Untuk membalaskan dendam keluarganya, Swan Xin menanggalkan pedangnya dan mengenakan jubah sutra. Menjadi selir di Istana Naga yang mematikan, misinya jelas: hancurkan mereka yang telah membantai klannya. Namun, di antara tiga pangeran yang berebut takhta, Pangeran Bungsu yang dingin, San Long, terus menghalangi jalannya. Ketika konspirasi kuno meledak menjadi kudeta berdarah, Swan Xin, putri Jendral Xin, yang tewas karena fitnah keji, harus memilih antara amarah masa lalu atau masa depan kekaisaran. Ia menyadari musuh terbesarnya mungkin adalah satu-satunya sekutu yang bisa menyelamatkan mereka semua.
Langkah mana yang akan Swan Xin pilih?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Black _Pen2024, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 12 Tanda tangan Jendral Zen.
“Perlindungan?” desis Swan, suaranya setajam serpihan es. Ia tidak mundur, tatapannya mengunci mata San Long. “Yang Mulia, menyebut pengawasan pengecut dari atas atap ini sebagai perlindungan? Perlindungan dari apa? Dari seorang pelayan yang memberiku jepit rambut?”
“Dari rubah tua licik yang memakai pelayan naif itu sebagai pionnya,” balas San Long, suaranya tetap rendah dan datar, namun ada getaran intensitas di baliknya. “Aku tahu persis siapa Xiao Ju. Dia mata dan telinga Selir Agung. Setiap kata yang kau ucapkan padanya sudah sampai ke majikannya bahkan sebelum dia kembali ke paviliunnya.”
Darah serasa surut dari wajah Swan. Dia tahu. Pria ini tahu persis apa yang telah ia lakukan.
“Dan surat yang kau curi itu,” lanjut San Long, matanya menyipit, seolah bisa melihat langsung ke dalam jiwa Swan. “Kau pikir isinya tentang desain gaun? Kau pikir Selir Agung sebodoh itu?”
“Hamba tidak tahu Anda bicara soal apa,” sahut Swan cepat, pertahanannya langsung naik. Dinding es yang telah ia bangun selama delapan tahun kini berdiri kokoh.
San Long mendengus, sebuah suara pelan yang penuh dengan kekecewaan. “Berhenti bermain-main, Selir Xin. Permainan yang kau mainkan ini akan membuatmu terbunuh. Kau berenang di lautan yang penuh hiu dan piranha, tapi kau bertingkah seolah sedang menari di atas kolam teratai.”
“Dan Anda?” tantang Swan, amarah kini menggantikan keterkejutannya. “Anda hiu yang mana? Yang akan menerkam lebih dulu?”
“Aku adalah batu karang yang kau tabrak di hari pertamamu,” katanya dingin. “Peringatan bahwa laut ini lebih dalam dan lebih berbahaya dari yang kau kira. Hentikan ini. Apa pun rencanamu, hentikan sebelum terlambat.”
“Terlambat untuk apa?”
“Untuk tetap hidup,” jawab San Long. Dia menatap lurus ke dalam mata Swan selama beberapa detik yang menegangkan. Ada sesuatu di sana, di balik topeng dingin itu. Bukan ancaman. Bukan amarah. Sesuatu yang hampir menyerupai… permohonan. “Jangan buat aku datang ke pemakamanmu.”
Tanpa menunggu jawaban, San Long berbalik. Dengan satu gerakan anggun dan senyap, ia melompat ke atap yang lebih rendah, lalu menghilang ke dalam kegelapan pekat di bawah, meninggalkan Swan sendirian di atas atap dengan angin malam yang tiba-tiba terasa jauh lebih dingin.
Swan kembali ke paviliunnya dalam keadaan pikiran yang kacau. Jantungnya berdebar kencang, bukan karena adrenalin dari penyusupannya, tetapi karena percakapan tadi. San Long tahu. Dia tahu jauh lebih banyak dari yang seharusnya. Peringatannya terasa tulus, dan justru itu yang membuatnya semakin menakutkan.
“Nona? Anda baik-baik saja?” tanya Bi Lan cemas saat Swan masuk ke kamarnya, menanggalkan jubahnya yang lembap oleh embun malam.
“Aku baik-baik saja, Bi Lan,” jawab Swan, meskipun suaranya tidak meyakinkan. Ia berjalan ke arah cermin. Wajahnya pucat, matanya berkilat waspada. [Permainan yang kau mainkan ini akan membuatmu terbunuh]. Kata-kata itu terus terngiang. Pria itu benar. Ia telah sembrono. Ia telah meremehkan lawannya.
