NovelToon NovelToon
TUMBAL TERAKHIR

TUMBAL TERAKHIR

Status: sedang berlangsung
Genre:Kutukan / Horor / Iblis / Fantasi Timur
Popularitas:1.4k
Nilai: 5
Nama Author: pena biru123

Ini adalah kisah wanita bernama Ratih, yang pulang dari merantau tiga tahun yang lalu, dia berniat ingin memberi kejutan pada neneknya yang tinggal disana, namun tanpa dia ketahui desa itu adalah awal dari kisah yang akan merubah seluruh hidup nya

bagaimana kisah selanjutnya, ayok kita baca

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon pena biru123, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

bab 28

Jaya dan Dara tiba di ngarai dua jam setelah matahari terbenam. Mereka bergerak dalam kegelapan, mengandalkan insting Jaya sebagai pemandu dan penglihatan sihir Dara yang samar-samar. Mereka mencapai titik di mana tebing-tebing batu seharusnya berdiri tegak, tetapi yang mereka temukan hanyalah sebuah celah besar yang menganga.

"Ini dia," bisik Jaya, tangannya sigap mencengkeram belati. Udara di sini terasa mati, sunyi, dan hampa dari energi sihir yang biasa ia rasakan.

Dara melangkah maju, tangannya terentang. Dia mencoba menarik energi murni dari udara, tetapi tidak ada yang merespons. "Tidak ada sihir. Sama sekali tidak ada," gumamnya, matanya membesar karena takjub sekaligus khawatir. "Liontin Api Biru Ratih... dia tidak akan bisa menggunakannya di sini." gumam nya.

Mereka melangkah melewati retakan tebing, dan pemandangan di balik itu membuat Dara terkesiap. Di bawah sinar bulan yang memudar, Aeloria terbentang. Bangunan-bangunan batu putih yang bersih bersinar samar, jalanan-jalannya terawat sempurna, dan ada keheningan yang megah—keheningan kota yang tertidur, tetapi siap dibangunkan kapan saja.

"Ini... ini lebih tua dari semua catatan sejarah," bisik Dara. Arsitekturnya elegan, geometris, mencerminkan pemahaman mendalam tentang alam semesta. Itu adalah perwujudan kesempurnaan para Dewa. "Ini bukan reruntuhan, Jaya. Ini seperti... kota yang dipindahkan dari dimensi lain."

"Fokus, Dara," sela Jaya lembut, tetapi tegas. "Ratih dan Wijaya ada di sini. Mereka pasti sudah masuk."

Mereka menyusuri jalanan utama Aeloria. Di beberapa titik, mereka melihat benda-benda kuno diletakkan di atas podium batu, seolah-olah siap dipamerkan. Ada patung-patung kristal yang tidak memantulkan cahaya, dan lempengan-lempengan yang dipenuhi ukiran yang menyerupai pola bintang.

Dara tidak bisa menahan diri untuk tidak mendekat ke sebuah podium yang menahan tiga mangkuk perunggu kuno. "Lihat, Jaya," katanya, menyentuh mangkuk itu dengan hati-hati. "Ini bukan sekadar dekorasi. Mereka menyimpan esensi pengetahuan."

Saat mereka berjalan lebih dalam, keheningan kota tiba-tiba terpecah.

Mereka mendengar suara langkah kaki dari kejauhan—terlalu teratur untuk Ratih dan Wijaya, yang akan bergerak diam-diam. Jaya segera menarik Dara ke balik lengkungan pilar batu.

Tiga sosok melintas di jalanan utama. Mereka mengenakan jubah panjang berwarna krem, dan wajah mereka tertutup kerudung yang tipis. Mereka tidak bergerak seperti orang biasa; langkah mereka nyaris melayang, dan mereka membawa lampu minyak yang mengeluarkan cahaya biru pucat. Di belakang mereka, sebuah gerobak kecil ditarik, berisi barang-barang yang tampak seperti hasil bumi dan artefak.

"Mereka... para penduduk?" bisik Dara. "Mereka hidup di sini?"

Jaya menggeleng. "Gerak-gerik mereka terlalu... formal. Mereka mungkin 'Penjaga' Aeloria, tapi bukan Penjaga Sunyi."

Saat sosok-sosok itu menjauh, perhatian Dara tertuju pada gerobak. Di atas gerobak, di antara tumpukan buah-buahan aneh berwarna ungu, terdapat sebuah buku kulit tebal yang diikat rantai perak. Simbol pada sampulnya—Mata dengan empat sayap—sama persis dengan yang ada di ukiran tebing.

"Buku itu," Dara menarik napas. "Itu pasti menyimpan catatan Mata Angin. Kita harus mendapatkannya."

"Tidak sekarang," jawab Jaya, mengamati sekeliling. "Kita harus mencari Ratih dan Wijaya dulu. Mereka akan menuju tempat yang paling penting, dan itu bukan area perdagangan."

Mereka bergegas mengikuti jalur yang tampaknya menuju ke struktur bangunan terbesar di pusat kota—sebuah piramida terpotong yang dikelilingi oleh kolam air yang tenang.

