Setelah melalui malam panas bersama dengan seorang pria dia acara perayaan ulang tahun kakaknya, Sherly akhirnya hamil. Sherly melahirkan anak kembar sejumlah 5 orang anak yang semuanya berjenis kelamin laki -laki yang sangat genius. Tapi dia tak pernah tahu kalau pria yang pernah tidur seranjang dengannya adalah pria pengidap mysophobia!
Alvarendra Rizki, presdir tampan yang hanya tak merasa alergi pada satu wanita, yakni Sherly.
Hai para kakak reader semuanya !
Novel ini masih on going, jangan lupa untuk tetap menyemangati author tercinta kalian ini ya, dengan memberikan like, komen, vote dan favorit.
Author masih pemula, tak kan berhasil tanpa adanya dukungan dari kalian semua. Terimakasih dan selamat membaca!😘😘😘
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon indah yuni rahayu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Terlihat Seperti Kencan
"Ibu mau kemana berdandan rapi sekali?" tanya Abigail seraya menatap ibunya dari bawah ke atas.
"Cantiknya Ibuku, terlihat seperti anak SMA," ujar Boman.
"Jangan berdandan yang mencolok Bu, nanti ibu bisa digoda oleh pria hidung belang." tukas Charles.
"Kencan ya, dengan siapa?" Dave menggoda ibunya, karena baru kali ini melihat ibunya memakai baju yang jarang sekali ibunya pakai.
"Aku boleh ikut?" Ethan merangkul kaki Sherly sambil mendongak.
"Kalian semua, perhatian ibu!" Sherly menepuk tangannya agar pandawa berfokus padanya. Pandawa segera menghentikan mainannya dan memperhatikan ibunya.
"Ibu tak sedang berkencan dan tak ada yang boleh ikut kemana pun ibu pergi. Ibu hanya sedang ada tugas, dan pakaian yang ibu kenakan ini tidak terlalu ketat dan sangat sopan." terang Sherly menjawab pertanyaan pandawa.
"Ibu akan lama?" tanya Ethan yang dengan segera melepaskan pelukannya.
"Ibu juga belum tahu. Kalian jaga rumah dengan baik ya. Ya sudah, anak-anak ibu berangkat dulu. Selamat malam!" Sherly melambaikan tangan.
"Selamat malam, Bu," mereka membalas lambaian tangan ibunya.
Tiga puluh menit Sherly sudah sampai di rumah makan, desainnya terlihat mewah.
"Wah, mewah sekali tempat makan ini!" Sherly berjalan sambil berkeliling kedua bola matanya. Sesekali menyentuh ornamen yang ada di sana.
"Ada yang bisa saya bantu Nona?" tanya seorang resepsionis padanya dengan ramah.
"E, saya sedang ada janji dengan seseorang." sahut Sherly.
"Boleh tahu dengan siapa?"
"Presdir Alvarendra Rizki," sahut Sherly dengan menyebutkan nama lengkap Alva.
Resepsionis wanita mencari data pada bukunya.
"Iya Nona, di meja nomor 25," terangnya seraya menebarkan senyum keramahan.
"Oo, terima kasih." Sherly bergegas mencari meja yang disampaikan resepsionis tadi.
Suasana restoran itu tampak sarat oleh pengunjung. Sesekali dia melirik beberapa pengunjung yang ada di sana. Dia sedikit iri dengan gaya dan penampilan mereka yang terkesan elegan dan glamor.
"Pengunjung yang datang ke sini terlihat orang kaya semua, aku jadi minder dengan penampilanku." Sherly menggenggam erat ujung bajunya seraya melihat pakaian yang ia kenakan.
"Baju yang ku pakai lebih tertutup dari mereka semua. Apa mereka tak merasa kedinginan ya dengan model baju yang terlihat punggungnya." ujarnya sambil mengarahkan pandangan pada sosok pria yang melambaikan tangan ke arahnya.
Sherly segera menuju pria itu.
"Selamat malam Presdir!" sapa Sherly dengan mengangguk hormat.
