Manusia bercita cita namun kembali Allah yang berhak menentukan.
Baiknya...
Buruknya...
Senangnya...
Sedihnya...
Memiliki rumah sangatlah cukup untuk berteduh.
Pastinya aman untuk berlindung.
Tapi tanpa cahaya?
Akankah tetap menjadi indah?
Akankah tetap terasa nyaman?
Akankah akan merasa aman dalam kegelapan?
Masalalu tidak selamanya buruk.
Bisa jadi masalalu adalah sebuah titik balik untuk mendapatkan yang jauh lebih baik.
Manusia hanya bisa melakoni apa yang sudah digariskan apa yang sudah ditetapkan. Hanya manusia masih dapat merubah melalui usaha dan do'a.
Perjalanan yang tidak selalu mudah.
Tidak pula menjanjikan pemandangan yang indah.
Tapi satu yang harus diyakini jika Allah ada bersama hambanya. Jika usaha tidak akan berkhianat.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Fennita Eka Putri Nurfadiyah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BUA 28
"Bunda..." suara itu yang pertama kali menyapa pendengaran Haifa.
Setelah tadi sempat tidak sadarkan diri. Alvin tidak langsung membawa Haifa ke rumah sakit. Ia lebih memilih membawanya ke kamar dan menelpon abangnya. Untung saja pada saat ini Arvan sedang tidak sibuk dan sulit dihubungi.
Mendengar penjelasan Alvin mengenai kondisi dan keluhan yang dialami Haifa seperti lemas, letih, lesu, sakit kepala dan mual mual. Arvan mengira adik iparnya itu sedang mengandung. Alvin saja awalnya mengira seperti itu hingga tadi pagi-pagi Alvin bergegas ke apotek untuk membeli testpack. Tapi setelah tes memang masih negatif.
Arvan menyarankan Alvin untuk melakukan pengukuran suhu tubuh Haifa. Jika sampai sore nanti suhu tubuhnya tinggi atau tidak stabil, Arvan menyuruh untuk langsung dibawa ke rumah sakit.
Baru beberapa menit yang lalu Haifa membuka mata. Alvin membantu Haifa yang sepertinya ingin duduk.
Alvin meraba kening Haifa, masih panas tidak banyak perubahan.
"Makan ya, terus minum obat." tawar Alvin.
"Tadi udah makan kok." jawab Haifa.
"Kapan? Pagi? Pagi kamu makan sedikit itupun kayaknya keluar lagi pas kamu muntah muntah."
"Bunda jangan takit." ucap Aina sambil memegangi tangan Haifa.
"Enggak sayang bunda baik baik aja kok. Tapi Aina jangan deket deket begini dulu ya sama bunda. Nanti Aina jadi ikutan kayak bunda." ucap Haifa sambil mengusap kepala Aina dengan tangan satunya.
"No. Aina mau tama bunda."
"Sayang..."
"Liatkan anaknya begitu, gak tegakan?"
Haifa mengangguk.
"Sama saya juga gak tega lihat kamu begini."
Tunggu apa tadi saya lagi? Haifa menyadari jika suaminya itu saat ini sedang marah.
"Iya Haifa makan." ucap Haifa.
Tanpa bicara Alvin langsung beranjak keluar kamar, pastinya ingin mengambil makanan untuk Haifa.
"Mas." panggil Haifa sebelum Alvin benar benar keluar. Alvin hanya menoleh.
"Makannya di meja makan aja gak perlu di kamar." ucap Haifa sambil hendak turun dari tempat tidur.
"Diam disitu. Saya tidak mau kamu memaksakan diri yang akhirnya menyusahkan diri kamu sendiri."
Iya memang sebenarnya Haifa juga mengakui badannya masih sangat lemas. Tapi Haifa tidak mau memanjakan badannya.
Sementara Haifa masih diam Alvin sudah hilang. Tidak lama Alvin kembali dengan sepiring nasi dan segelas air.
"Makan." ucapnya sambil menyodorkan piring tersebut pada Haifa.
Haifa menerimanya tapi belum juga memakannya.
