Dulu, Kodasih adalah perempuan cantik yang hidup dalam kemewahan dan cinta. Namun segalanya telah lenyap. Kekasih meninggal, wajahnya hancur, dan seluruh harta peninggalan diambil alih oleh negara.
Dengan iklas hati Kodasih menerima kenyataan dan terus berusaha menjadi orang baik..
Namun waktu terus berjalan. Zaman berubah, dan orang orang yang dulu mengasihinya, setia menemani dalam suka dan duka, telah pergi.
Kini ia hidup dalam bayang bayang penderitaan, yang dipenuhi kenangan masa silam.
Kodasih menua dan terlupakan..
Sampai suatu malam...
“Mbah Ranti... aku akan ke rumah Mbah Ranti...” bisik lirih Kodasih dengan bibir gemetar..
Mbah Ranti adalah dukun tua dari masa silam, penjaga ilmu hitam yang mampu membangkitkan apa pun yang telah hilang: kecantikan, harta, cinta... bahkan kehidupan abadi.
Namun setiap keajaiban menuntut tumbal..
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Arias Binerkah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 19.
“Aku tidak JANJI! Aku hanya ingin kembali normal!” teriak Kodasih sambil kedua tangan memegang kepala nya.
Bayangan dalam lingkaran itu menggeliat seperti makhluk yang baru terbangun dari tidur panjang.
Lalu…
dari balik punggung Kodasih, sesuatu merayap keluar.Ia tidak melihatnya. Namun dingin merambat cepat naik di tulang belakang nya.. seperti jari jari mayat yang menyentuh kulit nya.
Sosok itu mulai mengintip dari dalam bayangan nya sendiri, perlahan… sangat perlahan..
Wujud hitam panjang, tubuh menyerupai manusia yang telah dipelintir berkali kali hingga tulang nya menyembul tak wajar. Kepalanya terbalik, rahangnya robek seperti kain yang disobek, mulut nya menganga begitu lebar hingga tak masuk akal.
Mata merah nya menyala, menatap Kodasih dengan lapar yang mematikan. Dan dari dua bibir tipis yang sobek itu, keluarlah suara:
“Dasiiihhh… kowe nggawa aku metu soko alas … kowe kudu dadi omahku…”
(Dasih… kamu membawa aku keluar dari hutan … kamu harus menjadi rumahku…)
Kodasih bergidik sampai lututnya lemas.
Namun ia tidak berhenti.
Tangannya menggenggam kendi hitam itu erat erat. Ia mengangkatnya tinggi… …dan menghantamkannya ke lantai lingkaran.
PRAAANGG!!
Kendi hancur berkeping keping, serpihan hitam berserakan seperti beling dari dunia lain.
DDDDUUUUEEEERRRRR
Cahaya merah menyambar dari lingkaran, memekakkan telinga bagaikan petir di dalam ruangan.
Roh roh yang sebelumnya merasukinya melolong keras, tubuh samar mereka tersedot menuju pusat lingkaran.
Sosok hitam besar itu ikut terseret, meronta sekuat tenaga, memukul udara dengan tangan panjang yang tampak seperti patahan tulang.
Seluruh joglo Kodasih bergetar, seolah hendak runtuh.
“ORAAA!!!
KOWE ORA ISA NGETOKAKE AKU MANEH!”
(TIDAAAK!! Kamu tidak bisa mengeluarkan lagi!)
Kodasih menempelkan kedua telapak tangan nya ke lantai, menekan dengan kekuatan yang nyaris bukan miliknya. Mata nya berubah gelap sepenuhnya. Keringat dingin mengalir dari pelipisnya.
Ia memaksa roh roh itu keluar dari tubuhnya… semuanya.
Dan pada puncak ritual itu di momen ketika dunia seperti menahan napas..
ia berteriak:
“Kembali!!! Kembali ke tempat asal kalian!!!”
Satu detik.
Dua detik.
Tiiiii… ga—
DUARRRRRR!!!
Joglo Kodasih meledak dalam semburan cahaya merah dan hitam.
Pohon pohon di sekeliling rumah terpental ke belakang oleh hembusan angin yang tak terlihat.
Lolongan roh menggema hingga batas desa, membuat warga yang terbangun menjerit dan menutup telinga.
Angin menerjang seperti badai yang hanya memilih satu rumah untuk dilalap.
Dan ketika semuanya mereda… ketika debu kembali turun…
Kodasih jatuh tersungkur.
Tubuh nya menggigil hebat. Lingkaran ritual menghilang. Kendi telah hancur menjadi debu. Bisikan bisikan roh lenyap tanpa jejak....
Hening.
Hening yang begitu dalam hingga Kodasih bisa mendengar suara jantung nya sendiri.
Perlahan, ia mengangkat wajahnya.
“B… berhasil…?”
Ia menyentuh dadanya.
Kosong.
Tidak ada bisikan. Tidak ada roh. Tidak ada suara makhluk hitam yang biasa mengintip dari balik bayangannya. Senyum lega muncul.. senyum manusia yang kembali jadi dirinya sendiri.
Namun… ketika ia berdiri… bayangannya bergerak terlambat satu detik.
Kodasih membeku.
Bayangan itu… mengangkat tangan dan melambai pelan kepadanya. Dengan dua tangan. Sementara Kodasih tidak mengangkat kedua tangannya...
Senyumnya langsung menghilang.
Dari bawah lantai joglo, suara paling lirih… paling dingin… seperti berasal dari liang kematian, berbisik:
“Dasih… iki mung wiwitané…”
(Dasih… ini baru permulaan nya…)
Kodasih terhuyung mundur.
