Setelah kehilangan anaknya dan bertahun-tahun hidup dalam bayang-bayang penghinaan dari suami serta keluarganya, Amira memilih meninggalkan masa lalu yang penuh luka.
Dalam kesendirian yang terlunta-lunta, ia menemukan harapan baru sebagai ibu susu bagi bayi milik bukan orang sembarangan.
Di sana-lah kisah Amira membuang kelemahan di mulai.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon zenun smith, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Jangan Bergosip!
Sejak Tuan Arga pergi bersama Amira dan membawa serta Tuan Kecil, rumah terasa berbeda. Para pekerja rumah banyak membicarakan hal itu. Mereka heran, ini pertama kalinya Tuan Arga membawa anaknya keluar rumah. Tidak ada yang tahu ke mana mereka pergi.
Tapi satu hal yang membuat semua orang lega, akhirnya Tuan Arga terlihat menyentuh dan mengelus kepala anaknya. Biasanya, mereka seperti orang asing. Bukan berarti Tuan Arga kejam, dia hanya pria yang hidupnya berputar di antara kerja, pulang, lalu tidur. Itu saja.
Meski begitu, sebenarnya Tuan Arga sangat menyayangi anaknya. Hanya saja caranya menunjukkan kasih sayang selama ini lebih ke materi. Ia memberikan fasilitas mewah kepada Tuan Kecil.
Saat melihat beberapa pekerja berkumpul dan mulai bergosip, Pak Genta langsung berjalan mendekat dan berseru,
"Jangan bergosip!"
Mereka kaget dengan kedatangan Pak Genta yang tiba-tiba, dan juga berseru jangan bergosip. Mereka merasa apa yang bicarakan tidak buruk, karena memang bukan menghina, hanya heran dan kagum. Tak ada yang berani menjawab, hanya menelan kembali pembelaan di dalam hati yang sempat ingin dilontarkan.
Tidak lama setelah membubarkan gosip itu, Pak Genta mengumpulkan semua pekerja. Mereka berbaris rapi, seperti biasa saat akan diberi pengarahan atau digembleng.
Wajah-wajah yang tadi ditegur karena bergosip langsung pias, sementara yang lain tampak bingung, ada apa lagi ini?
Pak Genta berdiri tegak di depan barisan, lalu memulai pembicaraan.
"Di sini kalian dibayar untuk apa?"
Serempak mereka menjawab, "Bekerja, Pak."
"Kalau tahu tugas kalian bekerja, kenapa waktu dan tenaga dipakai untuk bergosip? Apalagi yang kalian bicarakan itu Tuan Arga. Tidak sepatutnya begitu."
Semua langsung diam. Tidak ada yang berani menatap mata Pak Genta. Wajah-wajah takut bermunculan, apalagi mereka yang tadi memang baru saja membicarakan Tuan Arga. Beberapa bahkan yakin tidak ketahuan, tapi tetap merasa tertampar. Teguran itu tepat sasaran.
"Apa kalian tahu bahaya dari berkumpul lalu membicarakan orang lain?"
Tidak ada jawaban. Semua diam.
Pak Genta lalu menunjuk salah satu dari mereka. Orang yang ditunjuk terlihat panik, tergagap-gagap seperti tidak tahu bahaya gosip. Ia sebenarnya ingin menjelaskan bahwa dia tidak mengatakan hal buruk tentang Tuan Arga, hanya kaget dan kagum melihat perubahan sikap Tuan itu terhadap anaknya. Tapi niatnya diurungkan. Ia tahu, membela diri sekarang hanya akan memperpanjang masalah.
Karena jawaban dari salah satu orang yang ditunjuk tidak memuaskan, Pak Genta mulai menjabarkan contoh bahaya bergosip.
"Baiklah, saya kasih contoh sederhana. Kalian tahu lagu band Armada yang judulnya Pemilik Hati?"
Mereka yang menunduk langsung menatap heran ke arah Pak Genta, perumpamaannya pakai sebuah lagu nih?
"Tahu, Pak," jawab mereka serempak.
"Coba nyanyikan bagian awalnya."
Mereka mulai bernyanyi.
"Lihat ku di sini... kau buatku menangis... ku ingin menyerah, tapi tak menyerah. Mencoba lupakan, tapi ku bertahan..."
"Stop." Pak Genta mengangkat tangan.
"Sekarang perhatikan, kita ambil kalimat pertama: lihat ku di sini. Kalau saya salah spasi jadi lihat kudis ini, apakah artinya tetap sama?"
Beberapa pekerja tidak bisa menahan cengiran. Mereka mulai menangkap maksud perumpamaan itu. Dalam hati, oh iya ya.
"Beda, tidak?"
"Beda, Pak."
"Coba kamu sebutkan penjabaran maksud dari kalimat pertama dan kedua dari saya barusan." Pak Genta menunjuk salah satu orang.
Orang yang ditunjuk akhirnya menjawab,
"Yang pertama itu maksudnya kita diminta untuk melihat seseorang, untuk menyadari keberadaan dia. Tapi kalau yang kedua, kita malah disuruh lihat kudis, Pak."
Tawa pun pecah. Beberapa pekerja menahan perut sambil tertawa pelan, sementara sebagian lain tampak bingung, mereka belum paham apa itu kudis.
