Cinta Terhalang Takdir
"Mama tidak merestui hubungan kita, Rey."
Wanita pemilik mata hazel itu diam. Tidak tahu harus mengatakan apa. Sejak awal hubungan dia sudah tahu bahwa mereka tidak akan mendapat restu dari orang tua lelaki yang dicintainya itu.
"Tapi aku tetap berusaha untuk terus perjuangkan kamu. Kamu yang sabar ya, Rey," lanjut lelaki itu sambil menggenggam tangan gadis yang sangat dia cintai.
"Aku yakin semua pasti baik-baik saja. Kita hanya perlu waktu sedikit saja untuk menyakinkan Mama," imbuhnya.
Gadis itu menghembuskan nafas perlahan. "Sampai kapan? Aku nggak mau menunggu dalam ketidakpastian kayak gini. Kamu tahu aku sudah capek. Nggak ada lagi jalan, Mas. Lebih baik kita jangan terlalu memaksakan diri."
"Beri aku waktu sedikit lagi untuk menyakinkan mereka."
"Kalau mereka tetap nggak merestui? Apa lagi yang akan kamu lakukan? Kenapa nggak berhenti sampai di sini saja?" Gadis itu menatapnya. Mencoba membaca setiap ekspresi di wajahnya.
"Jangan ngomong kayak gitu dong, aku sedang berusah." Sahut lelaki tampan itu cepat.
"Sejak awal kita sudah berusaha, Mas. Tapi nggak ada titik terang sampai sekarang." Reyna memutus pandangannya dan menatap ke arah lain.
"Apapun yang terjadi, aku akan tetap bersamamu, Reyna," ujarnya mantab.
Reyna kembali menatapnya. "Maksudmu kita akan menikah tanpa restu?"
Wanita itu menggeleng. " Nggak, Mas. Aku tidak mau."
Lelaki tampan yang bernama Dimas itu diam. Seketika hening tercipta diantara mereka. Sibuk dengan pikiran masing-masing.
Ya, sebenarnya sejak memutuskan menjalin hubungan dengan Dimas, Reyna sudah menyangka semua ini pasti terjadi. Seharusnya wanita itu sadar sejak awal jika diantara mereka memang ada perbedaan.
Sebagai putra tunggal keluarga Anggara , pemilik perusahaan kontraktor terbesar di kota mereka tinggal tentunya orangtuanya tidak akan sembarangan memilihkan calon pendamping hidup sang putra. Tentunya harus yang sederajat. Jelas bobot, bibit dan bebetnya.
Sedangkan Reyna hanyalah anak seorang Janda, pedagang sembako yang memiliki sebuah kios kecil di pasar kota. Tidak ada apa-apanya dibandingkan keluarga Anggara yang terhormat dan kaya raya.
Seharusnya Reyna sadar akan hal itu sejak awal, sebelum akhirnya melangkah terlalu jauh masuk dalam kehidupan ningrat Dimas.
"Mereka itu bukannya nolak kamu, Rey. Mereka hanya butuh waktu untuk mengenal kamu lebih dekat lagi."
Reyna menghela nafas. Seharusnya kalimat itu menyejukkan, namun kenyataannya tidak mampu mendinginkan hawa panas yang terlanjur berhembus.
"Aku yakin, setelah mereka mengenal kamu dengan baik, mereka akan memberikan restunya. Kamu itu perempuan yang baik, Rey. Perempuan yang tepat buat mendampingi aku," lanjut Dimas dengan yakin.
"Ayo dong, Rey. Aku nggak bisa berjuang sendirian tanpa kamu 'kan?" ujar Dimas lagi.
Reyna menarik tangannya perlahan dari genggaman Dimas. "Kita akhiri saja, Mas. Semakin lama kita menunda perpisahan , rasanya bakal semakin berat untuk kita saling melepaskan. Ini adalah pilihan yang terbaik."
Dimas spontan menatap wajah gadis yang dicintainya itu. Terbersit rasa tidak percaya dalam tatapannya. "Jangan bercanda. Nggak lucu, tahu." Dia tertawa lirih. Tawa yang dipaksakan.
"Aku serius."
Dimas menatapnya kecewa. "Baik untuk siapa? Nggak untuk kita, 'kan?"
"Tidak ada gunanya terus memaksa, Mas. Padahal kita sama-sama tahu nggak ada jalan lagi buat kita." Reyna menarik nafas dan menghembuskannya perlahan. " Aku tahu tanggal pernikahan kalian sudah ditetapkan. Lalu apa lagi?"
"Rey...."
"Kamu tahu, Mas. Pada dasarnya di setiap untaian doa orangtua, mereka berharap punya anak yang berbakti. Dan sekarang saatnya tunjukkan baktimu pada mereka."
