Kenyataan menghempaskan Dion ke jurang kekecewaan terdalam. Baru saja memutuskan untuk merangkak dan bertahan pada harapan hampa, ia justru dihadapkan pada kehadiran sosok wanita misterius yang tiba-tiba menjadi bagian dari hidupnya; mimpi dan realitas.
Akankah ia tetap berpegang pada pengharapan? Apakah kekecewaan akan mengubah persepsi dan membuatnya berlutut pada keangkuhan dunia? Seberapa jauh kenyataan akan mentransformasi Dion? Apakah cintanya yang agung akhirnya akan ternoda?
Apapun pilihannya, hidup pasti terus berjalan. Mengantarkan Dion pada kenyataan baru yang terselubung ketidakniscayaan; tentang dirinya dan keluarga.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon K. Hariara, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Guna-guna Yuna
Jarum pendek jam dinding sudah hampir mendekati angka satu ketika Dion terbangun karena gedoran di pintu kamarnya. Dia segera mengenali suara yang berseru, Hendrik. Sebelum bangkit ia melilitkan selimut ke tubuhnya yang kedinginan meskipun hari itu panas terik.
Bukan hanya masih merasakan kantuk, Dion juga merasa seluruh badannya pegal-pegal karena lomba maraton yang ia ikuti sehari sebelumnya. Dengan langkah gontai dan malas-malasan ia membukakan pintu.
“Datang, Bro? Baru pulang ibadah Minggu, kah? Rapi sekali,” tanya Dion sedikit kaget melihat Hendrik terlihat rapi hari itu. Tanpa menunggu jawaban, Dion kembali merebahkan dirinya di atas kasur.
“Hei bangun! Sudah lewat tengah hari. Nggak lapar?” seru Hendrik melihat Dion kembali mencoba tidur. Hendrik pun duduk dan menyalakan televisi.
“Masih mengantuk. Tadi malam pulang sudah hampir pagi,” sahut Dion sambil menguap.
“Selamat Bro. Kau menang lomba.”
“Ha? Tau dari mana aku menang lomba?”
“Kau tidak tau? Kau masuk berita tv kemarin sore dan malam. Mantab kali bah!”
“Iya kah?” tanya Dion ogah-ogahan, tak tertarik dengan kata-kata Hendrik. Dion malah menarik selimutnya hingga menutupi kepala seolah-olah tak ingin diganggu.
“Hei bangun! Sebenarnya aku kemari ingin minta ditraktir. Tapi karena hatiku sedang gembira, biar aku yang traktir makan siang. Ada yang ingin aku ceritakan,” ungkap Hendrik sambil mengambil paksa selimut Dion.
Dion yang tak ingin mengecewakan sahabatnya lalu bangkit duduk. Setelah mengusap matanya dan kembali memeriksa jam dinding ia pun berdiri.
“Mendengar kata traktir, aku kok jadi lapar, ya?” ujar Dion tersenyum.
“Dasar kau!” gerutu Hendrik lalu melemparkan selimut yang tadi ia serobot ke arah sahabatnya itu. Dion menangkap selimut itu dan melipatnya sebelum memasuki kamar mandi untuk membersihkan diri.
Dion telah menyelesaikan mandi dan sedang berpakaian ketika dikagetkan oleh suara gaduh dari depan kamarnya.
“Mana si tukang tenung itu? Mana anak penipu itu? Suruh dia keluar!” pekik seorang pria dengan suara lantang.
Dion yang tidak mengenali suara pekikan itu segera keluar dari kamar mandi tanpa sempat merapikan rambutnya. Di depan pintu kamar Hendrik terlihat berusaha menenangkan beberapa orang pria yang hendak memaksa masuk ke kamar.
Dion pun keluar menemui mereka. Ia kaget melihat pamannya Ruben, Effendi, ayah Yuna beserta empat pria yang dua diantaranya dikenali Dion sebagai orang sekampung sudah berada di depan kamar.
