NovelToon NovelToon
Cinta Kecil Mafia Berdarah

Cinta Kecil Mafia Berdarah

Status: sedang berlangsung
Genre:Mafia / Beda Usia / Fantasi Wanita / Cintapertama / Roman-Angst Mafia / Persaingan Mafia
Popularitas:1.4k
Nilai: 5
Nama Author: Zawara

Zoya tak sengaja menyelamatkan seorang pria yang kemudian ia kenal bernama Bram, sosok misterius yang membawa bahaya ke dalam hidupnya. Ia tak tahu, pria itu bukan korban biasa, melainkan seseorang yang tengah diburu oleh dunia bawah.

Di balik kepolosan Zoya yang tanpa sengaja menolong musuh para penjahat, perlahan tumbuh ikatan tak terduga antara dua jiwa dari dunia yang sama sekali berbeda — gadis SMA penuh kehidupan dan pria berdarah dingin yang terbiasa menatap kematian.

Namun kebaikan yang lahir dari ketidaktahuan bisa jadi awal dari segalanya. Karena siapa sangka… satu keputusan kecil menolong orang asing dapat menyeret Zoya ke dalam malam tanpa akhir.

Seperti apa akhir kisah dua dunia yang berbeda ini? Akankah takdir akan mempermainkan mereka lebih jauh? Antara akhir menyakitkan atau akhir yang bahagia?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Zawara, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Ruang Bawah Tanah

Belum sempat Zoya menanggapi tawaran bisnis haram itu, mata liar si bocah SMP tiba-tiba membelalak. Tubuhnya menegang kaku seperti kucing yang melihat anjing herder.

"Mampus," desisnya.

Dari arah kerumunan dekat penjual arum manis, seorang pria kurus kering dengan mata cekung dan kulit pucat menatap lurus ke arah mereka. Wajahnya dipenuhi amarah bercampur sakau.

"WOY! BOCAH SETAN! SINI LO!"

Teriakan itu memecah udara. Si bocah SMP panik setengah mati. Tanpa pikir panjang, tangan kurusnya menyambar pergelangan tangan Zoya.

"Kabur, Kak! Gawat darurat!"

"Eh-eh tunggu! Ngapain gue diajak lari woy?!" Zoya memekik kaget saat tubuhnya tersentak, dipaksa ikut berlari.

"Udah ikut aja! Daripada Kakak jadi sandera!"

Mereka berlari membelah keramaian Dufan yang mulai temaram. Si bocah sepertinya hafal jalan tikus. Ia menarik Zoya melompati pagar pembatas tanaman, menyelinap di belakang wahana Ice Age, dan menuju sebuah pintu besi berkarat yang tertutup semak belukar dengan tulisan 'DILARANG MASUK - AREA TEGANGAN TINGGI'.

"Lewat sini!" Si bocah menendang pintu itu hingga terbuka. Ternyata kuncinya sudah dirusak sebelumnya.

"Heh, ini tempat apaan? Jangan macem-macem lo ya!" protes Zoya, napasnya mulai tersengal. Namun, adrenalin membuatnya terus mengikuti langkah kaki bocah itu menuruni tangga beton yang gelap dan lembap.

Udara di dalam sana berubah drastis. Wangi manis popcorn dan cerianya musik karnaval lenyap seketika, digantikan oleh bau apek, oli, dan aroma anyir yang samar namun menyengat. Suara deru mesin wahana di atas kepala mereka terdengar seperti guruh yang teredam.

"Kita di mana sih, Cil?" bisik Zoya, suaranya memantul di lorong beton yang suram. Lampu neon di langit-langit berkedip-kedip sekarat.

"Jalan tembusan, Kak. Biasa dipake anak-anak sini buat ngumpet atau transaksi," jawab bocah itu sambil terus menarik Zoya melewati lorong-lorong pipa uap panas.

Namun, semakin jauh mereka berlari ke dalam perut bumi Ancol, suara aneh mulai terdengar. Bukan suara mesin, melainkan suara gemuruh manusia. Sorak-sorai. Makian. Teriakan. Suaranya menggema, seolah mereka sedang mendekati sebuah stadion tertutup.

Mereka tiba di ujung lorong yang berakhir pada sebuah balkon besi berkarat.