"Dimakan bukan dipandang terus. Kamu pikir nasi di piring itu akan luluh sama tatapan kamu terus jalan sendiri masuk ke mulut kamu gitu?" tanya Alvin dengan nada dinginnya.
Oke Haifa tau Alvin marah. Tapi tolong kalau bisa tunda dulu jangan marah marah sekarang. Bayangkan saja tanpa suami marah kepalanya sudah berat dan pusing. Apalagi ditambah Alvin marah marah.
Melihat makanannya sama sekali belum disentuh oleh Haifa. Alvin mengambilnya kembali kemudian menyuapkannya ke mulut Haifa.
"Kalau mau disuapin bilang. Jangan ngode pake acara gak mau makan." ucap Alvin sambil melayangkan sendok ke depan mulut Haifa. Haifa belum mau membuka mulut.
"Perlu saya suapi kamu sambil main pesawat pesawatan?" tanya Alvin.
Haifa menatap sekilas ke arah Alvin. Yang ditatap tidak peduli. Ya mau tidak mau Haifa membuka mulut dan menerima suapan pertama dari Alvin.
"Hihi bunda di tuapin tama papa." ucap bocah kecil yang ada disampinya sambil terkekeh.
Ya Allah sejak kapan anaknya ini jadi suka menggoda. Sekarang Haifa dibuat malu dengan ucapan anaknya sendiri. Sementara Alvin hanya tersenyum sekilas.
Butir butir nasi yang ada dipiring lama kelamaan berkurang juga. Walaupun setiap suapan harus disertai tatapan tajam dan membunuh dari Alvin agar Haifa mau menurut.
"Udah mas." ucap Haifa.
"Lagi, ini baru setengah." paksa Alvin.
"Udah ya. Yang pentingkan Haifa udah makan. Daripada dipaksa tapi malah nanti muntah."
Iya betul juga sih. Sampai setengah saja sudah lumayan.
"Yasudah. Minum dulu, terus diminum nih obatnya."
Haifa menurut ia mengambil sebutir obat ditangan Alvin.
"Kalau sampai sore demam kamu gak turun. Kita ke rumah sakit." ucap Alvin sambil membereskan bekas makan Haifa.
"Enggak usah. Abis minum obat juga pasti mendingan." jawab Haifa.
"Lihat saja nanti." ucap Alvin sambil membawa bekas makan Haifa ke luar kamar.
Pukul 16.00 Alvin melihat Haifa masih tertidur dengan Aina disampingnya. Aina benar benar tidak mau jauh bahkan ketika Haifa memaksa pun ia malah menangis.
Alvin meraba kening Haifa. Obat yang diberikan sepertinya tidak ada pengaruhnya. Alvin sudah mengikuti saran Arvan untuk mengecek suhu tubuh Haifa satu jam sekali. Dan setiap ia mengecek angka di termometer tidak pernah berada di bawah angka 39.
Sekarang mau tidak mau Alvin harus membangunkan Haifa untuk shalat ashar terlebih dahulu. Kemudian membawanya ke rumah sakit.
Setelah berdebat panjang akhirnya Haifa terpaksa mengikuti mau Alvin. Sekarang mereka sudah berada di IGD. Sebelumnya Alvin sudah lebih dulu menitipkan Aina ke rumah mama mertuanya. Karena rumah mama mertuanya searah dengan perjalanan ke rumah sakit. Kalau harus ke rumah ibu itu akan lebih jauh.
Beberapa jam berada di IGD, dokter yang ada di IGD mengharuskan Haifa untuk dirawat inap. Tidak lama setelah itu Haifa dibawa ke ruang perawatan.
Efek dari perdebatan mereka tadi membuat Haifa mendiami Alvin. Tapi Alvin tidak peduli. Karena apa salahnya, yang dia lakukan juga untuk kebaikan Haifa.