Untungnya, teman di sebelah mereka cepat-cepat berbisik, memberi penjelasan. "Kudis itu kayak kurap, panu, gitu lho." Setelah paham dia pun ikut cengengesan, akhirnya bisa paham maksud perumpamaan itu.
"Jadi sudah paham kan, bahaya dari bergosip? Jangankan ada huruf yang hilang atau dilebihkan, hanya spasi saja yang salah maka sudah jadi beda arti. Begitu pula dengan apa yang dialami orang-orang, kita tidak pernah tahu ada spasi apa di hidup mereka, tahu-tahu kita main asal bicara yang sebenarnya tidak seperti itu."
Ia menatap satu per satu wajah di hadapannya.
"Dan yang lebih parah, mungkin saja dari komentar yang salah itu, bisa muncul tindakan yang keliru. Yang bukan cuma menyakiti, tapi juga membahayakan. Sampai sini paham?"
"Paham, Pak."
"Baik. Sekarang bubar. Kembali ke bagian masing-masing. Lanjutkan pekerjaan kalian sesuai jobdesknya."
Tanpa banyak suara, barisan pekerja perlahan bubar sesuai perintah.
...*****...
Akhirnya, Amira dan Tuan Kecil tiba di tujuan. Mereka memang tidak datang bersamaan, karena di tengah perjalanan, mobil yang ditumpangi Tuan Kecil sempat menepi ke sebuah butik ternama. Asisten Buana mengabari Amira bahwa ia diminta mengganti seragamnya dengan pakaian mahal yang akan dipilihkan langsung oleh pihak butik.
Tidak lama setelah itu, Amira sendiri juga meminta supir untuk menepi. Ia harus mengurus kebutuhan biologis si bayi. Ada popok yang perlu diganti, juga asupan makannya. Meski sebenarnya semua itu bisa dilakukan di dalam mobil, rasanya Amira kurang nyaman.
Sekarang ia telah sampai di lokasi yang lebih dulu didatangi rombongan Tuan Arga. Tempatnya megah, nyaris setara dengan rumah Arga sendiri. Tapi tetap saja, rumah Arga masih lebih besar dan lebih mencolok kemewahannya.
Amira mulai melangkah masuk ke dalam rumah mewah itu. Suasana di dalam tampak ramai dan meriah, ternyata sedang ada pesta. Tidak lama kemudian, Buana menghampirinya. Lelaki itu memberi tahu bahwa hari ini adalah perayaan ulang tahun neneknya Tuan Arga. Ia juga menyodorkan sebuah kotak kado kepada Amira, hadiah yang sudah dipersiapkan sebelumnya agar Amira tampak seolah datang membawa bingkisan, bukan dengan tangan kosong.
Setelah itu, Buana mengarahkan Amira menuju tempat di mana nenek dan kakek Tuan Arga berada. Sepanjang perjalanan yang melewati para tamu yang sibuk mencicipi kudapan mewah, Amira yang merasa sudah beberapa kali terlibat percakapan dengan Buana, memberanikan diri membuka obrolan santai.
"Pak Buana," sapa Amira pelan.
Buana menoleh, "Ada apa, Nona?"
"Rasanya saya pernah lihat wajah Pak Buana sebelumnya... Tapi saya lupa di mana dan kapan. Seperti nggak asing gitu."
"Itu cuma perasaan Nona saja."
Percakapan antara Amira dan Buana terhenti begitu mereka tiba di hadapan pasangan lansia yang duduk anggun di kursi utama. Amira tidak menyangka akan disambut sehangat itu, terlebih setelah mengenal pribadi Tuan Arga yang dingin dan kaku. Nenek dan kakek Tuan Arga menyambutnya dengan senyum hangat dan penuh rasa ingin tahu. Tidak lama kemudian, Tuan Kecil pun digendong bergantian oleh mereka, disambut tawa riang dan pujian manis.
Setelah perkenalan singkat dan suasana mulai mencair, Amira perlahan mundur. Ia tidak lagi memiliki tugas atau keperluan khusus, dan mulai menyusuri area pesta yang semakin ramai. Musik lembut berpadu dengan suara tawa para tamu, sementara aroma hidangan lezat menggoda perutnya.
Dalam diam, Amira sebenarnya penasaran ke mana perginya Tuan Arga? Sejak datang tadi, pria itu belum terlihat sama sekali.
Dan seperti semesta menjawab rasa penasarannya, pandangannya jatuh ke sebuah ruangan privat yang dibatasi dinding kaca. Dari luar, masih bisa terlihat jelas. Disana rupanya Tuan Arga duduk bersama... seorang wanita.
Wanita itu cantik dan elegan.
"Oh... itu pasti mamanya Tuan Kecil," gumamnya pelan. Amira pun perlahan-lahan menjauh dari sana.
Eh tunggu, kalau itu mamanya Tuan Kecil, kenapa tidak menyambut bayinya terlebih dahulu? Kenapa mereka hidup terpisah? Amira memicingkan mata.
.
.
Bersambung.
Terlena dengan bab ini, karena ikut merasakan kehilangan seperti Arga.
Sehingga ia tahu, mana yang tulus mana yang modus