“Oh, Bapak datang?” sapa Dion pada Ruben. Pria paruh baya bertubuh jangkung itu menatap heran pada Dion. Ia hampir tak mengenali pemuda jangkung berotot itu yang adalah anak dari almarhum adiknya sendiri.
Butuh waktu beberapa saat bagi Ruben untuk meyakinkan dirinya bahwa pemuda itu adalah keponakannya. Sudah enam tahun ia tak bertemu dengan Dion. Terakhir kali bertemu adalah ketika Dion masih duduk di kelas dua SMK.
Di tahun ketiga, Ruben memang sempat mendatangi sekolah Dion untuk memenuhi panggilan soal administrasi yang tertunggak, tapi waktu itu ia langsung menemui kepala sekolah dan tak menemui Dion.
Dion yang sekarang tampak berbeda dengan Dion yang ia kenal dahulu. Bukan saja kini Dion jauh lebih jangkung, keponakannya itu juga tampak cerah dengan kulit kuning langsat. Dahulu, Dion berkulit legam karena terbakar matahari, kurus dan dekil tak terurus.
“Ini kau Dion?” tanya Ruben meyakinkan dirinya. Bagaimanapun tak menyukai pemuda itu, hati kecilnya tak bisa membantah Dion adalah anak dari adik kandungnya, yang berarti sedarah dengannya.
“Iya ini aku, Bapatua!” sahut Dion sambil menatap pamannya itu.
Dion ingin melepas sedikit rasa rindu dengan menanyai kabar paman dan keluarga di kampung. Tapi Effendi sudah menyergap kerah t-shirt-nya.
“Kenapa tega sekali kau guna-gunai si Yuna? Apa salahnya? Apa salah kami padamu?” hardik Effendi sambil menarik kerah kaus Dion kuat-kuat.
Dion kaget mendengar tuduhan yang diteriakkan Effendi padanya. Dion memegangi tangan Effendi yang mencengkeram t-shirt-nya dengan kuat.
“Tenang lah, Tulang. Aku tak mengguna-gunai siapapun,” Dion berusaha menenangkan Ayah Yuna. Dion terpaksa mengerahkan tenaganya untuk melepas tangan Effendi dari kerah kaus karena cengkeraman itu mulai membuatnya merasa tercekik.
“Sabar lah, Tulang,” pinta Dion kembali ketika akhirnya berhasil melepaskan tangan Effendi dari kerahnya.
Tapi baru berhasil melepaskan diri dari Effendi, sebuah tangan kembali mendorongnya dan kemudian mencekik leher Dion. Dorongan itu membuat Dion tersandar ke dinding. Kesempatan itu digunakan penyerangnya untuk mempererat cekikannya.
Merasa tak punya jalan lain, Dion membela diri. Ia meluncurkan pukulan ke arah penyerangnya, langsung menyasar ulu hati dengan tangan kiri. Pukulan itu membuat penyerangnya terhenyak dan terduduk di tanah.
Pria berbadan buntal dan berkulit hitam legam, Ojak, dikenal sebagai jagoan di kampung Dion. Pukulan di ulu hati membuat napasnya sesak. Ia ingin menjerit oleh rasa sakit tapi tak mampu mengeluarkan suara. Ia hanya bisa memegangi ulu hati sambil bergulingan di tanah.
Pria kedua ikut menyerang Dion yang masih tersandar di dinding. Dia adalah Marudut atau biasa dipanggil Bang Udut, sahabat karib Ojak. Kepada orang-orang sekampung, ia mengaku sebagai ahli bela diri. Sejenak Marudut memainkan jurusnya sebelum melancarkan tendangan rendah ke arah Dion.
Melihat tendangan itu lemah, lambat dan tak berbahaya, Dion hanya menepisnya dengan tangan kiri. Setelah tendangannya gagal, Marudut mendekat dan melancarkan dua pukulan ke arah dada dan wajah Dion.
