NovelToon NovelToon
KEISHAKA : You'Re My Melody

KEISHAKA : You'Re My Melody

Status: tamat
Genre:Tamat / cintapertama / Anak Kembar / Murid Genius / Teen School/College / Cinta Seiring Waktu / Enemy to Lovers
Popularitas:3.6k
Nilai: 5
Nama Author: Ziadaffi Ulhaq

Dia, lelaki dengan prestasi gemilang itu tidak sesempurna kelihatannya. Sayang sekali kenapa harus Nara yang menyaksikan rumitnya. Namanya Yesha, menyebalkan tapi tampan. Eh? Bukan begitu maksud Nara.

Dia, gadis ceroboh yang sulit diajak bicara itu sebenarnya agak lain. Tapi Yesha tidak tahu bahwa dia punya sisi kosong yang justru membuat Yesha penasaran tentang sosoknya. Namanya Nara, tapi menurut Yesha dia lebih cocok dipanggil Kei. Tidak, itu bukan panggilan sayang.

Jatuh cinta itu bukan salah siapa. Pada akhirnya semesta berkata bahwa rumitnya bisa dipeluk dengan hangat. Dan kosongnya bisa dipenuhi dengan rasa.

Oh, tenang saja. Ini hanya masalah waktu untuk kembali bersama.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ziadaffi Ulhaq, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

TAKUT HILANG

HUBUNGANNYA dengan Yesha buruk.

Nara penyebabnya. Tapi selain itu? Zara tidak tahu apa penyebab lain sikap Yesha padanya berubah. Selama ini Yesha tidak akan marah padanya karena Nara hingga berminggu minggu seperti ini. Lelaki itu jadi sulit diajak bicara, menjawab seadanya kala Zara bertanya, menganggap seperti dirinya tidak ada.

Ini mulai menyebalkan. Situasi berbalik, Yesha lebih sering bersama Nara. Disekolah, diluar, dimanapun. Sedangkan Zara? Teman saja ia tidak punya. Selama ini ia hanya dengan Yesha kemana mana. Dan saat lelaki itu tidak ada, Zara tidak punya siapa siapa.

Hari ini sudah tiba di puncak kekesalannya. Zara tidak bisa memikirkan apapun lagi selain cara melampiaskan kebenciannya pada Nara. Tatapannya tertuju tajam pada bangku tengah dimana Yesha dan Nara sibuk bercanda, diam diam tertawa ditengah guru bahasa sedang menerangkan pelajaran didepan kelas. Sebahagia itu? Sungguh? Nara pikir dia sudah menang? Tidak. Zara tidak akan membiarkannya.

Ponsel Zara bergetar, sebuah pesan masuk. Berhasil mengalihkan perhatian Zara dari Nara dan kakak kembarnya. Ia membuka roomchat.

...***...

Istirahat terakhir.

Kantin ramai. Nara memperhatikan Yesha yang masih memesankannya makanan. Lama, Yesha terlihat mengantri. Nara mulai bosan, asal saja ia mengambil ponsel Yesha yang tergeletak diatas meja. Membukanya dengan sidik jarinya yang sudah terdaftar di ponsel Yesha. Meng-klik ­kamera, berfoto asal dengan ponsel lelaki itu.

Lima menit. Sebuah pesan tersangkut. Nomor tidak dikenal, Nara membukanya.

Nara mematung. Jantungnya rasanya mencelos jatuh. Pikiran positif dan negatif mulai berperang dikepalanya. Dan entah dorongan darimana, Nara menekan tombol kembali, mengarsipkan pesan dari mama Gissele di ponsel Yesha.

“Ra!”

Nara menoleh, Tasya berlarian ke mejanya.

“Zara ngunciin Rania digudang gimnasium, kayaknya mereka ada masalah.” Tasya melapor cepat sesampainya didepan Nara, dalam satu tarikan napas yang masih tersengal.

“Zara? Lo serius?”

Kepala Tasya mengangguk cepat, “Ada yang bilang ke gue, dan pas gue kesana beneran mereka didalam gudang.” Katanya panik.

Nara berdiri, merapikan roknya yang sedikit terlipat, beranjak dari tempatnya duduk, “Emang sialan, kan, tuh anak!” Ia mengumpat kesal. Tanpa menunggu Tasya, Nara berjalan cepat menghampiri Yesha terlebih dahulu, memberikan ponsel lelaki itu.

