Karena Fitnah Ibu Mertua ku, rumah tangga ku berantakan. Dia tega memfitnah dan menghadirkan orang ketiga di dalam rumah tangga ku.
Aku tak tahu, kenapa ibu mertua jadi kejam seperti ini, bahkan bukannya dia yang meminta agar aku dan Mas Doni segera menikah.
Ada apa ini?
Bagaimana nasib rumah tangga ku?
Siapa yang akan bertahan, aku atau ibu mertua ku?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Meylani Putri Putti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Mulai Terlihat, Mulai Terasa
Beberapa hari berlalu, Bu Misye sudah memberikan serbuk yang diberi oleh dukun itu di dalam makanan Doni.
Namun nyatanya tak merubah apapun. Bahkan sepertinya Doni dan Viola terlihat semakin mesra.
Sepertinya Doni sudah mulai menerima keadaan dan menerima Viola sebagai istrinya.
Hal itu justru membuat bu Misye semakin berang. Dia pun kembali ke rumah dukun langganannya.
"Mbah, kenapa ya, sepertinya pelet yang Mbah berikan tidak bereaksi pada anak saya? Bukannya menjauh, sepertinya anak saya semakin mesra saja dengan istrinya."
"Ada beberapa faktor Nyonya membuat pelet itu tak berhasil."
"Apa itu Mbah?"
"Bisa jadi, anak Anda sudah diguna-guna juga oleh istrinya, jadi pelet itu kurang berkhasiat."
"Ehm pantas saja."
"Kalau begitu saya mau menantu saya itu celaka Mbah. Lakukan apa saja lah pak yang penting Viola itu bisa pergi dari kehidupan anak saya."
Bu Misye percaya saja pada ucapan dukun itu.
"Aduh kalau itu berat Nyonya, selain itu resikonya tinggi."
"Kalau begitu bagaimana caranya agar anak saya bisa melepaskan diri dari wanita itu."
"Sedikit sulit, kalau ternyata istrinya juga melakukan guna-guna. Kita harus mengalahkan ilmu hitam dari istri putra anda terlebih dahulu, tapi ya begitu, seperti yang saya bilang resikonya tinggi Nyonya anda…" ucapan terputus karena langsung di sambar Bu Misye.
"Saya tidak peduli! apapun resikonya mau dia mati! mau dia mampus! pokoknya dia harus pergi dari kehidupan anak saya."
"Baiklah, kalau begitu yang Ibu inginkan saya tidak bertanggung jawab ya."
"Iya Mbah, yang penting singkirkan saja menantu saya itu."
Setelah mengutarakan keinginannya pada dukun itu, bu Misye siap kembali pulang ke rumah.
Setibanya di rumah, tiba-tiba saja Bu Misye merasakan tubuhnya yang terasa gerah. Seperti berada di ruangan yang sempit dengan temperatur yang hangat.
"Aduh kenapa rasanya panas sekali ya."
Bu Misye mempercepat langkah kakinya menuju kamar.
Setibanya di kamar dia langsung melepaskan pakaiannya kemudian berlari menuju bathtub dan berendam di dalam bathtub.
Hua Hua Bu Misye mengambil nafas panjang, karena merasa sesak seperti ada yang menghimpit tubuhnya.
"Aduh lemas, sesak banget, ini kenapa?"
Bu Misye sedikit panik, tubuhnya masih saja terasa panas meskipun sudah berendam di dalam air.
Sekitar satu jam berendam, Bu Misye keluar dari bathtub, tubuhnya sudah mengkerut akibat terlalu lama berendam. Suhu tubuhnya pun sudah kembali normal.
"Huh, ini pasti sihirnya Viola," tuduhnya sambil mengusap tubuhnya dengan handuk.
Ketika melihat kulitnya, Bu Misye kaget karena kulit memerah seperti terkena sengatan matahari padahal baru saja dia mandi.
"Kenapa kulit ku jadi seperti ini?" gumamnya dengan panik.
Setelah merasakan panas, Bu Misye kembali merasakan gatal dan miang.
"Aduh gatal-gatal. Aduh gatal."
Bu Misye menggaruk seluruh tubuhnya dengan menggunakan apa saja untuk menjangkau bagian punggungnya yang gatal.