"Kamu itu kenapa sih, Rey? Kemarin kamu nggak kayak gini."
Reyna mengembangkan senyuman. "Karena sekarang aku sadar semua hanya sia-sia, Mas."
"Dengar, Rey. Aku yakin nggak bakalan bisa mencintainya. Karena cintaku cuma buat kamu." Dimas tetap kekeuh menolak.
"Aku tahu dan aku percaya," ucap Reyna tersenyum. "Makasih, Mas. Meskipun takdir nggak membuat kita satu, tapi setidaknya aku tahu kalau kamu tetap mencintaiku. Aku pasti kuat karena cintamu itu, Mas. Jangan khawatirkan aku. Aku pasti baik-baik saja."
"Rey...."
"Mas, semua orang tua pasti menginginkan yang terbaik untuk anaknya. Begitu juga orang tuamu. Aku ikhlas kalau memang yang terbaik untukmu menurut mereka itu bukan aku."
"Rey...," Suara Dimas tertahan.
Reyna berusaha mempertahankan senyumannya.
"Aku nggak akan kemana-mana, Rey. Kita akan tetap bersama."
Reyna menggeleng. "Nggak ada tempat buatku, Mas. Aku akan mencari tempatku sendiri. Karena ternyata tambatan hatiku bukan kamu."
Dimas menatap Reyna intens. Dan wanita itu bisa membaca gejolak dalam tatapan matanya. Lalu menggeleng pelan. "Aku nggak percaya kamu bakalan bilang kayak gini, Rey. Aku tahu kamu mencintaiku. Aku tahu banget itu."
Reyna memilih segera beranjak daripada membalas kalimat yang terucap dari bibir sang kekasih. Matanya mengembun, tidak bisa lagi menahan lajunya butiran kristal bening itu jika ia berada di depannya lebih lama. Reyna ingin terlihat tegar menghadapi perpisahan itu, meskipun sebenarnya dia tahu ini adalah hal paling menyakitkan dalam hidupnya. Hati Reyna hancur berserakan hingga tak terbentuk lagi.
"Semoga bahagia selalu menyertaimu, Mas. Mungkin kita akan ketemu lagi dalam keadaan yang berbeda." Bibir Reyna bergetar tapi dia berusaha tersenyum.
'Tidak jangan sekarang. Aku tidak boleh menangis di sini.' Reyna bermonolog dalam hati.
Tidak menunggu lebih lama lagi wanita berparas ayu itu berdiri meninggalkan Dimas. Suara Dimas yang terus memanggil tidak dipedulikan. Reyna takut, jika hatinya akan kembali goyah.
Sudah berulang kali Reyna mencoba mengakhiri hubungan mereka, karena dia tahu hubungan ini tidak punya tempat bermuara. Namun, berulang kali pula Dimas berhasil menyakinkannya untuk tetap bertahan.
"Ini tidak adil, Rey." Reyna masih bisa mendengar sayup-sayup suara Dimas.
Reyna memelankan langkah, memejamkan matanya. 'Ini juga tidak adil untukku," gumamnya lirih.
Reyna mendesah pelan, sebelum akhirnya mempercepat langkahnya meninggalkan masa lalunya jauh di belakang. Dia bertekad tidak ingin membawanya di kehidupan mendatang.
Akhirnya air mata Reyna yang semula ia tahan luruh juga. Tersamarkan oleh rintik hujan yang jatuh membasahi bumi. Dalam hati Reyna berharap air mata yang jatuh saat ini adalah tangisnya yang terakhir. Tidak akan ada tangisan lagi setelah ini.
Hati keduanya terasa hancur kini. Apakah mereka memang tidak berjodoh ataukah mungkin ini adalah cobaan yang harus Dimas dan Reyna lewati bersama?
Pepatah mengatakan cinta itu butuh pengorbanan. Jika memang harus berkorban, berkorbanlah sewajarnya jangan sampai berlebihan.
Seperti yang dialami Reyna, sebagai seorang wanita jika memang harus butuh waktu lebih lama untuk memperjuangkannya, berjuanglah. Tapi jika dirasa terlalu lama berhentilah memperjuangkannya. Berkorbanlah untuk menahan emosi, atau mengalah dan menahan sebuah keegoisan tapi jangan berkorban perasaan.
Benarkah cinta tanpa pengorbanan tidak layak disebut cinta? Sangat sulit untuk menyebutnya. Karena biar bagaimanapun rasa cinta itu adalah sebuah kekuatan yang universal. Namun, sangat mungkin tidak ada kesetaraan dalam cinta pada insan yang berbeda-beda.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 57 Episodes
Comments