NovelToon NovelToon
REINKARNASI SANG DEWA KEKAYAAN

REINKARNASI SANG DEWA KEKAYAAN

Status: tamat
Genre:Identitas Tersembunyi / Menjadi Pengusaha / Anak Lelaki/Pria Miskin / Romansa / Mengubah Takdir / Tamat
Popularitas:8.7k
Nilai: 5
Nama Author: Khusus Game

Sinopsis

Arta, Dewa Kekayaan semesta, muak hanya dipuja karena harta dan kekuasaannya. Merasa dirinya hanya 'pelayan pembawa nampan emas', ia memutuskan menanggalkan keilahiannya dan menjatuhkan diri ke dunia fana.

Ia terperangkap dalam tubuh Bima, seorang pemuda miskin yang dibebani utang dan rasa lapar. Di tengah gubuk reot itu, Arta menemukan satu-satunya harta sejati yang tak terhitung: kasih sayang tulus adiknya, Dinda.

Kekuatan dewa Arta telah sirna. Bima kini hanya mengandalkan pikiran jeniusnya yang tajam dalam menganalisis nilai. Misinya adalah melindungi Dinda, melunasi utang, dan membuktikan bahwa kecerdasan adalah mata uang yang paling abadi.

Sanggupkah Dewa Kekayaan yang jatuh ini membangun kerajaan dari debu hanya dengan otaknya?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Khusus Game, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

EPISODE 28

Pipi Risa terasa panas, mungkin semerah gaun yang baru saja ia tanggalkan untuk pemotretan. Gema tawa Bu Lasmini dan kalimat "Aku ingin punya dua cucu" masih terngiang jelas di balik tirai studio yang kini terasa terlalu sunyi.

Risa akhirnya melepaskan pandangannya dari Bima dan menutupi wajahnya dengan kedua tangan.

"Bima, ini memalukan," gumamnya tertahan, suaranya teredam oleh telapak tangannya. "Orang tuaku melihat kita. Mereka melihat semuanya."

Bima masih mempertahankan senyum tipisnya. Tawa ringan yang tulus tadi masih tersisa di matanya. Ia terkejut, tapi tidak panik.

"Mereka melihat, dan mereka merestui," jawab Bima tenang. "Aku akan mencatat ini sebagai hasil rapat dewan keluarga yang paling efisien yang pernah aku hadiri. Tidak perlu proposal, tidak ada negosiasi, persetujuan langsung seratus persen."

Risa menurunkan tangannya, menatap Bima dengan campuran rasa jengkel dan geli. "Berhenti bicara seperti CEO! Kamu tidak bisa menyebut restu orang tua sebagai 'hasil rapat'. Mama bilang dia ingin dua cucu, Bima! Itu... itu di luar agenda!"

"Agenda memang bisa berubah berdasarkan variabel baru," kata Bima.

"Kamu variabelnya," balas Risa cepat, lalu ia terdiam, menyadari apa yang baru saja ia katakan.

Bima melangkah maju satu langkah, menutup jarak di antara mereka di balik tirai. Kehangatan dari tawa Bima tadi kini menghilang, digantikan oleh intensitas yang sama seperti saat ia menarik dagu Risa beberapa saat lalu.

"Aku tidak sedang bercanda, Risa," katanya pelan, suaranya kembali ke nada berwibawa yang biasa ia gunakan saat membahas strategi Yura. "Aku serius."

Risa menelan ludah. Rasa malu karena tertangkap basah kini berganti menjadi debaran yang lebih kuat. "Serius tentang apa? Tentang... ini? Atau tentang cucu?"

"Tentang ini," Bima menegaskan. "Tentang kita."

{Aku telah menghabiskan berbulan-bulan mengubah nol menjadi modal korporat. Aku menghitung setiap variabel risiko, setiap margin keuntungan. Tapi ini... ini adalah variabel yang tidak bisa dihitung. Ini bukan lagi 'Skema Akuisi Hati' yang dingin. Ini adalah hatinya. Ini adalah fondasi sistem yang baru.}

Bima dengan lembut meraih kedua tangan Risa, menariknya dari depan wajah Risa dan menggenggamnya erat.

"Dulu, aku adalah robot," Bima memulai, suaranya tulus. "Aku adalah sistem yang dirancang hanya untuk menang. Untuk melindungi Dinda, untuk membalikkan narasi. Kamu yang mengajariku cara menjadi manusia, Risa. Kamu adalah jaring pengaman emosionalku. Kamu membimbingku, bahkan saat aku masih menjadi Bima yang tidak punya apa-apa."

"Sekarang," lanjutnya, menatap lurus ke mata Risa. "Izinkan aku yang menjagamu. Bukan sebagai CEO, bukan sebagai Dewa Kekayaan. Tapi sebagai Bima."

Konflik internal yang selama ini menghantui Risa, perasaan bersalah karena mencintai sepupunya, kini menguap. Di hadapannya adalah Bima, pria yang telah ia pilih.