Namun, sebelum mereka mencapai alun-alun utama, mereka berbelok di sebuah gang sempit dan hampir bertabrakan dengan seseorang.

Orang itu adalah seorang wanita. Dia mengenakan jubah yang lebih pendek dan sederhana dibandingkan para penjaga tadi. Dia berambut perak panjang yang diikat di belakangnya, dan matanya berwarna ungu yang aneh. Di tangannya, dia membawa sebuah lentera kecil dengan api yang hampir tidak terlihat.

Wanita itu mundur, terkejut. "Siapa kalian?" tanyanya, suaranya tenang, tetapi memiliki nada yang dalam dan menggetarkan. "Kalian bukan berasal dari sini."

Jaya melangkah di depan Dara. "Kami adalah musafir yang tersesat. Kami sedang mencari dua teman kami. Seorang wanita dengan Liontin Api Biru, dan seorang pria dengan pakaian kulit."

Mata ungu wanita itu menyipit, mengamati mereka. Dia memancarkan aura kebijaksanaan yang sangat tua, seolah-olah dia telah menyaksikan ribuan tahun sejarah Aeloria.

"Liontin Api Biru," gumamnya, nada suaranya berubah menjadi pengakuan. "Aku tahu tentang mereka. Mereka mencari... Kebenaran tentang sang penghancur."

Dara terkesiap. "Kau tahu tentang itu? Siapa kau?"

Wanita itu tersenyum tipis. "Panggil aku natan Aku adalah pemelihara ingatan yang terlupakan. Kalian mencarinya, bukan? Jawaban tentang Sang Penghancur."

Jaya menurunkan belati, merasakan bahwa natan tidak berniat jahat, melainkan menawarkan petunjuk. "Ya. Kami harus tahu cara mengalahkan Sang Penghancur, tanpa harus membahayakan Ratih."

Natan mengangguk perlahan, tatapannya menyentuh Dara, lalu beralih ke Jaya.

"Ikut aku," bisik natan. "Ratih dan Wijaya sudah ada di Ruang Pengetahuan, di pusat piramida itu. Mereka sedang mencari gulungan yang dapat menjelaskan asal-usul Void. Tapi mereka hanya akan menemukan... setengah kebenaran."

Natan membawa Jaya dan Dara melalui lorong-lorong tersembunyi di bawah piramida. Ruangan itu sunyi, udara dingin, tetapi tidak lembap.

Mereka mencapai sebuah gerbang batu besar. Natan meletakkan tangannya di atasnya, dan gerbang itu terangkat tanpa suara. Di dalam ruangan bundar yang luas, diterangi oleh pilar kristal yang memancarkan cahaya lembut, Ratih dan Wijaya berdiri di depan sebuah monumen melingkar.

Ratih sedang memegang Liontin Mata Ketiadaan, yang kini bergetar sangat halus, seolah-olah ia berinteraksi dengan monumen itu. Wijaya dengan tegang membolak-balik lembaran kulit yang baru saja ia ambil dari ceruk tersembunyi.

"Ratih! Wijaya!" seru Dara, rasa lega yang membuncah membuatnya berlari ke depan.

Ratih menoleh, matanya melebar karena kaget, lalu seketika berbinar. "Dara! Jaya!"

Wijaya tersenyum lebar, kelegaan yang tulus terpancar dari wajahnya. "Aku tahu kalian akan baik-baik saja," katanya, berjalan cepat dan menepuk bahu Jaya dengan keras. "Kalian mengambil rute yang cerdas."

Dara memeluk Ratih erat. "Syukurlah, kau baik-baik saja. Kami khawatir Liontin itu akan mengambil alih dirimu."

" Dan aku juga sangat bahagia kau baik-baik saja" sahut ratih, Aku sudah berusaha mengendalikan Liontin ini," kata Ratih, tetapi ia terlihat jauh lebih tegar dari sebelumnya. "Ayo, kalian harus lihat ini. Aku menemukan peta ke sumber kekuatan Mata Angin."

Sambil Ratih menjelaskan penemuannya, Wijaya mendekati Natan yang berdiri sedikit di belakang Jaya.

"Siapa kau?" tanya Wijaya dengan waspada.

"Dia adalah Natan," jawab Jaya. "Dia tahu tentang Liontin dan tentang misi kita. Dia bilang kita hanya akan menemukan setengah kebenaran di sini."

Natan melangkah maju, membiarkan cahaya kristal menerpa rambut peraknya. "Kalian mencari cara untuk mengalahkan Sang Penghancur. Kalian berpikir bahwa di sinilah para Dewa menyembunyikan rencana rahasia mereka. Itu benar. Tapi ini bukan tentang mantra atau senjata."

Dia menunjuk monumen melingkar yang kini bersinar terang.

"Sang Penghancur, yang kalian sebut Void, bukanlah entitas yang berdiri sendiri," jelas natan, suaranya seperti bisikan kuno. "Void adalah hasil dari pembelahan—perpecahan tragis. Awalnya, ada Satu. Entitas tunggal yang menciptakan segalanya, Penciptaan dan Ketiadaan. Namun, dalam kesepian dan keinginan yang salah untuk dipahami, Entitas itu membelah dirinya menjadi dua: Penciptaan Murni (yang kalian sebut Api Biru/Cahaya) dan Ketiadaan Murni (yang kalian sebut Void/Mata Ketiadaan)."