Ritualnya memang mengusir sebagian roh… Namun makhluk yang paling tua… yang kepalanya terbalik… yang tulangnya mencuat seperti dahan mati… yang telah kelaparan sejak sebelum dusun itu berdiri… belum pergi. Ia hanya berpindah tempat. Sekarang, ia bersemayam… di dalam bayangan Kodasih.
Dan perlahan, bayangan itu tumbuh.. lebih besar… lebih gelap… lebih hidup.
Ritual telah usai. Tapi perang baru dimulai.
☀️☀️☀️☀️☀️
Pagi setelah ritual itu, Kodasih bangun dengan kepala terasa begitu berat. Seolah ia tidak tidur sama sekali, meski ia yakin diri nya sempat pingsan cukup lama.
Ia bangkit perlahan dari kasur, memegangi pelipisnya. Ada denyutan halus, seperti seseorang mengetuk ngetuk bagian dalam tengkoraknya.
Saat ia menurunkan kaki ke lantai, suara itu muncul lagi.
“Dasiiiih… ayo tangiii…”
(Dasih… ayo bangun…)
Ia terlonjak. Mata nya menyapu seluruh ruangan. Tidak ada seorang pun. Hanya joglo yang retak retak berantakan akibat ritual semalam.
“Cuma halusinasi,” ia membatin. “Aku cuma lelah…”
Tapi ketika ia berdiri… bayangannya tetap duduk di lantai. Bayangan itu diam, seolah Kodasih masih berada di atas kasur.
Lalu perlahan.. bayangan itu mendongak.
Dari sesuatu yang seharusnya tidak punya wajah, muncul lekukan mirip senyuman… senyuman tanpa bibir, tanpa daging.
Kodasih menutup mulut, menahan jeritan.
Ia mundur selangkah.
Barulah setelah itu bayangannya ikut bergerak.. dengan gerakan cepat, patah patah, seperti boneka rusak yang dipaksa hidup.
Sepanjang hari, bisikan dari bayangan itu tidak pernah berhenti.
Saat Kodasih mengambil air di kendi:
“Dasiiih… wong wong kuwi ora gelem nampa kowe…”
(Dasiiihh... orang orang itu tidak mau menerima kamu…)
Saat ia menyapu halaman, pandangannya kabur. Dan bayangan nya memanjang ke belakang, seperti mencoba meraih sesuatu yang tidak terlihat.
Saat ia duduk di serambi, bayangan itu menggeliat pelan, seperti ingin keluar dari permukaan tanah.
“Kowe… we kudu kuat. Aku iso gawe kowe kuwat. Kowe ora perlu wedi karo sopo wae maneh…”
(Kamu... mu... harus kuat. Aku bisa membuatmu kuat. Kamu tak perlu takut pada siapa pun lagi…)
Kodasih memejamkan mata, menahan gemetar.
“Pergi…” bisiknya. “Pergi dari kepalaku…”
Bayangan itu hanya tertawa, tawa aneh, renyah, tetapi tidak mengandung kehidupan sedikit pun.
Menjelang sore, Kodasih mencoba memasak. Di saat ia memotong sayur, memanaskan tungku. Ia, berusaha menjalani hari seperti sebelum semua ini terjadi. Agar Sarwono dan keluarga nya tidak khawatir.
Namun ketika ia mengambil pisau, tangannya bergetar kencang. Bukan karena takut pada pisau. Melainkan karena tubuh nya seolah menolak memegang nya terlalu lama.
Setiap kali pisau terangkat, bayangannya ikut terangkat… Tapi di dalam bayangan nya, ada bayangan lain bayangan dari bayangannya, yang memegang pisau dengan dua tangan.
Dan bayangan itu mengarahkan pisau tepat ke dada Kodasih.
Pisau itu jatuh dari tangannya...
“Cukup!” teriaknya.
Bayangan itu hanya memiringkan kepala, gerakan kecil yang membuat ngeri, seolah ia sedang menikmati ketakutan Kodasih.
Menjelang malam, rasa takut Kodasih memuncak. Ia telah menutup semua jendela, menutup pintu, menyalakan lampu minyak di setiap sudut joglo.
Namun ketika ia menyalakan lampu minyak terakhir. Bayangan di dinding berubah bentuk.
Dari wujud dirinya… menjadi bayangan seorang perempuan. Sosok tegap. Memakai jarik, Geraknanya anggun.
Lalu perlahan muncul wajah di bayangan itu. Wajah yang Kodasih kenali di dalam hidup nya. Wajah Mbah Ranti.
Tapi versi Mbah Ranti yang sangat kelam, menyeringai, mata nya dua lubang hitam tak berujung.
Kodasih tersedak napas, mundur dengan kedua mata nya melebar...
“Mbah…?” suaranya bergetar..
Lalu telinga Kodasih mendengar suara .. namun bukan suara Mbah Ranti...
“Sing mbok pateni ora iso mati segampang kuwi, Dasiiih…”
(Yang kamu ‘bunuh’ tidak bisa mati semudah itu… Dasih.. )
“Saiki aku neng awakmu… neng raimu… neng bayang mu... neng uripmu…”
(Sekarang aku di tubuhmu… di wajahmu… di bayangan mu... di hidup mu…)
Kodasih memegangi kepalanya, nyaris menangis.
“TIDAK!!”
“Keluar dari tubuhku!”
yakinlah bahwa setial karya mu akan jadi
pelajaran di ambil.sisi baik nua dan di ingat sisi buruk nya
mksh mbk yu dah bikin karya yg kuar biasa
"Angin kotor " aku bacanya "Angin kolor" 🤣🤣🤣 mungkin karena belum tidur semalaman jd bliur mataku 🤣🤣🤣🤣