Dion yang sudah terbiasa menghadapi serangan seperti itu hanya menggeser bahu dan menarik mundur kepalanya sambil berputar 90 derajat dan pada waktu yang bersamaan meluncurkan cross kanan dengan cepat.
Ketika kedua pukulan Marudut tadi luput, jagoan kampung itu mengangkat tangan dan bersiap meluncurkan pukulan ketiga. Pandangannya tetap tertuju pada Dion yang memutar sambil menggeser bahu tapi tangannya sendiri di depan wajah menghalangi pemandangan dan tak sempat melihat serangan kilat yang dilepaskan Dion.
Marudut tak sempat memahami apa yang terjadi ketika merasakan pukulan keras di wajahnya bak hantaman godam besi. Kepalanya sampai tersentak ke belakang. Sentakan itu membuat badannya goyah menyusul Ojak, tersungkur di tanah.
Dengan perasaan bingung, Marudut meringis sambil mencari tahu apa yang telah terjadi padanya. Ia menyentuh hidungnya yang berdenyut hebat tapi lalu merasakan cairan dingin, kental dan asin mengaliri bibir. Ia kaget menyadari darah mengalir deras dari kedua lubang hidung.
Melihat dua orang temannya telah tumbang, seorang pemuda yang datang bersama rombongan berusaha melibatkan diri. Tapi gerakannya kalah cepat karena Hendrik telah memegangi pergelangan tangan kiri sementara tangan kanan Hendrik telah menekan punggung kirinya.
“Diam kau! Berani bergerak sedikit saja, patah tanganmu ini,” ancam Hendrik pada pemuda yang mengenakan kaus kuning dan berkepala plontos itu.
“Aih, apa maksud kalian. Datang-datang berteriak menuduhku melakukan guna-guna dan menyerang dengan kekerasan?” tanya Dion sambil menatap ke arah pamannya dan ayah Yuna yang masih kaget karena dalam beberapa detik saja dua orang suruhannya sudah tersungkur di tanah.
“Kau… kau telah mengguna-gunai anakku Yuna sampai hampir mati dan hampir gila!” seru Effendi dengan bibir bergetar sambil menunjuk ke arah Dion.
Dion yang bingung dan penasaran dengan tuduhan itu ingin meminta penjelasan lebih lanjut. Tapi ia belum sempat memberikan pertanyaan, Ojak yang sudah bisa menguasai diri kembali bangkit berdiri dan berusaha menyerang Dion dengan tangan terkepal.
Dion mulai kesal. Ia menapaki serangan itu dengan hook kiri dan kanan beruntun dan cepat. Hook kanan menghantam rahang kiri Ojak sementara hook kiri menghajar mata kanannya, membuat Ojak kembali tersungkur. Kali ini tak berkutik lagi alias pingsan.
Sementara itu, pemuda yang berada dalam penguasaan Hendrik berusaha melepaskan diri dengan menarik tangannya. Tapi fatal, Hendrik yang tak mengendurkan perhatian, menghentak tangan itu sambil menekan keras pundak lawannya.
“Kraak!”
Terdengar suara pertanda lengan bagian atas terlepas dari sendi bahu membuat pemuda itu menjerit keras terduduk di tanah.
“Aku sudah ingatkan jangan bergerak. Kalau kau tak diam, kupatahkan yang satu lagi!” ketus Hendrik sambil menekankan kaki kanannya ke bahu kanan pemuda itu.
“Orang-orang bodoh! Kalian tak tahu berhadapan dengan siapa. Kalau mau berhadapan dengan kami jangan bawa empat keroco loyo begini. Bawa 10 tukang pukul yang benar-benar profesional,” lanjut Hendrik memandang ke arah Effendi sambil terus menekankan kaki kanannya ke pundak pemuda yang meringis kesakitan di depannya.
“Kalian bisa pergi dan kembali lagi dengan membawa orang lebih banyak. Atau kita bicara baik-baik sekarang. Itu pilihan kalian,” ketus Dion pada Effendi, kali ini tanpa nada sopan.