“Kamu mau kemana buru buru gitu?” Tanya Yesha, menatap Nara bingung.

“Aku mau nyamperin dulu Rania, kamu makan duluan aja ya, nanti aku nyusul.”

“Tapi—”

Nara segera berlarian kecil keluar dari kantin, diikuti Tasya dibelakangnya. Menuju gimnasium. Sesaat pikiran tentang Gissele melintas dibenaknya, tapi Nara segera mengenyahkannya, ada yang lebih penting untuk diurus sekarang.

Lima menit. Nara tiba didepan pintu gudang gimnasium. Tangannya yang terangkat hendak menggedor pintu tertahan di udara. Ia menatap bingung, pintunya bahkan tidak terkunci. Nara mendorongnya pelan, tidak yakin tapi tetap membuka pintunya.

“Zara?” Panggil Nara, melangkah masuk, masih selangkah dari pintu.

“Ra,” Tasya dibelakang Nara memanggil, membuat Nara menoleh sesaat. “Sorry, tapi selama ini gue masih gak bisa ngeliat lo bareng Yesha.”

Hah? Nara menggernyit bingung.

Dan saat itulah Tasya menarik gagang pintu sebelum Nara sadar apa maksud ucapannya. Suara bedebam terdengar, disusul suara pintu yang dikunci dari luar. Nara termangu sesaat, lantas mulai menggedor pintu. Panik.

“Tasya! Apa apaan sih? Buka! Gak lucu ya!”

“Tikus emang semudah itu ya buat masuk jebakan?” Suara seseorang yang Nara kenali membuat gedorannya terhenti. Pelan pelan Nara memutar tubuh, dan baru sadar kalau dibalik rak tinggi yang tak jauh dari Nara ada seseorang juga. Gadis itu mengeluarkan ponselnya, mengotak ngatik benda itu sesaat. Ia harus mempergunakannya se-efektif mungkin.

Zara. Jelas gadis itu.

“Cuma dikasih keju tipuan padahal, tapi kejebak semudah ini?” Zara terkekeh remeh, entah apa yang sedang dilakukannya didepan meja dengan tumpukan alat olahraga.

Nara melangkah perlahan, lantas berhenti tiga langkah dari Zara.

“Sepupu lo itu ternyata sebenci itu sama lo, Ra. Tapi gak ada yang sadar, dan suka rela dia mau bantuin gue.” Zara berbalik, bersandar pada meja. Ia sedang memegang pemantik api, membakar sebuah kertas, lalu menjatuhkannya ke lantai, menginjaknya. Api padam, menyisakan asap dan bau kertas terbakar. “Karena musuh dari musuh kita, adalah sekutu.”

Nara diam, memperhatikan. Berhitung, berusaha membaca situasi. Baik, satu, Tasya ternyata tidak menyukainya. Dua, Tasya membohongi Nara untuk menjebaknya agar berada disini bersama Zara. Tiga, ada sesuatu yang akan Zara lakukan padanya, entah apa, Nara tidak tahu. Yang pasti adalah bukan sesuatu yang baik.

“You think you a winner?” Tanya Zara sinis, menatap Nara seolah dia adalah makhluk paling rendah di bumi, “Setelah berhasil bikin hubungan gue sama Yesha berantakan, lo pikir lo udah menang?”

“Gue gak pernah ngerasa ngerusak hubungan antara lo sama Yesha.” Sanggah Nara.

“Lo tahu sendiri, kan, kalau gue gak pernah suka sama siapapun yang jadi pacar Yesha, yang ngambil semua waktunya. Dan lo gak dikecualikan,” Zara bersidekap, berdiri dengan tabiat angkuh khasnya yang sudah mulai Nara kenali. “Kira kira negosiasi apa ya yang cocok buat lo?”

Nara mendengus, sudah bisa menebak arah pembicaraan. “Gak akan bisa, Zar, percuma. Lo gak akan bisa misahin gue dari Yesha pake cara apapun.”

