudah bilang ke petugas toko," bela wanita itu.
"Miss, dia hanya pura-pura mau beli. Padahal dia tidak sanggup membayar," seloroh Bianka dengan senyum tipis.
Wanita itu memerah menahan amarah. "Kamu tidak tahu siapa suamiku!"
"Aku tahu," jawab Bianka santai. "Kalau tahu, kenapa tidak mau mengalah?"
"Karena suamimu itu babi gendut. Jadi, kenapa aku harus mengalah?"
Bianka tersenyum puas.
Si wanita, merah padam karena malu, mengangkat tangan hendak menampar Bianka, tetapi Feri dengan sigap menahan gerakannya.
"Jangan sentuh wanita saya, kalau tidak, saya hajar kamu," gertaknya dingin.
Wanita itu buru-buru kabur sambil mengumpat.
"Terima kasih, Sayang. Kamu kaya, berkuasa, dan melindungiku," ucap Bianka manja.
"Aku pacarmu. Wajar aku melindungimu," sahut Feri penuh percaya diri.
"Silakan transaksi di kasir, Mbak," ucap pelayan toko ramah.
Dengan langkah mantap, Feri menuju meja kasir untuk membayar.
Feri melangkah percaya diri ke meja kasir, tas Hermès di tangannya seolah sudah sah menjadi milik Bianka.
Ia menggesek kartu kreditnya dengan senyum bangga.
Beep.
Transaksi ditolak.
Bianka mengerutkan kening, masih berusaha berpikir positif.
Feri tertawa kecil, mencoba menutupi rasa kikuk.
"Ah, mungkin salah mesin. Coba sekali lagi, Mbak."
Kasir mengangguk, lalu mencoba menggesek kartu Feri sekali lagi.
Beep.
Transaksi ditolak lagi.
Bianka mulai merasa ada sesuatu yang tidak beres. Beberapa pembeli di toko mulai memperhatikan mereka.
Feri buru-buru mengeluarkan kartu kedua.
"Coba ini saja, Mbak," katanya.
Kasir mencoba lagi.
Beep.
Transaksi tetap ditolak.
Wajah Feri mulai kaku. Ia tersenyum masam sambil membisiki Bianka, "Sayang, kayaknya semua kartuku bermasalah. Mungkin ada sistem error dari bank."
Bianka berdiri terpaku. Malu dan amarah bercampur aduk dalam dadanya. Ia bisa merasakan tatapan orang-orang yang mulai berbisik di sekelilingnya.
Bianka menatap Feri tajam, menahan diri untuk tidak langsung melempar tas itu ke wajahnya.
Kasir tersenyum kaku. "Mohon maaf, Tuan. Jika tidak ada kartu lain, mungkin Anda bisa menggunakan metode pembayaran lain."
Feri menunduk, berbisik, "Kamu ada uang cash, Sayang?"
Bianka membelalak. Ini benar-benar memalukan!
Dengan geram, ia meletakkan tas itu ke meja kasir dengan kasar.
"Sudahlah, aku tidak jadi," ucap Bianka ketus.
“aku harus kembali pada andika, dia masih sangat mencintai aku” ucap bianka dalam hati
Jangan lupa like dan comment
Berikan ulasan bintang 5
Biar gajihan kita
tapi kenapa yah oma viona selalu menuduh allesandro setiap ada masalah perusahaan? dan bagaimana nasib andika selanjutnya
seru nih amira hajar terus