Dalam hidup terkadang kita tidak bisa memaksakan kehendak meskipun ingin. Rasa ingin memiliki yang begitu besar harus mengalah pada takdir dan kenyataan yang tidak sejalan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sri_1987, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
29
Reyna menolak tawaran Sherin dengan alasan masih mengoreksi pekerjaan anak-anak. Reyna merasa tidak pantas untuk menerima kebaikan Sherin setelah apa yang dirinya lakukan di belakangnya selama ini.
Hanya beberapa bulan memang, Reyna dan Dimas kembali merajut kasih. Tetapi tetap saja membuat Reyna tidak bisa mengangkat kepala dengan tegak di depan Sherin.
Sherin masih mau berbaik hati padanya karena belum tahu perselingkuhan mereka. Setelah dia tahu, wanita cantik berhati lembut itu pasti akan marah dan merasa sangat kecewa.
Siapa yang tidak akan marah dan sakit hati jika orang yang selama ini sudah dianggapnya seperti saudara, berbuat curang dengan menjalin kasih dengan suaminya.
Bahkan Reyna juga sempat memberi pilihan pada Dimas, untuk memilih salah satu dari mereka berdua Reyna dan Sherin. Terlalu kejam, bukan?
Walaupun dengan latar belakang mereka yang memang saling mencintai, tetap saja tidak akan mengurangi sakit hati yang Sherin rasakan.
Menghindari Sherin adalah jalan yang tepat. Reyna memutuskan menjauh dari Sherin dan keluarganya. Dia juga akan membatasi interaksinya hanya saat mereka bertemu di sekolah saat dia menjemput Vania.
Selebihnya Reyna akan berusaha menghindari pertemuan dengan mereka. Bukan ingin memutus tali silaturahmi, bukan! Reyna hanya tidak ingin terus- menerus terbebani dengan memendam perasaan yang dalam pada suami orang.
Menjaga jarak dengan Dokter Irfan juga akan Reyna lakukan. Ia tidak bisa terus berhubungan dengan Dokter Irfan tanpa melibatkan keluarganya yang tentunya ada Sherin dan Dimas di dalamnya.
Nanti, jika Dokter Irfan menyinggung tentang perasaan yang pernah diungkapkannya sepulang dari acara Kakak sulungnya dulu, Reyna akan memberi jawaban yang tegas dan pasti.
Reyna tidak akan memberinya harapan lagi. Dokter Irfan terlalu baik untuk dibohongi.
Tetapi sesudah itu, sampai sekarang Dokter Irfan tidak pernah menyinggung lagi soal itu. Apakah dia lupa?
Reyna berharap semoga dia lupa. Bisa saja Dokter Irfan sudah menemukan orang yang lebih tepat untuk.tempat hatinya berlabuh.
Bukankah sebagai seorang Dokter, di sekelilingnya banyak rekan dokter, perawat yang lebih pantas untuk bersanding dengannya dibandingkan dengan Reyna yang hanya seorang pengajar di Taman Kanak-kanak. Reyna berharap Dokter Irfan mendapatkan jodoh yang sepadan dengannya.
Bukannya Reyna merasa rendah diri, tapi pengalaman kisahnya bersama Dimas yang membuatnya bisa berpikir demikian.
Keluarga Dimas dan keluarga Dokter Irfan tidak jauh berbeda. Mereka setara. Jelas bagaikan bumi dan langit bila dibandingkan dengan keadaan Reyna.
Reyna hanya anak dari seorang janda yang hidupnya hanya mengandalkan uang sewa dari kios yang dimilikinya di pasar kota. Ditambah dengan gaji Reyna sebagai guru TK yang tidak seberapa.
Bukankah lebih baik berhati-hati sebelum melangkah daripada harus merasakan kembali sakitnya akibat penolakan.
Tapi jika dilihat dari sambutan keluarga Dokter Irfan saat pertemuan pertama mereka, mungkin saja mereka berbeda dari keluarga Dimas.
Reyna merasa diterima masuk dalam lingkup pergaulan mereka tanpa ada keramahtamahan yang sengaja dibuat-buat. Seperti Papa dan Mama Dimas.
Sebelumnya, Reyna merasa diterima di tengah-tengah mereka. Sambutan mereka hangat setiap kali Reyna datang bersama Dimas. Tapi nyatanya, Reyna merasa dijatuhkan dengan telak setelah diterbangkan begitu tinggi.
Sakit..... Sakit sekali.
Reyna tidak akan mengulang kesalahan yang sama dengan mencoba masuk ke dalam keluarga yang tingkat ekonominya jauh di atasnya.