Bahkan dia tak segan-segan menggunakan pisau buah untuk menggaruk punggungnya.
Sambil menangis-nangis dia menggaruk dan berkeluh kesah.
'Gatal! Gatal! Tolong ! Tolong!"
Bu Misye memakai daster dan segitiga pengaman saja, karena dia sudah tak tahan dengan rasa gatal yang menjalar seluruh permukaan kulit tubuhnya.
"Inah! Inah!" teriak Bu Misye sambil berlari kecil dan menggaruk bagian wajahnya.
"Ada apa Nya?" tanya Bu Inah dengan berjalan tergesa-gesa.
"Inah, tolong saya Inah, tolong garukan punggung saya, rasanya gatal sekali Inah!" Bu Misye menangis.
"Iya Nyonya!"
Mereka pun kembali ke kamar Bu Misye.
Bu Misye membuka dasternya agar Inah gampang menggaruk-garukkan punggungnya.
"Yang kuat Inah!"
"Ini sudah kuat Nya!"
Dengan sekuat tenaga Bi inang garuk-garuk punggung bu Misye.
"Yang lebih kuat Inah; gatalnya ! aduh perih! aduh sakit!"
Bu Misye meliuk-liukkan tubuhnya Karena tidak tahan antara gatal dan perih yang menyerang bagian punggung nya.
"Ini sudah kuatnya sampai kulit Nyonya berdarah."
"Aduh Inah! Tolong telepon Doni saya sudah tidak kuat!"
"Baik Nya."
Bi Inah merogoh saku celananya kemudian menghubungi Doni.
Sementara itu bumi sia masih menggelepar menggaruk-garuk bagian wajahnya.
"Halo assalamualaikum," Sapa Doni.
"Den, tolong Nyonya Den, Nyonya gatal-gatal kulitnya sampai melepuh!" Suara Bi Inah terdengar panik.
"Aduh gatal! Doni tolongin Mama! Doni Ini semua karena istri kamu itu Doni!"teriak bu Misye yang terdengar panik.
"Mama kenapa bi Inah!"
"Adu Don susah untuk dijelaskan sebaiknya Den pulang saja kasihan nyonya."
"Iya Bi Inah!"
Doni langsung memutus teleponnya, saat itu juga ia izin untuk pulang ke rumah.
Setengah jam kemudian Doni tiba di rumahnya dan langsung menghampiri kamar bu Misye.
"Sayang kamu sudah pulang?"tanya Viola ketika mendapati Doni yang masuk rumah dengan tergesa-gesa.
"Ada sesuatu yang terjadi pada Mama, masa kamu nggak tahu sih?"
'Emang aku nggak tahu, aku di kamar aja kok seharian. Aku lagi nggak enak badan Sayang."
Tanpa menggubris Viola, Doni langsung menuju kamar Bu Misye.
"Aduh panas! Aduh gatal!"
Doni semakin panik ketika mendengar teriakan ibunya dari luar.
Dia langsung membuka pintu tanpa permisi dan saat itu bu misye hanya menggunakan pakaian dalamnya saja sedang tengkurap di atas tempat tidur sambil menangis. Bi Inah sedang memberikan salep di punggung Bu Misye.
"Mama, mama kenapa Ma?"
"Hiks Doni, mama sudah gak tahan lagi Doni. Ini pasti perbuatan istri kamu yang sudah mengguna-guna mama Doni."
"Apa maksud Mama sih?"
"Viola itu pakai ilmu guna-guna untuk nyantet mama, hiks. Dia tega membuat mama seperti ini."
Bruk pintu kamar Bu Misye terbuka, rupanya Viola mendengar apa yang dikatakan oleh bu Misye.
"Guna-guna apa Ma? bukannya mama yang suka main guna-guna, suka ke dukun, bahkan Mama juga sudah menuduh Sindy main dukun padahal yang main dukun itu kan mama. Sekarang malah nuduh aku!"
"Apa Mama main guna-guna?" tanya Doni dengan kaget.
"Tidak Doni, dia bohong! Dia yang main guna-guna untuk menyantet mama, istri kamu itu tega Doni dia sengaja melakukan itu agar kamu sepenuhnya menjadi miliknya, hiks."