“Hei Kau! Jauhkan tanganmu dari pisau di pinggang. Kecuali benda itu adalah pistol, jangan berpikir kau punya kesempatan. Dalam satu menit, pisau itu akan menancap di lehermu. Artinya dalam satu menit kau mati. Mengerti kau?” bentak Dion sambil menatap marah kepada pemuda terakhir yang mengenakan jaket hitam.
Mendengar bentakan dan melihat tatapan marah Dion, nyali pemuda itu menjadi ciut. Ia menurunkan tangannya.
“Serahkan pisaumu kalau mau keluar dari sini dalam keadaan baik-baik,” tegas Anto, penjaga indekos. Ia dan beberapa penghuni telah berkumpul dan tampaknya siap melawan kelompok yang menyerang kos-kosan mereka.
Melihat pria yang datang memegang kelewang panjang, pemuda itu tak punya pilihan. Ia menyerahkan pisau yang tersimpan dalam sarung kulit berwarna hitam kepada Anto.
“Andai kata pun kalian berhasil menghabisi aku, jangan harap bisa melewati perbatasan kota ini dengan aman,” ketus Dion kemudian.
“Iya. Berdoalah, polisi terlebih dahulu menemukan kalian. Kalau tidak ratusan petinju dan pegulat akan membuat kalian semua pulang dalam keadaan tak dikenali. Dan pastinya, tak bernyawa lagi,” timpal Hendrik memberi gertakan.
“Sudahlah Amang! Tak ada yang berniat menghabisimu. Kita bicarakan dengan baik-baik. Iya kan, Lae Effendi?” bujuk Ruben pada Dion dan Effendi.
Tapi ayah Yuna itu hanya diam, menatap orang-orang suruhannya. Tiga sudah terkapar, yang tersisa malah sudah dilucuti.
“Heh orang tua! Harusnya aku panggil kau ‘Tulang’ dengan sopan, tapi sikap bodohmu ini tak pantas mendapatkan hormat layaknya orang tua. Sekarang putuskan, kalian pergi dari sini atau kita bicara baik-baik!” Dion kembali mengeluarkan bentakan. Kali ini kepada Effendi, ayah Yuna.
Ruben kaget setengah mati mendengar hardikan tegas keponakannya. “Jelas ini bukan Dion yang sama lagi,” pikir paman Dion itu.
Effendi tak kalah kaget mendengar bentakan itu. Selain nyalinya menjadi ciut, gertakan Dion juga memaksanya mengeluarkan kata-kata.
“Maafkan tulang-mu ini, Bere! Kami kehilangan akal sehat. Yuna sedang sakit. Orang pintar bilang dia sedang diguna-gunai. Tolonglah, lepaskan dia dari guna-guna itu,” kata Effendi sambil meneteskan air mata.
Bere adalah sebutan untuk keponakan/keponakan dalam bahasa Tapanuli.
“Kita bicarakan baik-baik saja, Amang!” timpal Ruben berusaha meredakan amarah Dion.
Melihat tetesan air mata dari pria yang dulu ia hormati itu, hati Dion luluh juga. Untuk beberapa saat semua saling diam. Hanya Hendrik yang membentak mengingatkan pemuda yang berada dalam penguasaannya agar diam tak terus-terusan mengerang.
“Guna-guna, ya? Sepertinya aku tahu apa yang telah terjadi. Di depan ada rumah makan, kita bicara di sana saja,” ujar Dion kepada Effendi dan Ruben pamannya. Kedua orang tua itu mengangguk tanda setuju.
“Bagaimana dengan dia?” tanya Ruben sambil menunjuk ke arah Ojak yang masih tergeletak di tanah.
“Dia tak apa-apa. Hanya pingsan saja,” jelas Dion. Ia masuk ke kamarnya dan kembali dengan membawa segelas air.