Ia butuh bukti yang lebih kuat. Surat itu hanya menunjukkan keterlibatan Pangeran Sulung. Ia butuh sesuatu yang mengikat semuanya. Sesuatu yang membuktikan konspirasi delapan tahun lalu. Ia butuh akar dari pohon beracun ini, bukan hanya rantingnya. Dan akar itu pasti terkubur di tempat yang sama dengan semua sejarah kekaisaran lainnya: perpustakaan istana.
“Siapkan pakaian gelap untukku, Bi Lan,” perintah Swan pelan. “Bukan sutra. Yang terbuat dari katun kasar. Dan juga sebilah belati kecil dari peti kayuku.”
“Tapi, Nona…”
“Lakukan saja,” potong Swan. Matanya yang terpantul di cermin tampak keras dan tak terbantahkan. “Malam ini masih panjang.”
Dua jam kemudian, saat bulan telah bersembunyi di balik awan tebal dan sebagian besar penghuni istana telah terlelap, sesosok bayangan meluncur keluar dari jendela belakang Paviliun Bunga Peoni. Swan bergerak tanpa suara, kakinya yang hanya beralaskan sepatu kain tipis nyaris tidak menyentuh tanah. Pakaian katun hitam membuatnya menyatu dengan kegelapan, hanya wajahnya yang pucat yang sesekali terlihat saat ia melewati celah cahaya lentera patroli yang berayun-ayun.
Perpustakaan kekaisaran adalah sebuah bangunan raksasa yang tampak seperti binatang buas yang sedang tidur di tengah kegelapan. Menara-menaranya yang melengkung mencakar langit malam. Swan tidak mendekat dari pintu utama. Ia memutar, menyelinap di sepanjang dinding luar yang ditumbuhi tanaman rambat, indranya waspada terhadap setiap suara. Desau angin, jeritan serangga malam, dan derap langkah dua orang penjaga yang berpatroli di kejauhan.
Ia menemukan tujuannya: sebuah jendela tinggi di lantai dua, di bagian belakang gedung yang jarang dilewati. Teralis kayunya tampak tua dan sedikit rapuh. Dengan kelincahan seekor macan tutul, ia memanjat tanaman rambat yang kokoh, jemarinya yang kuat menemukan pegangan di celah-celah batu. Otot-ototnya yang terlatih membawanya naik dengan cepat dan tanpa suara.
Di depan jendela, ia mengeluarkan belati kecilnya. Ujungnya yang tajam ia selipkan di antara kusen dan pengait kayu di bagian dalam. Dengan tekanan yang sabar dan terukur, terdengar bunyi *klik* yang sangat pelan. Jendela itu terbuka.
Udara di dalam perpustakaan terasa berat dan pengap, dipenuhi aroma kertas tua yang khas, debu yang telah mengendap selama ratusan tahun, dan bau samar tinta yang telah mengering. Swan menyelinap masuk, mendarat di lantai kayu tanpa suara. Kegelapan di dalamnya nyaris total, hanya beberapa bilah cahaya bulan pucat yang berhasil menembus jendela-jendela tinggi, menciptakan pilar-pilar cahaya redup di antara rak-rak buku yang menjulang tinggi seperti hutan kayu mati.
Ia tidak punya banyak waktu. Ia harus menemukan apa yang ia cari sebelum patroli penjaga berikutnya tiba. Berdasarkan informasi dari Jiang Long, paviliun arsip timur adalah tempat yang paling mungkin menyimpan dokumen-dokumen sensitif. Ia bergerak menyusuri lorong-lorong rak yang tak berujung, matanya memindai tulisan kaligrafi kuno pada plakat-plakat penanda.
Akhirnya, ia menemukannya. Sebuah pintu kayu berat dengan plakat bertuliskan: "Arsip Kekaisaran - Akses Terbatas". Pintu itu terkunci dengan gembok perunggu yang besar. Swan memeriksa mekanisme kuncinya. Terlalu rumit untuk dibuka dengan belati. Tapi ia melihat celah di antara bagian bawah pintu dan lantai. Ia berbaring telungkup di lantai yang dingin dan berdebu, mengintip melalui celah itu. Ia bisa melihat palang kayu tebal yang menahan pintu dari dalam.