"Mama, Mama ini ngomong apa sih bukannya mama yang dari dulu nyuruh aku menikah dengan Viola?"
"Hiks iya tapi mama menyesal, hiks hiks."
Viola memutar bola mata malasnya sambil bersedekap memandang sinis ke arah Bu Misye.
"Ya sudah ma. nanti saja bicaranya, ayo kita ke rumah sakit sekarang."
Doni berjalan menuju lemari pakaian ia mencari pakaian untuk bu misye pergi ke dokter.
***
Setibanya di rumah sakit dokter juga tidak bisa menjelaskan penyebab gatal dan terasa panas yang terjadi di kulit bu Misye.
"Jadi bagaimana dengan Ibu saya dokter?" tanya Doni.
"Untuk sementara saya berikan suntikan penghilang rasa gatal," ucap dokter itu sambil menuliskan resep.
"Obatnya diminum secara teratur salepnya dipakai dan jika ada keluhan silahkan kembali lagi," ucap Dokter tersebut.
"Baik dokter terima kasih."
Setelah diberi suntikan oleh dokter Bu Misye sudah merasa baikan, dia tak lagi merasa gatal hanya saja seluruh tubuhnya terasa sakit akibat cakaran dan garukan yang menyebabkan luka di sekujur tubuhnya. Belum lagi salep yang terasa panas menyentuh bagian luka tersebut.
Sepanjang perjalanan di dalam mobil Bu Misye terus merintih dengan lirih.
Hingga pulang ke rumahnya pun dia masih terus merintih karena merasakan panas di sekujur permukaan kulitnya.
Setelah diberi obat tidur untuk beristirahat, Bu Misye pun tertidur.
Namun dalam tidurnya dia terlihat begitu gelisah. Doni menghela nafas panjang ketika melihat Bu Misye yang terbaring.
"Mama, mama semoga saja apa yang dikatakan Viola itu tidak benar. Naudzubillah, jangan sampai mama berbuat musyrik mah."
Setelah keadaan Bu Misye tenang, Doni meninggalkan kamar tersebut.
Viola tersenyum sambil menghampiri Doni.
"Kamu kok tersenyum gitu, kamu senangnya mama sakit seperti itu?" Tanya Doni dengan kesal.
"Sayang, kamu ini apa-apaan sih. Aku tuh senang karena aku punya kabar bahagia untuk kamu."
"Kabar bahagia apa?" tanya Doni yang sepertinya kurang tertarik.
Viola membuka genggaman tangannya saat itu ada sebuah tespek dengan garis dua merah.
'Aku hamil Doni," ucap Viola dengan senang dan bangga menunjukkan tespek tersebut.
"Hamil? Bukannya kita baru saja menikah?" tanya Doni yang terlihat ragu.
"Iya kita memang baru menikah tapi bukannya sebelumnya kita sudah pernah melakukan hubungan intim."
Doni menatap lekat ke arah Viola.
"Kenapa kau tidak percaya, jika bayi yang dikandungan ini anakmu?!"
Doni menghindar dari pertanyaan Viola, dia terus berlalu meninggalkan Viola.
"Doni! Tunggu Doni. Kamu tuh kenapa sih?!" tanya Viola sambil berjalan cepat mengejar Doni.
Ketika Viola mengatakan dirinya hamil, tiba-tiba saja Doni teringat akan Sindy. Selama ini dia belum pernah sekalipun mengusap perut Sindy, tak pernah menelpon dan menanyakan kabar janin yang ada di rahim mantan istrinya itu.
Doni sebenarnya malu pada dirinya dan juga Keluarga Sindy, karena dia masih mengira, jika dia dan Sindy itu bersaudara.
Sulit bagi Doni untuk menerima kenyataan yang memilukan itu karena itulah dia berusaha menghindar.
***
Sindy dan kedua orang tuanya mendatangi klinik untuk memeriksakan kandungannya.
Dia sengaja ingin mengetahui jenis kelamin anak yang dikandungnya agar mudah mencari pakaian untuk kelahiran anaknya nanti.
Setelah menunggu beberapa orang antrian, Sindy ditemani kedua orang tuanya masuk ke ruang dokter.