"Selamat malam! Duduklah!" Alva mempersilahkan dia duduk.
"Tempatnya ramai ya, Presdir," ujar Sherly seraya melayangkan pandang ke segala penjuru. Dia melepas jaket levisnya.
"Ya iya lah, emang kuburan sepi," sahut Alva sedikit kecewa dengan penampilan Sherly. Dia mengira Sherly akan memakai pakaian wanita selayaknya saat berkencan.
"He he he, kamu benar Presdir." Sherly sedikit gugup juga kala menyaksikan penampilan Alva yang keren dan macho banget.
"Kenapa kamu memakai pakaian seperti itu?" tanya Alva sambil menunjuknya.
"Lah, ada yang salah dengan penampilanku?" Sherly mengenakan setelan kemeja warna abu-abu.
"Ini restoran mewah ... "Alva sedikit berbisik.
"He he he, aku kira kamu mengajakku makan malam sekalian membahas pekerjaan, lagi pula kamu juga tak mengatakan akan makan di tempat seperti ini." terang Sherly.
"Ya Tuhan, dia nggak peka atau emang dia benar-benar lugu. Masa di ajak makan malam sambil bahas pekerjaan," batin Alva berkomentar.
"Kamu nggak tahu, kalau dua pasangan sedang makan malam itu terlihat seperti apa?"
"Terlihat seperti kencan," sahut Sherly asal.
Alva hanya menaikkan alisnya.
"Kita sedang kencan, Presdir?"
"Terserah kamu menyebutnya apa,"
Pelayan wanita datang sambil mengantarkan minuman yang sudah ia pesan sebelum Sherly datang tadi.
"Haciu, haciu," bersin Alva kambuh lagi.
"Presdir flu?" Sherly mendekatkan kotak tisu padanya.
Alva segera mengambil tisu dan mengelap ingusnya.
"Tidak," sahut Alva datar, dia tak ingin tahu rahasianya terbongkar.
"Mungkin aku alergi dengan cuaca dingin." terangnya bohong.
"Dingin? Padahal kamu mengenakan jas, masa masih terasa dingin?" sanggah Sherly tampak kecemasan terdalam pada dirinya.
Alva bingung untuk menimpali perkataan Sherly.
Tak lama kemudian pelayan tadi datang sambil membawa makanan, Alva pun semakin sering bersinnya.
"Wah, menu makanannya banyak sekali! Siapa yang akan memakan semua ini?" Sherly memandang deretan piring di hadapannya.
Dalam meja itu terdapat 10 menu makanan antara lain : Louis XIII Pizza, Densuke Black Watermelon, Faberge Chocolate Pudding, Fleur Burger, Golden Opulence Sundae, Posh Pie , The Glamburger, Fortress Stilt Fisherman Indulgence, Dalmas Caviar. Yang mana menu makanan itu semua belum pernah ia jumpai, kecuali pizza.
Tampak liurnya terasa akan jatuh kalau saja Sherly tak menahannya.
"Tentu kita lah, siapa lagi?" Alva benar-benar kesal dibuatnya. Entah mengapa, sejak tahu Sherly pagi tadi di antar cowok yang tak begitu jelas wajahnya tertangkap di layar CCTV, Alva jadi uring -uringan sendiri. Dia mengambil tisu lagi untuk membersihkan sisa ingusnya.
"Tapi, mana cukup perutku menampung semua makanan ini?"
"Ya, kamu tinggal pilih saja makanan mana yang ingin kamu makan,"
"Terus kalau aku pilih satu, sisanya bakal kamu makan semua?"
"Ya nggak lah," sahut Alva datar.
"Terus, diapakan semua makanan ini bila kita tak memakannya?"
"Tentu saja makanan itu akan di buang." sahut Alva yang berhasil membuat Sherly melongo.
"Terus ... "
"Terus, terus, terus makan!" Alva mengajak Sherly untuk menyantap hidangan itu. Alva sebelum mengambil sendok dan garpu terlebih dahulu dia menyemprotkan handsanitize pada kedua telapak tangannya.