Mata Zoya melebar. Mulutnya sedikit terbuka, namun suaranya tercekat di tenggorokan.

Jauh dibawah sana, di sebuah ruang bawah tanah raksasa yang tampak seperti bekas penampungan air atau bunker tua, sebuah pemandangan mengerikan tersaji. Tempat itu diubah menjadi semacam teater gladiator modern. Ratusan orang berdiri mengelilingi sebuah arena lingkaran berlantai pasir yang ternoda bercak-bercak merah gelap.

Penerangan hanya berasal dari lampu sorot kuning yang menyorot tajam ke tengah arena, menciptakan bayangan dramatis dan mencekam.

"Ayo! Habisi! Gue taruhan lima juta!"

"Patahkan lehernya!"

Teriakan-teriakan haus darah itu menggema hingga ke tempat Zoya berdiri. Di tengah arena itu, dua sosok manusia sedang bertarung hidup dan mati. Tidak ada wasit. Tidak ada sarung tinju. Hanya hantaman daging bertemu daging, dan bunyi tulang yang retak.

Salah satu petarung, pria bertubuh raksasa dengan tato melilit di leher, baru saja membanting lawannya, seorang pria yang lebih kecil namun lincah ke tanah dengan bunyi gedebuk yang menyakitkan.

"Gila..." bisik si bocah SMP di samping Zoya, wajahnya pucat pasi. Sepertinya dia salah belok. "Kak, kita harus cabut. Ini bukan tempat biasa..."

Tapi kaki Zoya terpaku. Matanya terkunci pada adegan di bawah sana.

Pria raksasa itu tidak memberi ampun. Ia mengangkat tubuh lawannya yang sudah lemas, lalu dengan satu gerakan brutal dan efisien, ia menghentakkan kepala lawannya ke lututnya sendiri.

KRAK.

Suara itu terdengar begitu jelas, bahkan dari jarak jauh. Tubuh pria kecil itu jatuh terkulai seperti boneka kain yang benangnya putus. Lehernya menekuk pada sudut yang tidak wajar. Darah segar menyembur dari mulutnya, membasahi pasir arena.

Sorak-sorai penonton meledak. Uang-uang kertas beterbangan ke udara.

Dunia Zoya seakan berhenti berputar.

Ia pernah melihat kekerasan di film. Ia pernah mendengar cerita seram. Tapi melihat nyawa dicabut secara paksa tepat di depan matanya, melihat tubuh manusia yang semenit lalu masih bergerak kini menjadi onggokan daging tak bernyawa... itu menghancurkan kewarasannya.

Mata pria yang mati itu terbuka, menatap kosong ke arah balkon tempat Zoya berdiri. Tatapan mati yang hampa.

Napas Zoya tercekat. Jantungnya memukul-mukul rusuk dengan menyakitkan. Rasa mual yang hebat merayap naik ke kerongkongannya. Kakinya gemetar hebat, lututnya lemas. Ia ingin berteriak, tapi suaranya hilang.

Dia mati. Dia beneran mati.

Saat air mata ketakutan mulai menggenang di pelupuk matanya yang membelalak ngeri, sebuah tangan besar dan hangat tiba-tiba menangkup wajahnya dari belakang.

Pandangan horor itu seketika menjadi gelap.

Hanya ada kegelapan hangat dan aroma maskulin yang familiar campuran tembakau, mint, dan sedikit aroma mesiu yang samar. Tubuh Zoya ditarik mundur, disandarkan ke dada bidang seseorang yang kokoh seperti tembok baja.

"Tutup matamu," bisik suara berat itu tepat di telinga Zoya. Nadanya tenang, namun ada ketajaman yang berbahaya di sana. "Tarik napas."

Bram ada di sana.

Ia tidak melihat ke arena. Matanya menatap tajam ke arah bocah SMP yang kini gemetar ketakutan di sudut balkon. Satu tangan Bram menutup mata Zoya dengan lembut namun tegas, sementara tangan lainnya melingkar protektif di bahu gadis itu.

"Kau tidak seharusnya melihat hal seperti itu," ujar Bram pelan, suaranya meredam riuh rendah kekejaman di bawah sana. "Dunia ini terlalu busuk untuk matamu."