“Kematian sekalipun?” Zara menyahut cepat, justru terlihat antusias dengan percakapan ini, “Lo pasti tahu cerita tentang siapa namanya? Gissele? Jalang gila itu, coba kalau dia nurut sama gue pas gue masih minta baik baik. Sayangnya dia harus mati menyedihkan. Lo mau juga? Gue bakar hidup hidup disini misalnya.” Zara menyalakan pemantik, api setinggi dua ruas jari menerangi wajahnya.

“Dia belum mati, Zar.” Nara menggeleng.

Ekspresi santai Zara tersumpal.

“Lo mungkin berhasil bikin dia sakit sakitan tapi dia belum mati.” Ulang Nara. Kini gilirannya mengintimidasi Zara, ia maju selangkah. Perkataan Gissele padanya dan Yesha tempo hari melintas, bagaimanapun, ia harus tahu rahasia itu hari ini. “Gue udah ketemu sama Gissele, dan dia udah cerita semua tentang lo.”

“Lo gak jago bohong, Ra. Lo pikir gue percaya sama tipuan lo?”

“Yang bilang gue bohong siapa?” Nara meremas jemari diam diam, ia tahu Zara tidak akan tertipu semudah itu. Tapi Nara sudah bertekad, bagaimanapun ia harus bisa memancing Zara mengatakan rahasianya. “Gissele udah kasih tahu gue rahasia lo, Zar. Rahasia yang gak lo ceritain ke siapa siapa seumur hidup lo, termasuk Yesha. A big secret in your dairy.”

Wajah Zara berubah merah padam. Ia terlihat sangat marah. Dan Nara seolah bisa membayangkan situasi sama yang dihadapi Gissele setahun lalu. Saat dia melihat kemarahan Zara yang sangat.

Satu detik.

Zara melangkah cepat, mendorong Nara hingga punggungnya menabrak tembok, lantas tangan kanannya terangkat mencekik leher Nara sekuat tenaga. Bola matanya terlihat berapi api, Zara murka.

“Lo udah terlalu banyak tahu tentang gue!” Bentak Zara.

Wajah Nara memerah, megap megap kekurangan oksigen. Susah payah ia berusaha melepaskan cekikan itu. Tapi Zara yang sudah seperti kerasukan iblis tidak membiarkannya. Tidak peduli bahwa apa yang dilakukannya bisa membahayakan Nara.

“Z-Zar…le-pas…”

“Lo mau tutup mulut atau perlu gue yang tutup mulut lo?”

“G-gue gak t-takut…”

Zara mengentakkan Nara hingga tubuh gadis itu tersungkur ke lantai. Lantas ia mengeluarkan sebuah botol kecil berisi bensin, memecahkannya didekat rak tinggi.

“Z-Zar lo mau apa?” Nara menatap panik.

“Lo gak takut, kan? Lagipula gue udah muak sama lo!” Zara melempar pemantik yang telah ia nyalakan keatas tumpahan bensin.

Dengan cepat api menyebar, membakar apapun yang dilaluinya. Lima menit, asap membubung tinggi. Nara tersudutkan ke pojok ruangan, terbatuk, panik. Api menyebar cepat, ia melihat Zara membuka pintu gudang, tersenyum meninggalkan Nara ditengah kobaran api.

Tapi, Zara tidak menyangka bahwa api yang ia nyalakan akan menyebar begitu cepat. Lorong yang hendak ia lalui menuju pintu kecil yang menghubungkannya ke lapangan gimnasium mulai terbakar cepat.

“Sial.”

Zara terjebak, berusaha menerobos api yang belum terlalu besar. Ia melompat melewati bingkai pintu yang mulai terbakar. Bersamaan dengan itu, bingkai yang berada diatas kepalanya jatuh terbakar lalapan api, menyenggol sedikit bahu Zara, membuatnya jatuh terguling.

Zara meringis, mulai panik. Ia juga terjebak.

...***...

“Gim kebakaran!”

“Hah? Serius?”

Yesha menoleh, melihat keadaan kantin mulai dipenuhi kepanikan. Ia sudah mendengar berita itu tiga kali sepanjang duduk menunggu Nara disini. Dengan cepat berita tersebar dari mulut ke mulut. Dua orang, tiga orang, lima, sepuluh, mulai berlarian menuju lokasi kebakaran.

Yesha ikut berdiri, mengikuti keramaian menuju gimnasium.

“Yesha!” Dari arah lain Tasya berlarian, berusaha menghampiri Yesha ditengah lautan manusia. “Yesha!”

