Prayitno, seorang pria miskin yang nekat merantau ke kota besar demi mencari ibunya yang hilang, justru terperangkap dalam kehidupan penuh penderitaan dan kesuraman. Setelah diusir dari kontrakan, ia dan keluarganya tinggal di rumah mewah milik Nyonya Suryati, yang ternyata menyimpan rahasia kelam. Teror mistis dan kematian tragis menghantui mereka, mengungkap sisi gelap pesugihan yang menuntut tumbal darah.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Its Zahra CHAN Gacha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tanda Yang Kembali
Seperti janjinya Prayit mendatangi rumah tua itu. Beberapa warga tampak mengikuti mereka.
Setibanya di sana Kyai Amin menyuruh para warga untuk tidak ikut masuk ke gudang belakang.
Ia tidak mau sesuatu terjadi kepada mereka. Lelaki itu hany meminta kepada para santri dan warga yang ikut untuk membantunya dengan doa.
Para santri dan warga segera duduk melingkar, suara lantunan ayat-ayat suci mulai menggema.
Prayitno dan Kyai Amin segera menuju ke ruang belakang tempat dimana Altar itu berada.
#Kediaman Nenek Mariani
Wanita tua itu tiba-tiba bangun dari tidurnya.
Matanya yang tajam menatap cermin di depannya.
"Beraninya kau menyerang ku Prayit, apa kau lupa dengan perjanjian kita??"
Suara lantunan ayat-ayat suci membuat tubuhnya terasa panas. Kulitnya yang putih mulus tiba-tiba mengelupas berubah menjadi keriput.
Wanita itu kemudian menjerit kesakitan.
"Panas!"
Kedua tangannya segera menutup telinganya. Tak lama Suryati tergopoh-gopoh menghampirinya.
Wanita itu begitu ketakutan saat melihat ibunya yang berubah mengerikan.
"Apa yang terjadi Ibu??" ucapnya dengan nada ketakutan
"Prayit, bocah itu sudah membebaskan semua tumbal kita!"
Mariani segera turun dari ranjangnya dan berjalan pincang menuju ke meja riasnya.
Wanita itu kemudian berdiri termangu menatap dirinya di depan cermin.
"Semuanya belum berakhir Payit, ini baru permulaan??"
**********
Puing-puing rumah mewah itu kini hanya tinggal arang dan reruntuhan. Pagi itu matahari bersinar terang. Burung-burung berkicau merdu menyambut pagi.
Para warga dan santri masih duduk di depan puing-puing bangunan menunggu kedatangan Prayit dan Kyai Amin.
Setelah peristiwa pembakaran altar, keduanya belum menampakkan batang hidungnya.
Para warga lain berdatangan, mereka tampak penasaran, heran, sekaligus takut.
"Dimana suamiku??" ucap Nurul menghampiri para santri
Mereka menggelengkan kepalanya membuat Nurul berpikir sesuatu terjadi pada suaminya. Ia pun segera berlari menuju gudang belakang. Beberapa warga melarangnya hingga memegangi lengannya. Namun wanita itu tak peduli. Ia memberontak dan melepaskan diri dan berlari menuju gudang belakang.
Khawatir dengan Nurul beberapa santri dan para warga pun mengikutinya.
Nurul berusaha mencari suaminya diantara reruntuhan puing-puing yang sudah menjadi arang. Para warga pun melakukan hal yang sama.
Mereka akhirnya menemukan Prayitno dan Kyai Amin dalam keadaan selamat, meski tubuh mereka penuh luka dan jelaga.
Nurul segera memeluk erat suaminya.
"Syukurlah kamu selamat,"
Namun di balik ketenangan pagi itu, masih ada rahasia yang belum terungkap sepenuhnya.
Setelah peristiwa itu, Prayitno dan istrinya tinggal di kediaman Kyai Amin. Selain lebih aman, Kyai Amin juga berusaha menyembuhkan Prayit dari kutukan itu.
Tak ada yang janggal setelah peristiwa itu. Namun di hati ke tujuh setelah peristiwa itu, Prayitno mulai memimpikan ibunya lagi.
Tapi kali ini bukan mimpi buruk di koridor gelap atau dalam jeritan para tumbal. Ia melihat Ningsih duduk di tengah sawah, tersenyum, dan menenun kain batik bergambar kembang setaman.
“Anakku, kamu telah membebaskan kami. Tapi ingat, darah keluarga itu masih mengalir dan kau adalah bagian dari lingkaran itu.”
Prayitno terbangun dengan peluh dingin. Ia menerawang mencoba mencerna ucapan ibunya.
Ia mulai mengingat-ingat sesuatu. Tiba-tiba ia teringat dengan kalung kecil berbentuk matahari yang pernah diberikan ibunya waktu kecil. Ia baru sadar, jika kalung itu juga dimiliki Mariani dalam wujud dan bentuk yang sama.