...***...

Udara malam Jakarta yang lembap menampar wajah mereka begitu keluar dari pintu besi berkarat itu. Kembali ke permukaan, suara riuh rendah Dufan terdengar jauh dan samar, seolah berasal dari dimensi lain yang tak lagi bisa mereka gapai. Di sini, di area belakang gudang pemeliharaan yang sepi, hanya ada suara jangkrik dan deru napas yang memburu.

Bram melepaskan cengkeramannya dari bahu Zoya, membiarkan gadis itu berjalan tertatih beberapa langkah di depan. Ia berbalik, menatap dingin pada bocah SMP yang masih berdiri mematung dengan wajah pucat.

"Pergi," perintah Bram. Suaranya datar, tanpa emosi, namun memiliki bobot otoritas yang tak terbantahkan.

Si bocah menelan ludah, matanya beralih cemas ke punggung Zoya yang kini berdiri membungkuk, menatap kosong ke tanah. "T-tapi... Kakak itu gimana? Om siapa? Om jangan-jangan komplotan yang dibawah tadi ya?"

Bram menyipitkan mata. Tatapannya setajam silet, membuat nyali bocah itu menciut seketika. Namun, dibalik tatapan mengintimidasi itu, terselip pesan peringatan yang tulus.

"Jika saya jahat, kalian berdua sudah jadi mayat di tangga tadi. Pulang. Jangan pernah lewat jalur ini lagi, atau kau tidak akan pernah pulang selamanya."

"Ta-tapi..."

"Pergi. Selamatkan dirimu sendiri," potong Bram tegas.

Ancaman dingin itu mematikan keberanian si bocah. Ia menatap Zoya sekali lagi dengan tatapan bersalah, lalu berbalik dan lari terbirit-birit menembus semak belukar, meninggalkan mereka berdua dalam keheningan yang menyesakkan.

Zoya kembali menyeret kakinya. Ia tidak menoleh. Ia tidak bertanya mengapa Bram ada disana atau siapa sebenarnya dia. Pikirannya macet.

KRAK.

Suara tulang leher yang patah itu terus berputar di kepalanya seperti kaset rusak. KRAK. KRAK.

Zoya mencoba mengusir suara itu. Ia butuh rasa sakit lain. Rasa sakit yang nyata untuk memastikan dirinya masih hidup, bukan onggokan daging mati di atas pasir seperti pria tadi.

Jempol tangannya mulai bergerak gelisah. Kuku telunjuknya mengelupas kulit di pinggiran kuku jempol. Ia menariknya paksa. Perih. Tapi belum cukup. Ia beralih ke jari tengah, menarik kutikula kasar hingga robek. 

Darah segar mulai merembes, menetes kecil dari ujung jarinya, tapi Zoya tidak berhenti. Ia terus berjalan terseok-seok menyusuri jalan aspal sepi di area belakang Ancol. Matanya kosong menatap aspal. Wajahnya tetap datar, tanpa ekspresi, seperti boneka porselen yang retak. 

Di belakangnya, Bram mengikuti dalam diam. Langkah kakinya senyap, menjaga jarak tiga meter. Matanya yang tajam tidak lepas dari sosok rapuh di depannya. Awalnya ia hanya mengawasi, namun rahang Bram perlahan mengeras saat melihat gerakan tubuh gadis itu.

Ia melihat bahu gadis itu naik turun tidak beraturan dan tersentak kecil setiap kali ia merobek kulitnya sendiri. Bram tidak suka melihat kelemahan, tetapi melihat gadis seceria Zoya menghancurkan dirinya sendiri dalam diam... itu mengusik sesuatu di dadanya.

Tiba-tiba, langkah Zoya terhenti. Lututnya goyah, seolah tulang-tulangnya melunak.

Bruk.

Gadis itu jatuh berlutut di atas aspal kasar.

Bram berhenti, menunggu sejenak. Ia memberi kesempatan gadis itu untuk bangkit sendiri. "Berdiri, Zoya," ucapnya pelan dari belakang. Bukan bentakan, tapi dorongan tegas.