Kepala Yesha tertoleh, Tasya tiba didepannya semenit kemudian. “Gim kebakaran.”

“Kenapa bisa gitu, sih?” Tanya Yesha ringan.

Tasya mengatur napas, wajahnya panik. “Bukan kenapa bisa gitu, masalahnya Zara sama Nara ada disana!”

Ekspresi wajah Yesha berubah, ia terdiam sesaat berusaha mencerna informasi. “Zara?”

“Nara jug—”

Yesha berlari berusaha membelah kerumunan murid yang mulai chaos, panik takut api merambat ke gedung kelas mereka. Sekali dua Yesha menabrak orang yang berpapasan dengannya. Tapi Yesha tidak peduli, jantungnya mulai berdebar, wajahnya pucat. Ia harus segera sampai di gimnasium sebelum terjadi sesuatu kepada Zara. Yesha tahu betul Zara memiliki ketakutan terhadap api besar, refleksnya memaksa Yesha bergerak lebih cepat.

Guru guru sudah berkumpul belasan meter dari gimnasium saat Yesha tiba. Api membubung tinggi, asap hitam membuat mereka harus menutup wajah agar tidak terbatuk.

“Berapa lama lagi pemadam kebakarannya?” Tanya salah seorang guru wanita tidak sabaran.

“Sepuluh menit lagi, Bu.”

Sepuluh menit? Itu lama. Yesha melangkah hendak menerobos.

“Heh, Yesha! Kamu mau kemana?! Bahaya!” Seorang guru mencegah.

“Zara ada disana, Pak!”

“Pemadam kebakaran sebentar lagi datang, kamu sabar—”

“ZARA ADA DISANA!” Yesha membentak tegas, lupa bahwa yang mengajaknya bicara jauh lebih tua darinya, berhasil menyita semua atensi. “Dia disana gak bisa keluar, ketakutan, dan bapak nyuruh saya sabar?!”

Bahu Yesha ditarik oleh seseorang, membuatnya menoleh. “Sha.”

Yesha menepis tangan Jean—yang entah muncul darimana, tanpa menunggu reaksi siapapun ia berlari menerobos api, berusaha masuk kedalam gim.

“YESHA!”

Pintu gimnasium yang sudah terbakar seperti gerbang menuju neraka tidak bisa menghentikan Yesha yang sekarang dengan nekat menendang dan loncat melewatinya, berguling menghindari plafon yang jatuh nyaris menimpa kepalanya. Yesha terbatuk, matanya dengan cepat berusaha menemukan Zara tengah kepul asap dan kobaran api.

“Zara!” Panggilnya keras keras, terbatuk beberapa kali.

“Disini, Kak Sha!” Suaranya terdengar samar.

Yesha menyibak asap yang bercampur dengan debu, melangkah mendekati sumber suara. Pandangannya tidak bisa terlalu menangkap kemana langkahnya yang lebih aman. Mata Yesha perih, tubuhnya panas berada ditengah gemeletuk api. Tapi akhirnya ia berhasil menemukan Zara yang terduduk didekat tangga tribun penonton. Kondisinya tidak terlalu buruk, tapi tetap membuat Yesha panik setengah mati.

“Kamu nggak apa apa?!” Yesha berjongkok, mengecek kondisi Zara, “Kenapa bisa ada disini, sih, Zar?!”

Zara berpegangan pada Yesha, terbatuk. “Nara bikin aku marah!”

“Dimana dia?”

Tangan Zara menunjuk ke arah pintu menuju gudang. “Disana, kebakarannya dari sana.”

Yesha berdiri hendak menuju pintu itu, tapi tangan Zara mencegat langkahnya. “Aku juga luka, Kak Sha!”

Buntu. Yesha tidak bisa berpikir jernih di situasi seperti ini. Ia segera membantu Zara berdiri, memapahnya sembari terus berusaha menghindari plafon yang berjatuhan seperti bola api.

Sementara diluar sana, pemadam kebakaran baru saja tiba, bergegas melakukan tindakan pemadaman api. Selang selang panjang dikerahkan, semua orang diberitahu untuk mundur, menjauh dari lokasi kebakaran.