"Bagaimana dia bisa memiliki kalung yang sama denganku??" Prayit menatap tajam kakung di depannya
Pagi itu Kyai Amin datang menjenguknya.
Lelaki itu memandangnya dengan mata dalam saat melihat Prayitno sedang termenung sambil memegang sebuah kalung.
“Kamu bukan sekadar korban, Prayit. Kamu adalah keturunan dari garis yang dulu ikut dalam perjanjian itu. Tapi ibumu memilih keluar dan itu yang membuatnya jadi tumbal.”
"Maksudnya??" Prayitno membulatkan matanya
Ia benar-benar tak mengerti dengan apa yang dibicarakan oleh Kyai Amin.
Kyai Amin menghela nafas, kemudian duduk di sampingnya.
Pria tua itu mengambil kalung di tangan Prayit dan menatapnya sejenak.
"Kalung ini adalah sebuah simbol pengabdian, pengabdian kepada makhluk gaib untuk mendapatkan kekayaan. Dulu ibumu melakukannya karena ingin merubah hidupnya, namun saat ia tahu kamu akan dikorbankan untuk mendapatkan kekayaan itu, ia memilih keluar dan tak mau melanjutkannya. Namun perjanjian sudah di buat dan tak bisa di batalkan, itulah kenapa ibumu menjadi tumbal," Kyai Amin kemudian memberikan kalung itu kepada Prayit
"Jadi benar aku akan menjadi tumbal selanjutnya?"
Kyai Amin mengangguk pelan. Ia kemudian menepuk bahu Prayit, "Jangan khawatir, kamu masih bisa selamat. Tak ada yang tidak mungkin di dunia ini jika kamu berusaha,"
Prayitno menggenggam kalung itu, perasaan campur aduk memenuhi dadanya. Ia merasa jijik, marah, sekaligus takut.
“Kalau begitu, apakah aku juga membawa kutukan itu?”
Kyai mengangguk pelan. “Tapi kamu punya pilihan, seperti ibumu. Kau bisa melepaskan warisan itu atau meneruskannya.”
Prayitno menatap langit yang kini bersih. Burung-burung kembali berkicau. Tapi di hatinya ia tahu, semuanya belum akhir. Karena darah pesugihan bukan hanya tentang kematian tapi juga tentang pilihan.
Dan di tempat lain, di reruntuhan rumah Mariani sebuah batu kecil dengan ukiran kuno berpendar samar di bawah tanah. Tangan mungil seorang anak kecil tiba-tiba muncul dan memegangnya. Mata anak itu memerah perlahan.
Beberapa tahun telah berlalu sejak rumah besar milik Nyonya Suryati dan Nenek Mariani runtuh. Kehidupan Prayitno perlahan membaik. Ia kembali bekerja sebagai buruh bangunan di sebuah proyek desa dan tinggal di rumah sederhana bersama istrinya, Nurul, yang telah sembuh dari kerasukan, meski tak sepenuhnya mengingat peristiwa kelam yang menimpanya. Ia bahkan di karuniai bayi laki-laki yang diberi nama Aryo.
Namun ketenangan itu tidak berlangsung lama.
Suatu pagi, Aryo mengeluh sakit kepala dan mimpi buruk berulang-ulang. Ia sering menggambar simbol-simbol aneh di dinding rumah, simbol yang sama dengan yang pernah dilihat Prayitno di altar pesugihan.
Lebih mengerikan lagi, Aryo pernah berbicara dalam bahasa Jawa Kuno saat tidur, dan menyebut nama Mariani.
Prayitno mulai resah. Ia kembali menemui Kyai Amin, yang kini mulai menua dan jarang keluar dari ruang meditasi.
“Anakku Aryo, dia mulai menunjukkan tanda-tanda. Apakah kutukannya belum berakhir?” tanya Prayitno penuh cemas.
Kyai menarik napas panjang. “Kutukan bisa dikunci tapi tidak bisa dibunuh. Bila ada yang menyentuh sisa peninggalan kekuatan itu, maka lingkarannya akan terbuka kembali.”
Prayitno terdiam. Ia ingat mimpinya dan kalung yang diwariskan ibunya, yang kini tergantung di kamar Aryo.
Tanpa membuang waktu, ia menggali kembali lokasi bekas rumah Suryati. Bersama warga dan beberapa pemuka desa, mereka menemukan batu berukir di tanah dalam yang terlihat seperti jimat, tapi dengan aura hitam yang menyengat.
Dan di situlah semuanya berubah.
Begitu batu itu diangkat, tanah bergetar. Langit mendung. Burung-burung beterbangan panik.
Dan di kejauhan, dari balik pohon beringin besar, seorang anak kecil dengan mata merah tersenyum ke arah mereka.
Aryo, tapi bukan Aryo.
jd ngeri