​Zoya mencoba. Ia benar-benar mencoba. Tangannya bertumpu pada aspal, mencoba mendorong tubuhnya naik. Tapi tenaga di kakinya lenyap. Bayangan mata kosong mayat di arena tadi kembali melintas. Rasa mual itu datang lagi.

​Ia kembali ambruk. Kali ini terduduk lemas, napasnya tersengal seolah oksigen di sekitarnya menipis. Air mata kembali meleleh tanpa suara. Ia merasa kotor. Ia merasa lemah.

Melihat Zoya yang tak kunjung bangkit dan justru semakin gemetar hebat, Bram membuang napas kasar. Kesabarannya untuk memberi ruang pada gadis itu habis sudah. Rasa iba yang sejak tadi ia tekan akhirnya merembes keluar.

Pria itu melangkah lebar, memangkas jarak di antara mereka dalam hitungan detik. Lalu berjongkok begitu saja di hadapan Zoya. 

Zoya tidak memendongak. Ia tidak peduli. Matanya terpaku pada aspal pekat dibawahnya.

Wajah pria itu keras, rahangnya terkatup rapat, namun matanya menelusuri wajah Zoya dengan intensitas yang sulit diartikan. Pandangan Bram jatuh ke tangan Zoya yang bertumpu di paha.

Darah.

​Ujung-ujung jari gadis itu merah. Kulit di sekitar kukunya robek dan berdarah akibat ulahnya sendiri. 

Alisnya menukik tajam. Ada kilatan emosi di mata Bram, marah, atau mungkin prihatin namun ia segera menekannya. Ia tidak berkomentar soal tangan itu. Tidak sekarang. Zoya sudah cukup hancur tanpa perlu diceramahi soal self-harm.

"Cukup," bisik Bram serak, suaranya melunak. "Jangan sakiti dirimu lagi."

Zoya tidak menjawab, bibirnya terkatup rapat dan memucat.

Melihat respons Zoya. Tanpa sepatah kata pun lagi, Bram menyelipkan satu tangannya di bawah lutut Zoya dan tangan lainnya di punggung gadis itu.

Dalam satu gerakan mulus, Bram mengangkat tubuh Zoya ke udara, menggendongnya dengan gaya pengantin. Tubuh Zoya terasa begitu ringan di lengan kekarnya, seringan kapas yang basah oleh air mata. Kerapuhan itu membuat Bram secara naluriah mengeratkan dekapannya, membawa tubuh mungil itu lebih dekat ke dada bidangnya.

Sedengkan Zoya, ia terlalu lelah untuk membantah atau pun bertanya, membiarkan insting bertahan hidupnya mengambil alih. 

Ia menyandarkan kepalanya begitu saja ke dada bidang Bram, menyembunyikan wajahnya yang basah dan pucat di ceruk leher pria itu. Tatapannya masih kosong, tangannya yang gemetar dan berdarah perlahan mencengkeram lemah kerah kemeja Bram. Mencari pegangan. Mencari pelindung. 

Menjadikan aroma tembakau dan mint dari pria itu, menjadi satu-satunya hal nyata di tengah dunianya yang baru saja runtuh.

Bram mulai berjalan menembus malam, wajahnya kembali menatap lurus ke depan, langkahnya tegap dan stabil, seolah tidak terjadi apa-apa, tangannya menahan tubuh Zoya dengan protektif membawanya menjauh dari mimpi buruk yang tersembunyi di balik gemerlapnya taman hiburan. Di dadanya, ia bisa merasakan detak jantung Zoya yang perlahan mulai melambat, seirama dengan langkah kakinya.

"Tutup matamu," perintah Bram singkat, namun nadanya jauh lebih lembut dari sebelumnya. "Aku yang ambil alih dari sini."

1
knovitriana
iklan buatmu
knovitriana
update Thor saling support
partini
🙄🙄🙄🙄 ko intens ma Radit di sinopsis kan bram malah dia ngilang
partini
ini cerita mafia apa cerita cinta di sekolah sih Thor
partini
yah ketauan
partini
Radit
partini
😂😂😂😂😂 makin seru ini cerita mereka berdua
partini
ehhh dah ketauan aja
partini
g👍👍👍 Rian
partini
seh adik durjanahhhhhh
partini
awal yg lucu
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!