Reyna baru menyadarinya sekarang jika sosok Dimas Anggara dan Dokter Irfan tidak terjangkau. Apalagi jika mereka tahu kisah perselingkuhan Reyna dengan Dimas, tentu mereka tidak segan-segan untuk menutup pintu.
"Mbak Reyna yakin sudah benar-benar sehat?" Sherin kembali mengajaknya duduk di bangku taman, "Wajah Mbak Reyna benar-benar pucat lho."
Reyna mengulas senyum melihat kekhawatiran di wajah Sherin.
'Lihatlah, betapa baiknya dia! Wanita seperti itulah yang aku sakiti dengan mencoba merebut miliknya. Maafkan aku Ya Allah....'
Reyna bermonolog di dalam hati. Dia merasa menjadi pemeran antagonis setiap kali bersama Sherin.
"Aku nggak apa-apa. Terima kasih sudah khawatir, " Reyna menggenggam tangannya yang halus.
Setitik air mata Reyna jatuh. Ia menyekanya dengan cepat. Sherin pasti bertanya-tanya kenapa Reyna tiba-tiba menangis di depannya.
'Aku menyesal, Sherin. Maafkan aku!'
Reyna hanya bisa berkata dalam hati. Tidak bisa mengungkapkan isi hati yang sebenarnya pada Sherin. Dia merasa tidak siap jika Sherin berbalik membencinya. Reyna sebisa mungkin akan tetap merahasiakannya. Biarlah hatinya yang terus berkata maaf untuknya.
"Mbak Reyna ada masalah? Bisa cerita kok kalau Mbak nggak keberatan," suara lembut Sherin seakan menambah beban dosa dalam hati Reyna. "Berbagi cerita bisa memperbaiki suasana hati. Mbak Reyna pasti akan merasa lebih baik!"
Bagaimana Reyna bisa bercerita?
Jika air mata yang keluar dari sudut matanya adalah air mata penyesalan karena telah menjadi orang ketiga diantara dia dan suaminya. Bahkan sempat berniat untuk membuat Dimas menjadi miliknya saja?
Reyna menggeleng, menarik nafas dan menghembuskannya perlahan, "Hanya masalah kecil, masih dapat aku atasi sendiri."
"Mbak Reyna yakin?"
"Maaf ya! Aku nggak bisa cerita. Untuk sekarang aku bisa mengatasinya sendiri. Nanti jika aku rasa sudah nggak kuat, aku akan membaginya denganmu."
Sherin tersenyum, menatapnya semakin membuat hati Reyna tercubit. "Tapi Mbak Reyna beneran udah sehat?beneran nggak mau aku antar ke dokter?"
"Nggak usah," Reyna kembali menolak.
"Ada hubungannya dengan Om Irfan?" Sherin mencoba menerka kembali, "Om Irfan terlalu sibuk ya, Mbak? Nggak ada waktu buat Mbak Reyna?"
Reyna tertawa lirih mendengar spekulasi Sherin. Terdengar lucu di telinga. Reyna bukanlah anak ABG yang sedih karena tidak mendapatkan perhatian dari pacarnya karena sibuk.
"Nggak ada hubungannya sama Mas Irfan kok, Rin. Kami baik-baik saja."
Sherin menatap Reyna prihatin.
Apakah tatapannya akan tetap sama jika dia sudah tahu tentang rahasia yang Reyna sembunyikan? Reyna dan suaminya, lebih tepatnya. Bisa jadi tatapannya akan berbalik menjadi tatapan kebencian.
"Sudah, aku nggak apa-apa. Kasihan Vania menunggu sejak tadi. Kamu juga harus banyak istirahat, biar ibu dan bayinya sehat."
"Kalau ada apa-apa hubungi aku ya, Mbak!"
Reyna mengiyakan sembari tersenyum supaya Sherin tidak merasa khawatir lagi.
Reyna menatap kepergian Sherin dengan sejuta penyesalan dalam hatinya. Andai permintaan maaf bisa dengan leluasa Reyna ucapkan, mungkin dapat sedikit mengurangi rasa bersalah yang ia rasakan.
Bagaimanapun, menyimpan rahasia adalah suatu beban. Reyna hanya bisa berharap semoga rahasianya itu tetap tersimpan rapi tanpa ada yang mengetahui.
Mungkinkah?
Entahlah.... Yang jelas menjaga rahasia adalah seperti pedang bermata dua, bisa melindungi atau bahkan menyakiti seseorang. Apapun alasannya, Reyna harus bisa menerima konsekuensi ketika menyimpan rahasia.
'Tidak ada rahasia yang tidak diungkapkan oleh waktu.' (Jean Racine)
Reyna melangkahkan kaki ke gedung sekolah, saat gerimis mulai datang menyejukkan bumi.