Tapi salah satu dari orang yang disuruh mundur itu justru memilih melompat melewati petugas, instingnya mendorong untuk menerobos api yang tengah dipadamkan. Tidak peduli dengan teriakan orang orang yang berusaha mencegahnya melakukan hal gila.

Tepat didetik terakhir sebelum api di pintu gimnasium padam, Yesha keluar membawa Zara. Tubuh keduanya segera dipegangi oleh guru guru yang ada. Mereka terbatuk, pakaian mereka berantakan, sobek dan terbakar kecil di beberapa bagian. Penuh kepul debu dan asap.

“Zara kamu nggak apa apa?” Tanya Bu Sara panik, memeriksa kondisinya.

Zara menggeleng. “Luka kecil aja, Bu.”

“Syukurlah, Yesha kamu nggak apa apa?”

Sementara isi kepala Yesha sepertinya baru terisi kembali.

Nara.

Kepanikan berkali lipat dari sebelumnya memenuhi setiap sudut wajah Yesha. Ia bergegas hendak kembali kedalam gimnasium, tapi tangan Zara lagi lagi mencegahnya. Gadis itu menggeleng tegas.

“Tapi Nara—”

Ucapan Yesha terhenti.

Dari balik kepul asap yang berasal dari api pada pintu gimnasium yang berhasil dipadamkan, seperti sebuah adegan paling dramatis dalam film, Jean keluar dengan susah payah, menyibak asap yang membuatnya terbatuk. Nara berada didalam bopongannya. Kondisi gadis itu buruk. Ia tidak sadarkan diri, luka bakar terlihat di beberapa bagian lengan dan kakinya. Wajah Nara pucat, napasnya pelan sekali.

“Panggil ambulance!” Teriak Jean panik, tidak peduli dirinya juga terluka.

“Cepat bawa dulu ke UKS!” Bu Sara memimpin jalan membelah kerumunan.

Yesha mematung. Tanpa sadar kedua tangannya terkepal. Ia menghampiri Jean yang baru saja hendak melangkah menuju UKS. Lelaki itu menahan lengan Jean, tapi Jean menepisnya kasar, tetap melanjutkan langkah dengan Nara di pangkuannya.

Kemarahan Yesha tersulut, harga dirinya seperti diinjak injak. Ia melangkah hendak menarik Jean agar menjauh dari Nara, tapi Ryan yang sudah melihat kejadian itu sejak tadi menahan tubuhnya.

“Mending urusin dulu Zara lo, kayaknya dia juga ‘luka’” Ryan menekankan kata terakhirnya. Lantas meninggalkan Yesha, disusul Laudy dan Rania yang ikut berlarian menuju UKS dibelakangnya.

Hananta yang juga ada disana memegang bahu Yesha, mencoba meredakan amarahnya. “Gak sekarang, Sha, kalau lo mau marah.”

...***...

Dua jam setelahnya. Hujan deras mengguyur bumi.

Yesha membuka pintu ruang UKS, ia baru saja diberitahu bahwa Nara sudah siuman. Dokter dan perawat sekolah yang mengobati Nara baru saja keluar. Dan saat ini Yesha melihat Nara duduk bersandar pada ranjang UKS, cairan infus menggantung di tiang sebelah ranjangnya, jarumnya menusuk kulit Nara, cairan infus itu sepertinya membantunya agar merasa lebih baik.

Dan jangan lupakan Jean ada disana. Menemaninya. Jika tidak melihat Nara yang baru saja pulih, sudah sejak tadi Yesha menariknya keluar.

Yesha berdiri disamping ranjang, menatap Jean, menyuruhnya keluar lewat tatapan itu. Yesha perlu bicara dengan Nara.

Melihat raut wajah Yesha yang tidak bersahabat, Nara ikut melihat pada Jean, tersenyum. “Thanks ya, Je, lo boleh istirahat sekarang.”

Jean menatap Nara tidak yakin.

Yesha berdeham. ‘Mengusir’ Jean.

Nara mengangguk pada Jean, ‘nggak apa apa’, demikian arti anggukannya. Lantas Jean melangkah pergi meninggalkan UKS. Membiarkan Yesha dan Nara berdua dalam situasi yang mereka pun bingung harus bersikap seperti apa.

Yesha menarik kursi. Duduk, menatap Nara yang justru menatap ke arah lain.