Sherly mengucapkan doa dulu sebelum makan, sempat tingkahnya tertangkap pandang oleh Alva.
"Dia agamis juga," batin Alva yang justru menirukan gerakan Sherly, dia tanpa berpikir panjang melakukan seperti yang Sherly lakukan tadi.
Di tengah acara makan, pelayan wanita yang lain melewati Alva, seketika itu dia bersin-bersin lagi.
Sherly segera berdiri mendekati Alva.
Alva pun kaget dengan tatapan Sherly.
"Kamu sakit?" Sherly menempelkan punggung tangannya ke dahi Alva.
"Nggak panas kok, nih, kenakan jaketku!" Sherly memakai kan sendiri jaket levisnya pada Alva. Ukurannya pas di badan Alva, dulu Sherly sengaja membeli jaket levisnya itu saat di luar negeri, yang ukurannya sedikit jumbo untuk menghilangkan lekuk badannya.
Alva tak habis pikir dengan apa yang barusan Sherly lakukan padanya. Dia tak bisa menolak.
"Aku, mengapa aku jadi kikuk begini, hai Alva, sadar ... " batin Alva, kini dia mencoba mengumpulkan keberaniannya untuk bertanya langsung atas peristiwa 6 tahun lalu.
"Presdir, sepertinya perutku masih lapar, aku makan yang ini ya!" Sherly mengambil fleur burger. Alva hanya mengangguk ringan.
"Ya Tuhan, dia sungguh rakus." batin Alva.
"Pasti kamu mengataiku rakus kan?" tanya Sherly, tak jelas suaranya karena mulutnya penuh makanan.
"Bagaimana dia bisa tahu?" gumamnya dalam hati seraya mendelik matanya.
"Ditelan dulu baru bicara!" tukas Alva tak menghiraukan ucapan dia tadi.
Sherly menelan paksa makanannya dan mengulangi kalimatnya tadi, belum sampai Alva menjawab, Sherly sudah menjawabnya sendiri.
"Kalau aku tak rakus, makanan di meja ini pasti tak kan habis. Mubazir jika makanan ini harus dibuang begitu saja." terang Sherly membuat Alva terkekeh sendiri.
"Kok malah tertawa?"
"Sherly, kamu kira kita ini tinggal di desa, ini kota, hal lumrah membuang makanan sisa itu."
"Baik di desa maupun di kota namanya ya tetap juga mubazir. Kamu tahu, mubazir itu temannya setan." terang Sherly lagi.
"Kamu mengataiku setan?" Alva berdiri dan 'pletak ' tangannya berhasil menyentil dahinya.
"Aduh, sakit Presdir!" Sherly mengusap dahinya.
"Kalau sedang makan denganku jangan banyak bicara!" Alva segera menutup makanannya dengan minum segelas milktea.
Sherly pun berhenti dengan aksi makan besarnya. Dia juga mengakhiri makanannya, minum dengan minuman yang sama.
Sherly melambaikan tangan ke arah pelayan, aksi nya hanya diperhatikan saja oleh Alva.
"Iya Nona, ada yang bisa saya bantu?" tanya pelayan itu ramah.
"Tolong, kamu bungkus semua makanan yang ada di meja ini!" ucap Sherly seraya menunjuk jarinya ke atas meja. Pelayan mengangguk dan merapikan makanan tersebut.
"Ya Tuhan, apa yang kamu lakukan Sherly? Bikin malu tahu," Alva mengusap wajahnya kasar.
"Ya dari pada aku jadi temannya setan, mending makanan ini aku bawa pulang." sahutan Sherly bikin Alva menggelengkan kepala.
Pelayan itu selesai merapikan meja lalu pergi.
"Ada yang ingin aku katakan padamu." ucap Alva serius. Dia sudah tak bisa menahannya.
"Katakan saja Presdir!"
"6 tahun lalu, kamu masih ingat kan?"