Malamnya ibu dan ayah datang untuk menjenguk Haifa. Alvin sempat gusar melihat ibunya datang. Ia takut kebiasaan ibunya melontarkan kalimat kalimat yang suka menyinggung itu akan terjadi disini. Tapi untunglah ibu tidak melakukan itu, entah sudah dibreafing oleh ayah atau memang ibu sendiri yang sadar itu tidak penting yang jelas Alvin bersyukur ketakutannya tidak terjadi. Karena jika sampai terjadi bahaya, bisa saja menjadi beban pikiran bagi istrinya.
Tiga hari dirawat kondisi Haifa berangsur membaik. Ternyata setelah dilakulan pemeriksaan Haifa mengalami typus. Walaupun sudah berangsur membaik tapi Haifa belum diperbolehkan pulang. Mode diamnya pada Alvin pun sedikit berkurang karena bagaimana mau mode diam kalau di ruangan itu selalu hanya mereka berdua.
"Mas." panggil Haifa pada Alvin yang sedang fokus pada laptopnya. Ya memang selama di rumah sakit Alvin membawa pekerjaannya dan mengerjakannya di ruangan ini juga.
"Ya." jawab Alvin.
"Mau pipis." ucap Haifa.
"Terus saya harus gimana?" jawab Alvin.
Haifa mendengus kesal padahal Alvin sendiri yang bilang kalau butuh apa apa harus memberitahu dirinya. Dan kemarin saat Haifa memaksa ke kamar mandi sendiri Alvin marah marah karena Haifa oleng dan hampir jatuh. Tapi sekarang malah seperti itu, yasudah Haifa berusaha ke toilet sendiri. Kalaupun nanti dia marah marah salahnya sendiri, Haifa sudah bilang tapi tanggapannya malah begitu.
Baru beberapa langkah dari tempat tidur badan Haifa rasanya sedikit oleng. Ia berniat putar balik ke tempat tidur. Tapi tiba tiba ada sesosok manusia yang memapahnya ke kamar mandi.
"Ih mas jangan ikut masuk." larang Haifa saat Alvin hendak masuk.
"Kenapa? Lantai kamar mandi itu licin. Kamu berjalan dari tempat tidur selangkah aja oleng."
"Ih tapi ya gak ikut masuk juga. Please tunggu di luar ya."
"Saya ikut masuk atau kamu pipis dengan pintu kamar mandi yang terbuka?" kata Alvin memberikan pilihan.
"Hah kok gitu."
"Pilihannya cuma dua Ny. Alvin." ucapnya di depan muka Haifa. Dan hasilnya blush, wajah putih yang nampak sangat pucat itu menjadi menarik dengan semburat merah di pipinya.
"Yaudah iya. Tapi mas hadap sana jangan lihat kesini." ucap Haifa.
Oke kali ini Alvin menurut.
"Terimakasih." ucap Haifa saat Alvin membantunya kembali berbaring.
"Sama sama." ucap Alvin kemudian mengelus kepala Haifa dan mencium keningnya.
"Cepet sembuh udah dikasih obat tuh sama suami." ucap Alvin yang berhasil membuat Haifa merona lagi tapi dengan tidak bertanggung jawabnya Alvin langsung meninggalkan Haifa dan kembali ke sofa bersama pekerjaannya.
Ba'da maghrib Mama, Papa, Keanu beserta putri cantik mereka datang menjenguk sambil membawa makan malam untuk Alvin. Haifa yang masih mengenakan mukena langsung menyalami mereka.
"Bunda Aina lindu." ucap putri kecilnya yang sekarang sudah duduk diatas tempat tidur sambil memeluk Haifa. Semua yang ada disana tersenyum mendengar ucapan Aina. Dan terjadi obrolan seru antara buda dan anak itu melupakan yang lainnya.
"Vin. Kalau kata mama kamu mending pulang, istirahat di rumah. Ya walaupun di sini tetap bisa tidur. Tapi kan gak lebih nyaman daripada di rumah. Mama takut nanti kalian malah tumbangnya gantian." ucap mama.
"Nah bener Alvin mending pulang dulu biar malam ini aku yang jaga." ucap Keanu.