Hening. Sepuluh detik penuh.

“Kamu udah baikan?” Tanya Yesha pada akhirnya. Jujur ia khawatir sekali melihat Nara seperti tadi. Dua jam menunggu gadis itu membaik terasa merangkak.

Nara mengangguk.

“Jean udah cerita ya?”

Nara mengangguk lagi. Itulah alasan kenapa ia enggan menatap Yesha sekarang.

Yesha menghela napas berat. Melihat Nara menyembunyikan tangannya, Yesha tahu gadis itu enggan Yesha genggam. Padahal itu sudah menjadi kebiasaan mereka kalau sedang sedikit berselisih paham, saling menggenggam tangan seraya bicara pelan pelan.

“Aku minta maaf ya,” Yesha merasa bersalah, “Kei, liat aku.” Pintanya.

Nara bergeming. Ia tidak mau.

“Hei, liat aku sebentar, aku lagi ngomong sama kamu lho.”

“Ngomong aja.”

Yesha menghela napas lagi. Baiklah. Ia harus bisa mengontrol emosi, “Aku minta maaf, tapi tadi aku refleks nyari Zara duluan, aku panik. Kamu juga tahu, aku kakaknya, Zara tanggung jawab aku, kamu tahu seberapa penting dia buat aku.”

“Tapi aku juga ada disana. Aku gak penting buat kamu?” Nara bicara pelan, memilin jemarinya. “Dan gimnasium itu kebakaran karena Zara, Yesha, bukan tanpa alasan.”

Yesha terdiam. Sejak tadi ia mencari jawaban kenapa gimnasium itu bisa kebakaran dengan Nara dan Zara berada disana pada waktu yang bersamaan.

Melihat Yesha hanya diam seolah tidak percaya, Nara meraih ponselnya di atas nakas, mengotak ngatiknya sesaat, lalu memperdengarkan sebuah rekaman pada Yesha. Rekaman saat dirinya dan Zara bertengkar didalam gudang gimnasium.

Lima menit.

“Tapi gimanapun Zara juga luka karena ulahnya sendiri, Kei.” Ucap Yesha setelah rekaman itu selesai.

Nara mendengus tidak percaya, menyimpan ponselnya asal diatas ranjang. “Terus aku apa, Yesha? Apa aku emang beneran gak sepenting itu buat kamu?”

Ekspresi Yesha berubah. “Aku gak suka ya kamu ngomong gitu.”

Kali ini Nara menatap Yesha penuh. Sorot matanya terlihat begitu serius. Mendadak, pesan dari mama Gissele di ponsel Yesha melintas dikepalanya, “Gissele disana harus nanggung sakit yang gak main main karena Zara, cuma karena dia gak mau putus sama kamu! Dan aku…” Nara menunjuk dirinya sendiri, ingatan tentang betapa takutnya Nara saat berada ditengah kobaran api tadi berkelebat. “Aku hampir mati dua jam lalu, Yesha! Cuma karena aku gak mau putus sama kamu! Kamu pikir itu karena siapa?”

Percik api ikut membuat amarah Yesha yang sudah mereda kembali tersulut perlahan. Seandainya Nara mengerti bahwa posisi Yesha sulit saat itu. Zara adalah kembarannya, tentu refleks Yesha akan memilih menyelamatkannya duluan. Itu sudah dari sananya. Tapi bukan berarti Nara tidak penting untuk Yesha. “Kamu marah cuma karena aku lebih milih nolongin Zara daripada kamu, kan?”

“Cuma?” Nara menatap Yesha heran. Dia mengerti tidak sih maksud ucapan Nara?

“Seburuk apapun Zara itu tetep adik aku, Kei, kalau kamu ada diposisi aku pasti kamu juga bakal lakuin hal yang sama. Aku tahu Zara banyak salah sama kamu, tapi dia juga manusia, pasti ada salahnya, kan? Dan bukan berarti kamu bisa ngungkit ngungkit kesalahan dia! Bukan berarti juga aku gak boleh nyelamatin dia duluan!” Yesha berseru tertahan.