Dengan menggunakan bilah belatinya yang tipis, ia mulai bekerja, menggeser dan mendorong ujung palang itu sedikit demi sedikit. Keringat dingin membasahi pelipisnya. Setiap bunyi gesekan kayu terdengar seperti teriakan di keheningan yang mencekam. Setelah perjuangan yang terasa seperti selamanya, ia mendengar bunyi *klak* pelan saat palang itu terlepas dari sanggupannya. Pintu itu berderit terbuka beberapa senti. Cukup untuknya menyelinap masuk.
Ruangan arsip itu bahkan lebih pengap dari ruang utama. Gulungan-gulungan perkamen dan buku-buku besar yang dijilid kulit ditumpuk hingga ke langit-langit. Swan mencari bagian yang menyimpan catatan dari delapan tahun lalu. Ia menemukan deretan buku besar dengan label tahun yang berdebu.
Tangannya berhenti pada sebuah buku yang sangat tebal dengan tulisan "Catatan Keuangan & Alokasi Militer - Tahun Ke-22 Pemerintahan Kaisar Tianzhu". Tahun di mana keluarganya dibantai. Jantungnya berdebar kencang saat ia mengangkat buku berat itu dari rak dan meletakkannya di atas meja yang tertutup debu tebal.
Dengan jemari gemetar, ia mulai membolak-balik halaman-halamannya yang rapuh. Angka-angka dan nama-nama yang tak berarti melintas di depan matanya. Ia mencari anomali, sesuatu yang janggal. Ia hampir menyerah ketika matanya menangkap sesuatu. Sebuah sub-seksi kecil di bagian belakang, yang halamannya tampak sengaja dilem dan disatukan.
Dengan ujung belatinya, ia memisahkan halaman-halaman itu dengan sangat hati-hati. Di baliknya, tersembunyi sebuah buku catatan yang lebih kecil, yang diselipkan di antara halaman-halaman buku besar. Ini bukan catatan resmi. Tulisannya lebih tergesa-gesa, berisi rincian pembayaran-pembayaran rahasia yang tidak tercatat di bagian depan.
Mata Swan membelalak saat ia membaca daftar itu di bawah seberkas cahaya bulan. Dana yang dialihkan dari perbendaharaan ‘dana darurat perbatasan’ dialirkan ke rekening-rekening pribadi. Nama-nama penerimanya ditulis dalam kode. Tapi Swan, yang telah dilatih Guru Wen untuk memecahkan sandi militer, mengenali pola itu. Dan di sana, berulang kali, muncul sebuah kode yang sama. Pembayaran dalam jumlah yang sangat besar, dilakukan selama tiga bulan berturut-turut, tepat sebelum fitnah terhadap ayahnya disebarkan.
Di halaman terakhir, ia menemukan ringkasannya. Sebuah catatan singkat yang ditulis dengan tinta yang berbeda, seolah oleh seorang juru tulis yang ketakutan, yang ingin meninggalkan jejak. Catatan itu berbunyi: "Seluruh dana telah dikonfirmasi diterima oleh Jenderal Zen untuk 'operasi khusus' pembersihan internal." Di bawahnya, tertera paraf persetujuan. Sebuah paraf yang angkuh dan tegas. Paraf milik Jenderal Zen.
Ini dia. Buktinya. Hitam di atas putih. Bukan lagi sekadar tuduhan. Ini adalah pengkhianatan yang dibayar dengan emas. Dingin dan terhitung.
Rasa dingin kemenangan menjalari tubuhnya, mengusir semua rasa takut. Ia telah menemukannya. Ia baru saja akan merobek halaman itu ketika sebuah suara menghentikannya.
*Krieeet.*
Bunyi pelan dari engsel pintu perpustakaan utama yang dibuka. Jantungnya serasa melompat ke tenggorokannya. Ia tidak sendirian.
Dengan cepat dan tanpa suara, Swan menutup buku catatan itu, menyelipkannya kembali ke tempatnya, dan menutup buku besar itu. Ia menyelinap kembali ke dalam bayang-bayang di antara rak-rak arsip yang tinggi, menahan napasnya.
Terdengar suara langkah kaki. Satu orang. Langkahnya tidak tergesa-gesa. Pelan, mantap, dan penuh percaya diri. Langkah seseorang yang merasa memiliki tempat ini. Langkah kaki itu semakin dekat, menyusuri lorong utama, semakin mendekat ke arah ruang arsip. Langkah itu berhenti. Tepat di luar pintu ruang arsip yang baru saja ia buka. Hening sejenak.
Lalu, gagang pintu perunggu itu mulai berputar perlahan.
trmkash thor good job👍❤