"Iya mas pulang aja. Istirahat di rumah. Mas juga udah beberapa hari gak ke kantor kan. Haifa gak apa apa kok." ucap Haifa.
Iya memang selama Haifa di rawat inap. Selama itu juga Alvin tidak pulang dan tidak ke kantor ya walaupun tetap bekerja jadi kesannya hanya pindah tempat saja.
"Gak apa apa ma, pa, bang. Alvin disini aja, Gak senyaman rumah tapi masih tetap bisa istirahat teratur kok. Kan anak mama ini udah kayak alarm jadi tau kapan waktunya ngebawelin Alvin buat istirahat." ucap Alvin. Mama dan Papa tersenyum mendengar penuturan Alvin dan Haifa sudah tahu kan bagaimana kalau Ny. Alvin ini sedang malu malu?
"Ya Allah deritaku." ucap Keanu asal.
"Kenapa bang?" tanya Alvin.
"Gak apa apa. Cuma sedih aja gak punya Alarm."
"Uncle Ken kan bita beli." sambung Aina. Entah sejak kapan bocah itu menyimak obrolan orang dewasa.
"Haha iya iya nanti uncle beli yang banyak."
"Gausah banyak banyak bang. Satu aja yang penting berani seriusin." ucap Alvin
"Gimana mau berani seriusin yang lain kalau gak move on move on." sambung Haifa.
"Adeeekkk." geram Keanu.
"Oh Abang belum move on dari anaknya tante Ika yang udah nikah?" tanya Mama.
"Yah mama diperjelas lagi kan sakit hati abang." ledek Haifa.
"Abang sih gak bilang sama papa. Kalau bilang kan bisa papa jodohin sebelum dia nikah."
"Heh ini kok jadi bahas abang."
"Adek gimana udah mendingan kan?" tanya Keanu mengganti topik pembicaraan mereka.
"Alhamdulillah sih bang demam sama mual, muntah udah enggak. Pusing juga berkurang sisa lemesnya aja. Berdiri aja kadang masih gemeter." ucap Haifa.
"Makannya harus dipaksain dek. Gimanapun juga buat bisa sembuhkan butuh asupan."
"Susah ma kalau disuruh makan. Harus main pesawat pesawatan biar mau buka mulut." ucap Alvin.
"Enggak bohong Mas Alvin lebay. Haifa makan kok meskipun sedikit tapi yang pentingkan ada yang masuk."
Sudah pukul 21.00 Aina juga sudah mulai mengantuk. Dan mama, papa, Keanu, Aina pamit untuk pulang.
"Alvin bener nih gak mau pulang. Kalau mau gak apa apa aku yang jaga." kata Keanu.
"Gak apa apa bang. Alvin di rumah juga gak tenang. Yang sakitnya bandel soalnya." jawab Alvin.
"Haha yaudah deh kalau gitu kita pamit ya. Assalamualaikum."
"Wa'alaikumsalam."
Setelah mereka pulang, Alvin kembali dengan pekerjaannya. Sementara Haifa ia sibuk memperhatikan Alvin yang tampak sangat serius dengan laptop dan lembaran kertas yang ada di depannya. Sesekali Alvin tampak memijat pelipis ataupun tengkuknya.
Haifa mengambil handphone miliknya. Ia membuka aplikasi kamera. Iseng, Haifa ingin mengambil foto suaminya yang sedang fokus bekerja itu. Tapi sayangnya saat mulai mengambil gampar Haifa lupa mematikan lampu flash di handphonenya alhasil Alvin menyadari jika dirinya diam diam hendak di foto.
"Kamu fotoin mas?" tanya Alvin. Pertanyaan yang tidak perlu sebenarnya. Karena yakin tanpa bertanya Alvin sudah tahu jawabannya.
"Nggak." Bohong Haifa.
"Kalau mau foto bilang bilang dong. Kan mas bisa bergaya dulu." ucapnya sambil meyugar rambut ke belakang serta merapikan posisinya.
"Nah sekarang udah. Ayo mau candid atau gimana?" tanya Alvin.
"Mas Alvin ih kenapa sih ngeselin banget." kesal Haifa.