“Kamu serius masih belain dia?” Kedua tangan Nara terkepal menahan marah, kukunya tertancap, tapi Nara tidak peduli, “Iya, aku bisa ngerti kalau kesalahan dia masih dibatas wajar! Masih bisa aku toleransi. Selama ini aku kurang ngalah apa sama Zara, Sha? Karena aku tahu dia adik kamu! Tapi apa balasan yang Zara lakuin ke aku? ADIK KAMU itu udah mau hilangin nyawa manusia, Yesha! Nyawa manusia!”

Yesha terdiam. Kalimat Nara sukses membuatnya tidak bisa membantah. Karena memang begitulah kebenarannya. Tapi menurut Yesha tetap saja, Nara harus mengerti bagian dimana Yesha lebih memilih menolong Zara daripada dirinya.

“Kamu kemana pas aku butuh kamu tadi?” Nara menyeka pipi, air matanya jatuh. “Ngurusin luka ‘adik kamu’? Seberapa parah sih sampe gak sempet jengukin aku?”

Yesha tersenyum miring, mendengus pelan. “Bukannya udah ada Jean? Aku pikir aku udah gak dibutuhin.”

Dari semua kalimat yang ada di muka bumi. Ucapan Yesha barusan adalah kalimat terbodoh yang pernah dikatakan seseorang pada pacarnya. Pada situasi ditengah pertengkaran seperti ini. Hati Nara seperti baru saja digores dengan sengaja.

“Kamu masih sibuk cemburu ditengah situasi kayak gini? Are you seriously??”

“Kenapa? Aku gak berhak buat cemburu? Kamu sendiri tahu gimana masa lalu aku sama Jean, kenapa aku sensitif kalau dia di deket kamu, tapi kamu—”

“Yeshaka!” Nara menyela. Air matanya jatuh tapi kali ini tidak berusaha Nara seka, tidak peduli apa yang Yesha pikirkan saat melihatnya. “Jean itu udah nyelamatin aku! Bisa kamu bayangin kalau dia nggak ada? Aku gak akan ada disini sekarang. Daripada cemburu seharusnya kamu bilang makasih sama dia!”

“Kok kamu jadi belain dia?” Yesha tersinggung.

“Aku gak belain dia! Aku cuma nyuruh kamu bilang makasih bukannya malah cemburu!”

“Oke makasih! Tapi harga diri aku sakit liatnya!” Sahut Yesha cepat. Tapi ia tidak sungguh berterima kasih karena itu. Apa yang Nara mau? Yesha memeluk Jean, menepuk bahunya akrab, lantas berterima kasih sepenuh hati atas pertolongannya untuk Nara. Bahkan membayangkannya saja Yesha tidak sudi.

“Aku tahu kenapa kamu ngomong kayak gini,” Yesha lanjut bicara, menatap Nara tajam, tatapan yang tidak biasa Nara lihat pada mata lelaki itu, “Karena kamu bahkan gak tahu apa yang terjadi dulu, kamu gak akan tahu gimana takutnya aku kehilangan buat kedua kalinya. Apa kali ini sesusah itu ngertiin aku?”

“Tapi kejadian itu rekayasa dan Gissele udah bilang itu—”

“Tapi rasa takutnya bukan rekayasa, Kei.” Sela Yesha cepat. Ia sungguh sungguh mengatakannya seolah masih bisa merasakan rasa sakit dari masa lalu itu.

Hening. Perang tatapan diantara mereka menajam.

“Kamu nggak percaya sama aku?”

Yesha membuang napas kasar. Ayolah, Nara ini bicara apa sih? Yesha tahu dia sedang marah, tapi membahas segala hal dipertengkaran mereka justru semakin membuat hubungan mereka runyam sekarang.

“Aku percaya sama kamu, tapi nggak ke Jean. Aku gak pernah bisa percaya lagi ke dia tentang perempuan, Kei, jadi aku mohon kamu ngerti posisi aku. Masalah ini gak usah dibesar besarin lagi.”

“Kamu pikir aku bakal naruh hati ke Jean semudah itu? Bahkan kamu, dan seluruh dunia juga tahu kalau perasaan aku ke kamu lebih besar dari apapun, Yesha! Kamu terlalu takut aku bakal punya perasaan sama dia!” Nara memekik marah.

“You don’t understand the point that I mean, Ra!”

Ra? Mendengar nama itu disebut seolah mempertegas Nara betapa Yesha juga marah saat ini. Hati Nara berdenyut sakit mendengar suara lelaki itu yang mulai meninggi. Ia seperti kehilangan Yesha yang selalu bicara lembut padanya.