Selama ini hanya kedua orang tuanya lah yang mendampingi Sindy memeriksakan kesehatan janinnya, mereka terus mendukung Sindy dan memberinya semangat.
"Ada keluhan Bu?" tanya dokter.
"Alhamdulillah tidak ada dokter, Saya hanya ingin mengetahui jenis kelamin anak saya."
"Kalau begitu silahkan berbaring ya Bu."
Seorang suster mengarahkan transduser ke permukaan kulit bagian perut setelah diberi gel khusus.
Mereka semua melihat ke arah layar monitor.
"Semuanya normal ya Bu, air ketubannya bagus, letak bayinya juga bagus, jenis kelaminnya perempuan."
"Alhamdulillah," ucap Sindy.
Sebenarnya apapun jenis kelamin anaknya Sindy dan kedua orang tuanya tetap bersyukur
Setelah dari memeriksakan ke dokter kandungan. Kebetulan Mereka ada di kota, mereka sekalian berbelanja untuk persiapan pasca Sindy melahirkan dua bulan ke depan.
Sindy menghampiri supermarket yang khusus menjual pakaian dan perlengkapan bayi.
Bu Anita dan Pak Bramantyo ikut bersemangat memilihkan pakaian untuk cucuk mereka.
Pak Bramantyo melihat satu stel pakaian loreng untuk bayi.
"Sindy, boleh nggak ayah beli pakaian ini?" tanya Pak Bramantyo yang begitu mendambakan cucu laki-laki.
"Hahaha untuk apa Yah? kan anak Sindy perempuan."
"Kan nggak apa-apa kalau dipakaikan baju ini."
"Iya yah, boleh kok, mumpung masih bayi."
Sindy memperbolehkan karena tak ingin mengecewakan ayahnya.
"Yah, sekalian beli kebutuhan untuk besok kita selamatan 7 bulanan," ucap Bu Anita.
"Iya Bu, sudah ayah masuk ke dalam list."
Sindy sibuk berbelanja tanpa sengaja dia melihat sepasang suami istri yang terlihat begitu mesra sedang memilih pakaian untuk calon bayi mereka.
"Yang ini saja sayang, untuk anak kita bagus kan," ucap sang suami sambil mengelus perut istrinya.
"Iya Mas, bagus nih untuk anak kita," jawab sang Istri.
Keduanya tampak bahagia ketika memilih perlengkapan bayi membuat tinggi merasa miris.
Ada kecemburuan di hatinya karena dia tak seperti wanita hamil yang didampingi oleh sang suami itu..
Perlahan bulir bening menetes di pipi Sindy.
Bu Anita menyadari itu, dia melihat Cindy menatap sayu ke arah pasangan muda itu.
"Ayo Nak kita cari barang-barang yang lainnya," ucap Anita sambil menarik tangan Sindy agar menjauh dari tempat itu.
Sindy buru-buru menghapus air matanya.
"Oh iya Yah, mumpung di kota apa kita beritahu Doni tentang acara selamatan anaknya?" tanya Bu Anita.
"Nggak usah lah Bu, Ayah nggak mau bikin masalah lagi, toh nyatanya Doni nggak pernah menghubungi kita meski hanya sekedar menanyakan keadaan janin di kandungan Sindy."
"Iya juga sih Pak."
"Cuma rasanya nggak enak saja, kalau acara syukuran ayahnya nggak datang."
"Biarin saja, toh para warga juga banyak yang tahu tentang keadaan Sindy."
Lagi-lagi Sindy merasa sedih mendengar percakapan kedua orang tuanya.
Seharian itu mereka berbelanja untuk keperluan melahirkan dan kebutuhan selamatan 7 bulan yang akan diselenggarakan dua hari lagi.
Semua belanjaan itu dibayar oleh Pak Bramantyo karena selama ini Doni belum pernah mengirimkan uang nafkah untuk Sindy. Dan mereka belum pernah meminta hak Sindy tersebut.
Bersambung dulu, selamat menjalankan ibadah puasa bagi yang merayakannya. Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh 🙏 terimakasih.
sungguh mantap sekali ✌️🌹🌹🌹
terus lah berkarya dan sehat selalu 😘😘
tahniah buat kehamilan mu Ainun
tahniah Ainun