Kisah ini menggambarkan perjalanan cinta Alan Hamdalah, seorang pria sederhana dari Cilacap, dengan Salma, gadis yang telah menjadi bagian penting dalam hidupnya sejak masa SMA. Hubungan mereka yang penuh kenangan manis harus diuji oleh jarak, waktu, dan perbedaan latar belakang keluarga.
Setelah bertahun-tahun berjuang demi masa depan, Alan kembali ke Cilacap dengan harapan melamar Salma di hari wisudanya. Namun, takdir berkata lain. Alan mendapati Salma menerima lamaran pria lain, pilihan keluarganya, di momen yang seharusnya menjadi hari bahagia mereka. Cerita ini menyelami perasaan kehilangan, pengorbanan, dan penerimaan. Meski hatinya hancur, Alan belajar merelakan cinta yang telah lama diperjuangkan. Dengan hati yang penuh luka, ia mendoakan kebahagiaan Salma, meskipun ia sendiri harus menghadapi kenyataan pahit. Sebuah narasi tentang cinta yang tak selalu berakhir bahagia, namun sarat makna kehidupan.
Setelah pertemuannya dengan Salma berakhir tragis, Alan mencoba untuk melanju
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ibnu Hanifan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Masa Lalu Kembali Ke Rumah
Sore itu, setelah seharian di kampus, aku pulang dengan penuh kebahagiaan memikirkan betapa indahnya rencana pernikahanku dengan Monika. Saat memasuki halaman rumah, aku terkejut melihat lampu ruang tamu menyala, padahal ibu biasanya baru menyalakan lampu saat malam menjelang. Aku membuka pintu, dan di sana, di kursi ruang tamu, duduklah seseorang yang tidak pernah aku sangka akan melihatnya lagi. Wanita itu adalah Salma.
Dia tampak anggun seperti dulu, mengenakan gaun sederhana namun terlihat cantik di tubuhnya. Dia juga mengenakan kerudung hitam yang membingkai wajahnya yang cantik namun terlihat penuh kecemasan. Kehadiran Salma disini membuat hatiku merasa cemas. Aku menghentikan langkahku, mencoba memahami situasi.
"Salma? Kenapa kamu di sini?" tanyaku dengan nada dingin.
Dia menoleh dengan senyum kecil yang terlihat dipaksakan. "Aku menunggu Mas Alan. Aku...ada yang ingin aku bicarakan sama Mas"
Aku mendesah berat. "Tidak ada yang perlu untuk Kita bicarakan lagi. Hubungan kita sudah selesai sejak lama, Salma. Sekarang kamu istri orang. Apa yang kamu lakukan di sini?, Sungguh tidak pantas"
Salma berdiri, berjalan mendekat dengan ekspresi penuh harap. "Mas, aku butuh waktu sebentar saja. Aku mohon, dengarkan aku. Aku tidak tahu harus ke mana lagi. Aku hanya ingin..."
Aku memotongnya dengan tegas. "Salma, kita sudah punya jalan masing-masing. Kamu punya suami. Kalau ada masalah, selesaikan dengan dia, bukan denganku."
Air mata mulai menggenang di matanya. "Mas Alan, aku tahu aku salah. Aku tahu aku yang menghancurkan semuanya. Tapi aku ingin memperbaikinya. Aku akan bercerai dari Mas Afif. Aku sadar, aku masih mencintaimu. Tolong, beri aku kesempatan."
Kata-katanya seperti tamparan keras. Aku berusaha tetap tenang, meskipun hatiku mulai merasa risih. "Salma, dengar. Aku tidak lagi mencintaimu. Semua sudah selesai. Sebentar lagi aku akan menikah dengan Monika, dan aku bahagia dengannya. Tolong jangan ganggu kehidupanku lagi."
Salma mendekat, mencoba meraih tanganku. "Mas, aku mohon... aku tidak bisa hidup tanpamu. Aku tahu aku salah memilih Mas Afif dulu. Aku pikir Aku bisa mencintainya setelah menikah dengannya, tapi ternyata aku salah, Cintaku masih tetap untukmu."
Aku menarik tanganku dengan tegas. "Salma, berhenti! Kamu tidak punya hak untuk datang ke sini dan meminta hal seperti ini. Kamu tahu statusmu, kan? Kamu masih sah sebagai istri Afif!"
Wajahnya berubah menjadi penuh putus asa. "Tapi aku akan segera bercerai! Aku hanya ingin kita kembali seperti dulu. Aku tahu kamu masih mencintaiku, Mas Alan. Aku bisa merasakannya."
Aku merasa amarah mulai menguasai diriku. "Salma, dengarkan aku baik-baik. Aku tidak mencintaimu lagi. Perasaanku untukmu sudah mati sejak kamu memilih menikah dengan orang lain. Aku mohon, pergi dari sini sebelum kamu menghancurkan segalanya."
Salma menolak menyerah. Dia malah duduk di sofa, menolak bergerak meskipun aku memintanya berkali-kali. Aku mulai kehilangan kesabaran. "Salma, kalau kamu tidak pergi, aku akan memanggil orang untuk mengeluarkanmu dari sini."
Dia tetap tak bergeming, malah mulai menangis terisak-isak. "Mas Alan, tolong... aku tidak punya siapa-siapa lagi."
Aku menarik napas panjang, mencoba menahan emosi. "Baiklah, kalau kamu tidak mau pergi, aku yang akan memaksamu."
Aku mendekatinya dan memegang lengannya, mencoba membawanya keluar. Salma berusaha melawan, meronta-ronta, tapi aku tidak peduli. Aku membuka pintu dan mendorongnya perlahan keluar dari rumah.
"Salma, aku mohon, hentikan ini. Jangan rendahkan dirimu sendiri," kataku dengan nada yang lebih lembut, mencoba membuatnya sadar.
Tapi Salma tetap tidak mau menyerah. Dia berdiri di depan pintu, mengetuk tanpa henti. "Mas Alan! Buka pintunya! Tolong, aku hanya ingin bicara!"
Aku tetap bertahan di balik pintu, tidak membuka, tidak mengatakan apa-apa. Aku tahu, semakin aku meladeninya, semakin besar harapannya. Aku duduk di sofa, menutup wajahku dengan kedua tangan, berharap semua ini segera berakhir.
Beberapa menit berlalu, ketukan pintu dan suara Salma akhirnya berhenti. Aku mengintip dari jendela, melihatnya berjalan pergi dengan langkah gontai. Saat itu aku merasa lega, meskipun ada sedikit rasa bersalah. Tapi aku tahu, aku tidak bisa membiarkan diriku terjebak di masa lalu.