“Aku cemburu bukan tanpa alasan! Aku sayang sama kamu! Aku percaya sama kamu tapi bukan berarti rasa takut kehilangan kamu bakal hilang gitu aja! Aku ngerasa jadi manusia paling gak berguna saat liat justru Jean yang nyelamatin kamu! Kamu pikir kamu aja yang sakit disini? Hati aku juga sakit, Ra. Lebih sakit dari yang bisa kamu bayangin! Jangan ngerasa kamu doang yang disakitin dong! Kamu pikirin juga perasaan aku!” Yesha kalap, tidak sadar ia hampir hilang kendali atas amarahnya. Lupa bahwa bentakannya bisa melukai Nara yang sudah terisak sekarang.

Nara terdiam. Berusaha menahan tangisnya agar tidak semakin pecah.

Dan Yesha sadar bahwa ia telah melakukan satu kesalahan lagi pada Nara. Segera lelaki itu berusaha meraih jemari sang gadis, “Aku minta maaf—”

Nara menepis tangan Yesha kasar. “Y-Yesha yang aku kenal gak pernah kasar ke aku…Yesha yang aku kenal bakal peluk aku dan kasih tahu aku baik baik kalau aku salah…kamu bukan dia…”

“Nggak gitu maksudnya—”

Nara tiba tiba saja mencabut infusan ditangannya, darah mengalir dari tangan kirinya yang sebagian dibebat perban.

“Heh, apa apaan sih?!” Yesha panik berusaha mencegah tanpa hasil.

“Aku mau pulang.” Nara berdiri, menyambar ponselnya.

Yesha sontak menahan lengannya. “Kita belum selesain masalahnya, Kei. Kamu juga masih butuh infus—”

“Aku mau pulang!” Nara berteriak marah, tidak peduli lagi, menepis tangan Yesha, melangkah pergi. Tangisnya pecah.

“Tunggu dulu, Keinarra! Jangan kayak anak kecil gini kenapa!” Yesha mulai frustasi.

Ucapan Yesha itu sukses menampar Nara dengan keras. Ia berhenti, berbalik, menatap Yesha dengan tersinggung. Baiklah jika Yesha berpikir bahwa Nara masih kekanakkan, Nara akan menunjukkan sisi kekanakkan yang sudah lama ia tahan untuk kali ini.

Yesha hendak menyamai langkah Nara.

“Kalau kamu nyusul aku kita putus.”

Spontan langkah Yesha tertahan. Lagi, Yesha lagi lagi membuat Nara tersinggung dengan ucapannya.

Pintu UKS terbuka, tiba tiba Jean masuk dan berdiri di ambang pintu, membuat tempias air hujan beserta anginnya masuk kedalam ruangan. “Udah cukup, Sha.”

Yesha dan Nara menatap Jean. Lelaki itu terlihat menahan sesuatu didalam dirinya. Sirat kedua matanya menunjukkan amarah yang tertahan. Ia menatap Yesha tajam, mengatur napas dua kali. “Gue sama Gissele mungkin rekayasa, tapi kali ini nggak lagi.”

Suara Jean bercampur dengan gemericik hujan. Tapi masih cukup terdengar oleh telinga Yesha dan Nara. Mereka menatap Jean tidak mengerti. Apa maksudnya?

“Gue suka cewek lo, Sha. Sejak awal. Sejak pertama kali liat dia ada di Artaca. Jauh sebelum lo.”

Nara mematung. Lututnya rasanya lemas.

Kedua tangan Yesha mengepal, rahangnya mengeras, emosinya naik ke ubun ubun. “Ngomong apa lo barusan?”

“Gue suka cewek lo.”

“NGOMONG LO SEKALI LAGI!”

“GUE SUKA NARA!”

Yesha mengejar, tinjunya siap menghantam wajah Jean detik ini juga.

...***...

1
NurAzizah504
Hai, ceritanya keren
Beatrix
Serius thor, kamu mesti lebih cepat update. Agar aku nggak kehabisan tisu ☹️
Ludmila Zonis
Mengharukan
Devan Wijaya
Hahahaha aku baca dari tadi sampe malam, mana next chapter nya thor?!
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!