Fenomena pernikahan tidak selalu berjalan sesuai harapan. Pengkhianatan pasangan menjadi salah satu penyebab utama keretakan rumah tangga. Dalam banyak kasus, perempuan sering menjadi pihak yang dirugikan. Namun, di tengah luka dan kekecewaan, tak sedikit perempuan yang mampu bangkit dan membuka hati terhadap masa depan, termasuk menerima pinangan dari seorang pria.
Pertemuan yang tak terduga namun justru membawa kebahagiaan dan penyembuhan emosional.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Cumi kecil, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
EPISODE 9 MALAM HANGAT
Malam mulai turun dengan lembut. Angin berembus pelan, membawa aroma rumput basah dan wangi bunga kenanga dari taman belakang. Di bawah lampu taman yang temaram, sebuah meja bundar kecil dikelilingi lima kursi. Di atasnya, teko teh panas mengepul, ditemani beberapa potong kue talam buatan Umi.
Umi menuangkan teh ke cangkir satu per satu, wajahnya teduh seperti biasa. Abi duduk santai di sampingnya, mengenakan sarung dan sweater tipis. Bang Dafi bersandar di kursi dengan wajah ceria, sedangkan Sofia duduk di sebelah Umi, menggenggam cangkir teh hangat sambil sesekali mencuri pandang ke arah Ammar yang duduk di seberangnya.
“Besok kita jadi berangkat jam delapan, ya,” kata Abi membuka obrolan. “Biar nggak kesiangan nyampe ke toko. Banyak yang harus dicari buat lamaran Bang Dafi.”
“Betul,” timpal Umi. “Kita harus pilih yang terbaik. Keluarga calon besan pasti menaruh harapan besar.”
Bang Dafi tersenyum, wajahnya sedikit memerah. “Aduh, deg-degan juga nih. Nggak nyangka akhirnya sampai tahap ini…”
Sofia langsung menimpali sambil bercanda, “Iya lah, Bang. Alhamdulillah, akhirnya ada juga yang kuat mental mau jadi istri Abang!”
Semua tertawa, termasuk Ammar. Tapi ia juga melirik sekilas ke arah Sofia. ada kehangatan di matanya. Sofia tertawa paling keras, lalu buru-buru meneguk tehnya agar tak terlalu memperlihatkan pipinya yang memerah lagi.
“Besok siapa aja yang ikut ke kota?” tanya Ammar.
“Abi, Umi, aku, Sofia…” kata Dafi sambil menunjuk satu per satu. Lalu matanya menoleh ke sahabatnya. “Kamu ikut juga dong, Mar. Biar sekalian bantu pilih barang hantaran. Seleramu oke.” Ucap bang dafi " Dan sekalian supirin gitu hahaha "
“Wah, boleh juga,” jawab Ammar sambil mengangguk pelan. “Asal nggak ngerepotin.”
Sofia ikut bersuara, “Nggak apa-apa, malah seru rame-rame.”
Umi tersenyum melihat interaksi itu. Ia melirik Abi sekilas, lalu berkata, “Ammar, kalau nanti udah waktunya kamu juga serius, jangan ragu-ragu ya. Perempuan baik itu banyak… asal kamu bisa lihat dengan hati.”
Ammar menunduk sopan. “Iya, Umi…”
Sofia meneguk tehnya pelan, menyembunyikan senyum kecil di balik uap cangkir. Malam itu terasa tenang, tapi dalam diam-diam, ada sesuatu yang tumbuh perlahan mungkin rasa, mungkin harapan.
Teh di cangkir Sofia mulai mendingin. Tawa dan obrolan masih mengalir ringan di taman belakang, tapi pikiran Sofia perlahan melayang jauh dari tawa itu
Malam yang hangat ini, tawa keluarganya, dan senyum tenang Ammar… semuanya membuat hatinya merasa nyaman. Terlalu nyaman, sampai ia sendiri kaget ketika menyadari. dia belum memikirkan Ilham sejak tadi sore.
“Sofia?” suara lembut Umi membuyarkan lamunannya.
Sofia tersentak kecil. “Eh, iya, Umi?”
“Kamu ngantuk?” tanya Umi, memperhatikan mata anak gadisnya yang sayu.
Sofia tersenyum tipis. “Nggak kok, cuma... mikir aja.”
Abi ikut bicara, “Besok siap-siap yang rapi ya. Sofia ikut bantu Umi pilih seserahan. Selera kamu bisa diandalkan.”
“Iya, Bi.” Sofia mengangguk.
Dari sudut mata, Sofia melihat Ammar memperhatikan dirinya. Tatapan pria itu tak mengganggu, justru terasa... mengerti. Seolah ia tahu, Sofia sedang menyimpan sesuatu di dalam hati yang tak sempat dibagi.
Setelah semua masuk ke dalam rumah, Sofia menyempatkan duduk sendirian di tangga kecil teras belakang. Ia mengeluarkan ponsel, membuka jendela pesan.
Kosong.
Ia membuka obrolan terakhir dengan Ilham. Terakhir kali mereka bertukar pesan adalah dua hari lalu. Isinya hanya formal. Dingin. Tak ada pelukan kata. Tak ada “aku kangen.” Bahkan tak ada “hati-hati, ya.”
Sofia menutup ponselnya. Matanya menerawang langit malam. Ia tak ingin berpikir yang aneh-aneh, tapi ia tahu… ada sesuatu yang mulai retak dalam diam.
Dan dalam kehangatan malam ini, untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, Sofia merasa... tidak terlalu kesepian.
.
lanjutkan Thor 🙏🙏🙏