Novel ini akan mengisahkan tentang perjuangan Lucas Alarik yang menunggu sang kekasih untuk pulang kepelukannya. Mereka berjarak terhalang begitulah sampai mungkin Lucas sudah mulai ragu dengan cintanya.
Akankah Mereka bertemu kembali dengan rasa yang sama atau malah asing?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon lee_jmjnfxjk, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 28. Pengakuan dan Keseimbangan
Ruang Athaya tetap hangat setelah rapat resmi proyek. Lucas, Danu, Gio, dan Athaya duduk di kursi empuk di sekitar meja kopi kayu gelap. Jendela besar menatap Tokyo yang bersinar terang di sore hari, memberi kesan tenang, tapi ketegangan masih terasa.
“Sekarang santai sebentar,” kata Athaya sambil menata coat-nya. “Tanpa dokumen, tanpa slide. Hanya kita dengan urusan pribadi dan strategi proyek.”
Gio menatap meja, tangannya gemetar sedikit saat menyentuh perutnya. Lucas duduk di sampingnya, waspada, sementara Danu di seberang menatap Gio dengan campuran khawatir dan penasaran.
Athaya menatap Gio tajam. “Gio, jangan minum kopi dulu. Badan lo lagi gak bisa terpapar kafein,” ucapnya tegas.
Gio mengangguk pelan. Tangan yang gemetar tadi kini menekan perutnya, yang mulai terlihat lebih jelas, sekitar empat bulan. Ia menarik napas panjang,setiap gerakan mulai menguras tenaganya lebih banyak dari yang seharusnya.
“Ada yang mau lo bilang, Gio?” tanya Athaya lagi, lembut tapi menuntut kejujuran.
Gio menunduk, menatap perutnya. “Gw… hamil. Dan… ya, anaknya…” Suaranya tercekat, menahan getaran emosinya.
Danu menelan ludah, jantungnya berdegup kencang. “Siapa ayahnya, Gio?” tanyanya akhirnya, suaranya hampir seperti berbisik.
Gio menatap langsung ke matanya Danu. Ada campuran takut dan yakin di tatapannya. “Itu… lo, Danu.” ucapnya pelan tapi tegas, tangan di perutnya seolah ingin memastikan kebenaran kata-katanya.
Danu tercekat. Ia menunduk, menatap tangannya sendiri, tidak percaya. Lucas menatap keduanya, hatinya bergetar. Athaya menghela napas, menatap Gio dan Danu secara bergantian, wajahnya serius.
“Sekarang, jangan pikirkan yang lain. Fokus ke kesehatan lo,” ujar Athaya, menepuk tangan Gio sebentar. “Dan ingat—tidak ada kopi dulu.”
Gio mengangguk, mencoba tersenyum, tapi tubuhnya bereaksi. Ketika sekretaris Athaya datang membawa nampan cemilan—kue dan roti kecil yang harum—Gio tiba-tiba menunduk, wajahnya pucat. Bau itu terlalu kuat.
Sebelum ada yang sempat bertanya, tubuhnya menolak. Ia menekuk pinggang, menutup mulut, dan muntah tepat di samping kursi. Lucas cepat menahan punggungnya, sementara Danu menyodorkan tisu, tangan gemetar.
“Gio… coba tenang,” ucap Danu lembut, sambil menopang tubuhnya dan mengelus kepalanya lembut seperti berusaha mengalirkan rasa aman. Gio menarik napas dalam, tetapi bau makanan itu masih menusuk indera penciumannya.
Athaya menatap, ekspresi setengah kesal, setengah khawatir. “Seharusnya gw peringatkan, jangan lihat itu dulu.” Ia menepuk pundak Gio dengan hati-hati.
Gio menelan ludah, menunduk, tangan tetap menekan perutnya. “Maaf… maaf…” bisiknya.
Danu duduk kembali, menatap Gio. “Gw gak akan biarin lo sendiri,” katanya pelan. “Gak masalah apapun yang terjadi.” lanjutnya.
Gio menatapnya, mata basah, napas berat, tetapi senyum kecil muncul di bibirnya. “Gw… gak mau nyembunyi lagi. Gw mau kalian tau semuanya. Gw capek diem.”ujarnya.
Athaya menghela napas panjang, menatap keduanya. “Baik. Sekarang kita santai sebentar. Minum air, makan cemilan yang di sediain. Kita atur semua langkah berikutnya dengan hati-hati supaya gak membahayakan Gio ataupun orang lain.” ucapnya.
Gio mengusap pelan perutnya, lega karena akhirnya ada yang tahu kebenaran, sekaligus cemas karena harus menghadapi semua reaksi dan tanggung jawab.
Lucas menatap mereka bertiga, hatinya penuh campuran lega dan khawatir. Dunia di luar ruangan ini tetap bergerak cepat, tapi di meja ini, mereka menemukan sedikit keseimbangan—meski sementara.
-bersambung-