Dion memercikkan air ke wajah Ojak dengan jari-jari. Setelah beberapa saat, pria gempal itu pun membuka mata dan menggoyang-goyang kepalanya karena masih merasa pusing.
“Kau! Bantu dia. Jangan berdiri bengong saja,” ketus Dion pada pemuda mengenakan jaket yang pisaunya tadi dilucuti.
“Iya… iya, Bang!” sahutnya bergegas membantu Ojak berdiri.
“Kawan-kawan. Sekarang kami akan berbicara baik-baik. Terima kasih atas dukungannya. Tak baik bila terus berkumpul begini, sebaiknya kembalilah ke kamar masing-masing!” seru Anto kepada para penghuni indekos meminta mereka membubarkan diri.
“Lastri dan Tuti ada di kamarnya, Pak?” tanya Dion pada Anto.
Penjaga itu belum sempat menjawab, ketika seorang penghuni menyahut.“Ada, Bang. Mereka di kamarnya tadi.”
“Pak Anto tolong panggilkan Lastri dan Tuti. Bawa mereka menemui kami di rumah makan depan sana. Bilang ini masalah penting karena menyangkut Yuna yang sedang sakit keras. Aku yakin mereka ada kaitannya dengan masalah ini, dan tak boleh berpangku tangan atau lari dari tanggung jawab,” ucap Dion kepada Anto dengan suara keras membuat kalimat itu juga di dengar para penghuni indekos lainnya.
Dion lalu mengajak tamu tak terhormatnya menuju rumah makan yang berada di depan lapangan olahraga dan persimpangan jalan menuju kos Dion.
Dion dan Hendrik didampingi tiga orang penghuni yang sering bercengkerama dan bernyanyi bersama Dion. Sementara itu Ruben berjalan memapah Udut yang memegangi hidungnya yang masih berdarah.
Ojak dipapah oleh pemuda berjaket hitam sementara Effendi berjalan bersama pemuda lainnya yang berjalan meringis sambil memegangi bahu yang mengalami dislokasi.
Sesampainya di rumah makan, Dion meminta pelayan menyatukan tiga meja agar semua orang bisa duduk dalam satu kelompok. Pelayan itu tampak senang memenuhi permintaan Dion. Maklum hari itu adalah Minggu, rumah makan sepi karena kampus libur.
Dion meminta pelayan rumah makan menyediakan es yang dihancurkan dan dibungkus plastik. “Harus dibungkus, Bang, karena akan dipakai untuk mengkompres bukan untuk diminum,” jelas Dion pada pelayan itu.
Ia juga meminta seorang penghuni indekos untuk membelikan kain kasa dan gunting dari apotek yang berada tak jauh dari rumah makan itu.
“Bang Udut, duduklah tegak tapi sedikit condong ke depan. Pencet hidungnya pelan saja dan bernapas lewat mulut. Jangan biarkan darahnya tertelan atau melewati tenggorokan karena bisa membuat Bang Udut mual dan muntah-muntah. Aku sudah pesan es untuk mengkompres,” ujar Dion pada Udut yang masih berusaha menghentikan darah yang keluar dari hidungnya.
“Seka darah yang keluar dengan tisu ini. Aku sudah suruh beli kasa tadi. Nanti kita balut,” sambung Dion sambil menyodorkan tisu kepada Marudut.
“Percaya saja sama dia. Si Dion ini pelatih tinju, dia sudah sering menangani hidung berdarah,” timpal Hendrik. Kata-kata Hendrik membuat semua yang duduk di meja kaget.
“Pantas saja dia dengan mudah menghajar si Udut dan si Ojak,” pikir Ruben dalam hati. Sementara itu Marudut menegakkan duduknya dan mengikuti saran Dion.
Kemudian Hendrik mendekati pemuda berkepala plontos yang terus meringis kesakitan. “Jangan takut. Bahumu cuma dislokasi alias lenganmu keluar dari tempatnya. Aku bisa mengembalikannya. Kau bisa tahan sakit nggak?” tanya Hendrik.