Ratih mendengarkan dengan napas tertahan, menggenggam kedua Liontin itu.

"Para Mata Angin menyadari bahwa jika kedua belahan ini bersatu tanpa disaring, mereka akan saling menghancurkan, membawa alam semesta kembali ke kehampaan. Jadi, mereka membangun Aeloria sebagai zona netral dan menciptakan Liontin Penolak—Liontin Ungu—untuk menstabilkan kekuatan. Liontin itu adalah penyeimbang, mencegah Penciptaan menelan Ketiadaan, dan sebaliknya."

"Jadi, Liontin Ungu itu mencegah penyatuan total?" tanya Wijaya.

"Tepat," jawab Natan. "Tugas kalian bukan menghancurkan Sang Penghancur. Tugas kalian adalah mengintegrasikannya—memaksa Penciptaan dan Ketiadaan untuk bersatu kembali menjadi Satu, tetapi dengan Liontin Penolak sebagai jangkar, sehingga penyatuan itu membawa keseimbangan, bukan kehancuran total."

"Dan bagaimana kami melakukannya?" tanya Jaya, menatap Natan dengan penuh minat.

Natan menatap Ratih. "Kunci utamanya adalah Liontin Api Biru-mu. Kau harus menemukan tempat di mana perpecahan itu pertama kali terjadi. Tempat yang penuh dengan memori kepedihan dan keinginan untuk utuh. Tempat itu adalah..."

Natan berhenti, pandangannya beralih ke Wijaya. Sebuah bayangan melintas di matanya—bayangan dingin yang bukan cemburu, tetapi sesuatu yang jauh lebih dalam.

"Tempat itu adalah Pusara Air Mata, gua kristal kuno di kedalaman Pegunungan Bintang Jatuh. Hanya Liontin Api Biru yang bisa membuka jalan ke sana."

Natan kembali menatap Ratih, dan senyumnya kali ini terasa penuh misteri, seolah-olah dia memiliki ikatan yang dalam dengan Liontin Api Biru itu. "Kau memiliki potensi yang luar biasa, Ratih. Kau adalah wadah yang sempurna untuk kekuatan ini. Begitu juga... Dia."

Perkataan natan yang ambigu tentang 'Dia' membuat semua orang terdiam. Ada keheningan panjang, hanya dipecahkan oleh suara air yang menetes dari pilar kristal.

Kemudian, Natan menoleh sepenuhnya kepada Wijaya, dan untuk pertama kalinya, matanya menunjukkan sedikit kesedihan.

"Kami tidak punya banyak waktu," kata Wijaya, memecah keheningan yang canggung itu. "Pegunungan Bintang Jatuh adalah rute yang berbahaya."

Natan mendekat ke Wijaya, mengabaikan yang lain. Dia mengangkat tangannya dan menyentuh lencana kecil di kerah Wijaya—lencana yang jarang ia tunjukkan, lencana keluarga bangsawan lama yang telah jatuh.

"Hati-hati dengan jalan yang kau pilih, Wijaya," bisik natan, dengan keintiman yang membuat Ratih seketika merasa terasing. Wajah Ratih menegang, dan cengkeramannya pada Liontin Api Biru mengencang. Natan tahu nama lengkap Wijaya, mengetahui detail tentang masa lalunya yang tersembunyi, dan sentuhan itu... terasa seperti ikatan yang telah terjalin lama.

"Kau memudar, Wijaya," kata natan, suaranya sangat lembut, tetapi menusuk. "Kau selalu berusaha melindungi, tetapi bayangan akan mengikutimu ke mana pun kau pergi. Jangan biarkan masa lalumu menentukan masa depan gadis ini. Pilihanmu harus murni, bukan karena... kewajiban."

Wijaya dengan cepat menjauh dari natan, ekspresi wajahnya tertutup. "Aku tahu apa yang aku lakukan. Aku melindunginya karena dia adalah harapanku, bukan kewajiban."

Ratih melihat interaksi itu. Jantungnya mencelos. Pertanyaan tajam menusuk benaknya: Siapa natan ini? Mengapa dia sangat akrab dengan Wijaya? Dalam keheningan Aeloria yang netral, di mana sihirnya tidak bekerja, kecemburuan manusiawi yang dingin mulai tumbuh. Natan memiliki pengetahuan tentang dirinya dan Liontin, tetapi tatapan dan kata-kata natan kepada Wijaya terasa jauh lebih pribadi dan mengancam.

Jaya, merasakan ketegangan yang tiba-tiba, melangkah di antara Wijaya dan natan. "Baiklah. Kami punya tujuan: Pusara Air Mata. Natan terima kasih atas informasinya. Kami harus pergi sekarang."

Jangan lupa tinggalkan ulasan, komentar dan like ya teman-teman, biar saya tambah semangat up nya 🙏🤗

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!