"Haha jadi gak nih di foto?"
"Gak."
"Yaudah."
"Ya Allah sabar Haifa sabar." ucap Haifa sambil mengelus dada.
Alvin yang masih bisa mendengar hanya tersenyum mendengar kekesalan Haifa. Alvin sedikit lega, jika istrinya itu sudah kembali bisa seperti itu tandanya kondisinya memang sudah lebih baik.
Satu minggu lamanya Haifa menjadi pasien rumah sakit. Dan ini hari pertama ia berada di rumah lagi. Tadi pagi dokter sudah mengizinkannya pulang dengan syarat perbanyak istirahat selama masa pemulihan.
"Aina teneng bunda udah pulang ke lumah lagi." kata Aina.
"Bunda juga seneng bisa main lagi sama Aina."
"Belalti betok bunda antelin Aina tekolah lagi. Yeee."
"Belum bisa sayang." ucap Alvin.
"Kenapa?"
"Bunda harus istirahat dulu di rumah. Jadi besok Aina diantar papa ya."
"Iya deh. Tapi bunda tepet tembuh."
"Pasti." jawab Haifa dengan yakin.
"Aina udah makan belum?" tanya Haifa.
Aina mengangguk.
"Alhamdulillah pinter kalau begitu."
Pukul 21.30 Alvin baru saja masuk kamar setelah menidurkan Aina. Alvin melihat Haifa masih terjaga.
"Kenapa belum tidur? Ada yang sakit lagi?" tanya Alvin sambil mendekat dan duduk di samping Haifa. Kemudian memegang dahi Haifa.
"Haifa udah gak apa apa tau." ucap Haifa.
"Yaudah tidur. Walaupun kamu udah gak apa apa mas masih belum tega kalau harus bikin kamu gak tidur." ucap Alvin sambil mengusap rambut Haifa.
"Mas makasih ya. Udah mau jagain Haifa dan rawat Haifa dari kemarin kemarin sampai sekarang ya pokonya selama Haifa sakit. Mas juga udah sabar ngadepin Haifa yang kat mas bandel ini. Walaupun mas jadi galak banget pas Haifa lagi sakit tapi gak apa apa Haifa tetep makasih mas selalu jagain Haifa."
"Iya sayang. Tapi emang begitu kan seharusnya suami istri?" tanya Alvin sambil tersenyum. Haifa tersenyum membalas.
"Tapi tunggu apa tadi galak?"
"Iya mas jadi galak marah marah terus. Tau gak kepala Haifa udah pusing jadi tambah pusing mas marah marah. Ya emang yang mas bilang itu bener. Tapi kenapa harus marah marah coba."
"Haha maaf kalau kamu merasanya begitu. Tapi gak ada maksud marah marah karena benci atau apapun. Itu mungkin luapan emosional mas yang gak tega lihat istrinya sakit kayak kemarin. Tapi istrinya bandel gak nurut dibilangin sekali. Jadi harus sedikit di galakin." ucap Alvin.
"Tapi apapun itu makasih banyak ya. Jadi yakin kalau mas itu sebenarnya sayang sama Haifa."
"Kata siapa?"
"Oh jadi enggak?"
"Emang mas pernah bilang sayang sama kamu?"
"Oh enggak ya. Yaudah apapun itu alasannya makasih." ucap Haifa.
"Haha ngambek?"
"Gak."
"Jangan ngambek sayang."
"Haifa gak ngembek!"
"Terus apa? Merajuk?"
"Mas becanda. Tanpa mas bilang juga harusnya kamu bisa merasakan."
"Udah jangan ngambek ngambek. Sekarang tidur." ucap Alvin membantu Haifa berbaring.
"Mas gak tidur?" tanya Haifa karena Alvin masih duduk disampingnya.
"Masih ada pekerjaan sedikit."
"Jangan tidur kemalaman."
"Iya enggak. Sejam juga Insya Allah beres cuma cek beberapa email aja."
"Yaudah kamu tidur ya." ucap Alvin.
***
**To be continued...
See you next part**...