Pemuda itu tampak ragu apalagi diminta menahan rasa sakit.
“Jangan takut, dia ini namanya Hendrik. Tanya pada semua atlet gulat di provinsi ini, pasti kenal karena dia adalah pelatih gulat,” jelas Dion kembali membuat kaget semua yang duduk bersama di meja itu.
“Baiklah, Bang. Tapi kembalikan pelan-pelan, ya,” pinta pemuda plontos itu.
“Aku akan pelan-pelan. Tak akan terasa. Aku hitung sampai tiga, siap-siap. ya,” kata Hendrik bersiap di belakang pemuda itu.
Hendrik lalu memulai hitungannya. Tapi baru hitungan pertama, Hendrik sudah menghentak dorongan dari bawa ketiak pemuda itu. Hentakan itu membuat si plontos kembali menjerit keras membuat para pelayan rumah makan ikut menoleh ke arah mereka.
Tapi ia menjadi malu, teriakannya ternyata berlebihan. Rasa sakitnya hanya sepersekian detik.
“Maaf, aku menipumu. Itu kami lakukan agar mendapatkan hasil terbaik. Sekarang coba gerakkan bahu dan tanganmu. Pasti sudah bebas bergerak. Mungkin masih sedikit sakit, tapi jangan takut akan hilang secara perlahan,” jelas Hendrik.
Si plontos yang tadi meringis kemudian coba menggerak-gerakkan bahu dan tangannya. Ia kaget dan heran karena menyadari tangannya sudah bisa bergerak bebas, meskipun masih terasa sedikit nyeri seperti ucapan Hendrik.
“Terima kasih, Bang!” katanya pada Hendrik. Ia memanggil Hendrik dengan panggilan abang meskipun yakin usia Hendrik jauh lebih muda darinya.
“Sekarang kita di sini bicara baik-baik. Nah, coba Tulang ceritakan apa yang terjadi dengan Dik Yuna,” ujar Dion kepada Effendi.
Effendi pun menceritakan tiga minggu lalu Yuna mendadak pulang ke kampung ketika merasa sakit dan tak bisa tidur meskipun saat itu minggu ujian semester genap.
“Beberapa bulan lalu Yuna mengaku pernah melihat sesosok makhluk wanita di dalam kamar Dion membuatnya ketakutan. Tapi hanya sekali saja. Hingga sebulan lalu, wanita itu kembali muncul tapi dalam mimpinya,” tutur Effendi.
“Wanita itu mengenakan kemeja putih dan rok hitam. Rambut melewati bahu dan darah terus menetes dari mulut mengalir ke kemeja putihnya,” Effendi melanjutkan ceritanya.
“Setelah beberapa saat wanita itu berhenti muncul di mimpinya. Tapi digantikan oleh dua makhluk aneh. Keduanya berbadan hitam legam, tinggi dan hanya memiliki satu mata dan selalu berbisik mengancam. Yuna ketakutan sampai tak bisa tidur karena takut makhluk itu mendatanginya di dalam mimpi,” papar Effendi membuat yang mendengar bergidik.
“Karena ketakutan, ia jatuh sakit dan pulang ke kampung. Kami coba membawanya berobat ke orang pintar tapi keadaannya tambah parah. Kedua mahluk itu tak cuma muncul di mimpi tapi juga pada setiap kesempatan, seperti di kamar mandi, di dapur atau di tempat tidur.”
“Orang pintar itu lalu mengatakan bahwa seseorang sedang mengguna-gunai Yuna,” lanjut Effendi kembali meneteskan air mata.
“Apa orang pintar itu kemudian menyebutkan namaku?” tanya Dion.
“Sebenarnya tidak. Katanya ia tak mampu mencari tahu siapa pelakunya dan menyarankan kami mencari orang yang lebih sakti.”
“Kami mencoba menanyakannya langsung pada Yuna, tapi anakku itu tak mau menjawab. Hanya sesekali ketika tertidur dia mengigau dan menyebut namamu, Dion.”
Mendengar pemaparan itu, Dion hanya menghembuskan napas panjang sambil menggeleng-gelengkan kepala.
“Begini Tulang, aku tak percaya dan tak pernah terlibat dengan guna-guna. Andai pun itu terjadi pada Yuna, bukan aku pelakunya,” ucap Dion sambil menatap serius kepada Effendi yang duduk berdampingan dengan Ruben di depannya.
“Tadi aku sudah meminta mereka membawa dua orang teman dekat Yuna kemari. Aku percaya mereka bisa menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi pada Yuna. Jadi kita tunggu saja sedikit,” tambah Dion.
Effendi yang tak memiliki pilihan lain hanya bisa mengangguk.
Pembicaraan itu terhenti ketika pelayan mengantarkan dua bungkusan plastik berisi es yang telah dihancurkan.
“Bang, kami akan pesan makanan beberapa saat lagi, ya. Kami sedang ada pembicaraan, lagipula kami sedang menunggu tamu lain. Pasti kami akan makan siang di sini. Sekarang kami pesan minuman saja. Aku pesan kopi, silakan tanya yang lainnya, aku yang bayar,” ujar Dion kepada pria pemilik rumah makan yang merangkap sebagai pelayan.
“Oh, tak apa-apa, Bang Dion. Seperti orang baru saja Abang ini,” sahutnya. Mereka memang sudah mengenal Dion yang sering makan siang di tempat itu. Pria lalu menanyakan pesanan minuman pada tamu-tamu lainnya.
Sementara itu Ruben kembali menatapi keponakannya. Meskipun Dion lebih mirip ibunya, tapi sedikit-banyak Dion juga memiliki kemiripan dengan Benjamin adiknya.
“Caranya menatap. Caranya marah dan membentak orang sangat mirip dengan Benji. Ia juga sama bernyalinya dengan adikku,” pikir Ruben yang merindukan adik yang diyakininya telah meninggal dua puluh tahun lalu. Benji adalah nama kecil atau nama panggilan Benjamin, ayah Dion.
“Ini esnya. Tapi kompresnya lima menit lagi saja. Terus tekan secara perlahan,” jelas Dion sambil menyodorkan es pada Udut. Dion juga menyerahkan es kedua kepada Ojak.
“Kompres pakai ini, Bang. Kalau tidak mata Abang akan bengkak. Kompres juga rahangnya biar gusi tak sakit berdenyut. Kalau masih sakit, nanti beli pereda sakit saja di warung,” jelasnya lagi kepada Ojak. Jagoan kampung itu menerima sodoran Dion dan mengucapkan terima kasih.
Dion juga menerima bungkusan berisi kain kasa dan gunting yang baru dibelikan oleh salah satu penghuni indekos. Dion menggunting kecil kain kasa itu dan membentuk gulungan-gulungan kecil.
“Sekarang hidungnya sudah bisa dikompres. Masukkan gulungan ini ke hidung supaya darahnya terserap di sini. Kalau sudah penuh, ganti dengan gulungan lain. Kalau gulungan habis, ya bikin sendiri saja,” tambah Dion menyodorkan gulungan kecil kain kasa itu pada Udut beserta plastik berisi kain kasa dan gunting.
Tindakan Dion dan Hendrik tentu saja memunculkan rasa simpati dari keempat tukang pukul itu. Bagaimana pun juga, mereka sangat menghargai tindakan Dion dan Hendrik yang masih sportif dan rela merawat mereka setelah diserang tiba-tiba.
Rasa simpati tak hanya muncul pada para tamu Dion, tapi juga ketiga pemuda seindekos Dion. Mereka kagum bagaimana Dion sangat tenang menghadapi kejadian itu. Kini bahkan Dion sudah bisa mengendalikan situasi dan masih sempat merawat musuh yang menyerangnya.