"Kamu tidak perlu memintaku, Bima," bisik Risa. "Aku sudah memilihmu sejak lama."

Bima tersenyum, kali ini senyum yang murni kelegaan.

"Jadi," kata Risa, mencoba mengendalikan rona merah di pipinya. "Apa agenda selanjutnya, Tuan CEO?"

"Agenda selanjutnya," kata Bima, kembali menggunakan nada profesionalnya, tapi matanya bersinar jenaka. "Adalah menjemput Dinda dari Rio. Tapi tidak sekarang."

Ia menarik Risa lebih dekat.

"Sekarang, kurasa kita perlu rapat dewan lanjutan. Hanya kita berdua. Untuk membahas detail implementasi dari persetujuan yang baru saja kita dapatkan."

Risa tertawa pelan sebelum Bima kembali menciumnya, kali ini lebih lama, tanpa ada lagi keraguan atau sistem yang menghalangi.

//////////////

Risa adalah orang pertama yang melepaskan diri, meskipun dengan enggan. Napasnya sedikit terengah, dan rona merah di pipinya kini bukan lagi karena malu, tapi karena alasan yang berbeda.

"Bima, kita benar-benar harus pergi," katanya, berusaha mengembalikan nada suaranya agar terdengar normal. "Kru studio mungkin bertanya-tanya kita sedang melakukan 'rapat dewan' apa di balik tirai ini."

Bima tertawa pelan. Tawa itu masih terdengar baru di telinganya sendiri, ringan dan tanpa beban perhitungan strategis. "Kamu benar. Efisiensi waktu. Kita harus segera mengeksekusi agenda berikutnya."

"Yaitu?" tanya Risa sambil merapikan blusnya yang sedikit kusut.

"Menjemput Dinda," jawab Bima. "Lalu makan malam. Bertiga. Sebagai keluarga. Dan untuk agenda itu," ia berhenti sejenak, menatap Risa dengan tatapan yang melembut, "aku tidak akan menghitung margin keuntungannya."

Risa tersenyum tulus. "Itu agenda terbaik yang pernah aku dengar darimu."

Mereka berdua akhirnya keluar dari balik tirai. Seperti dugaan Bima, kru studio sedang sibuk membereskan peralatan pencahayaan dan tidak menyadari drama kecil yang baru saja terjadi. Bima dan Risa berjalan keluar studio, melangkah ke udara malam yang sejuk.

Perjalanan di dalam mobil menuju markas Yura, tempat Rio menunggu bersama Dinda, terasa berbeda. Keheningan di antara mereka bukan lagi keheningan profesional antara CEO dan mitra strategis, tapi keheningan yang nyaman dan penuh arti.

{Sistem telah terintegrasi penuh,} pikir Bima, satu tangannya memegang kemudi sementara tangan lainnya secara alami mencari tangan Risa. {Arta adalah logikanya. Bima adalah wadahnya. Dinda adalah tujuannya. Dan Risa... Risa adalah hatinya.}

Saat Bima menggenggam tangannya, Risa menoleh. "Apa kamu tidak takut?"

"Takut apa?"

"Tentang ini. Tentang kita. Maksudku, secara teknis kita masih keluarga. Tante Elina dan Roni mungkin akan menggunakan ini sebagai senjata baru untuk menyerangmu," kata Risa, menyuarakan sisa-sisa kekhawatiran lamanya.

Bima menggeleng. "Narasi mereka sudah hancur. Mereka tidak punya senjata lagi. Kekayaan Terlihat yang mereka agungkan sudah terbukti kalah oleh Kekayaan Fungsional Yura. Dan cinta," Bima berhenti, menguji kata itu di lidahnya, "adalah aset non-moneter paling kuat yang tidak bisa mereka ukur, apalagi serang."

"Lagipula," tambah Bima, senyum jenaka kembali muncul. "Kita sudah mendapat restu seratus persen dari dewan direksi utama. Pak Bram dan Tante Lasmini. Kasus ditutup."

Risa tertawa. "Kamu benar-benar tidak bisa berhenti bicara seperti itu, ya?"

"Itu sistem operasiku, Risa," balas Bima. "Tapi mulai sekarang, kamu punya akses administrator penuh untuk mengubah pengaturannya kapan saja."

Mereka tiba di markas Yura. Dari jendela kaca, mereka bisa melihat Dinda sedang tertawa sambil menggambar sesuatu di papan tulis putih, sementara Rio mengawasinya dengan sabar.

"Lihat," bisik Risa. "Aset non-likuid paling berhargamu sedang menunggu."

Bima mematikan mesin. "Aset kita," koreksinya dengan lembut.

Ia menoleh ke Risa sebelum mereka turun. "Setelah ini. Setelah Dinda tidur. Aku ingin mengajakmu kembali ke danau."

"Danau?"

"Ya. Tempat di mana Bima yang asli, yang hancur karena utang, pertama kali merasakan perubahan itu. Tempat di mana sistem ini dimulai," jelas Bima. "Aku ingin menutup buku lama di sana, dan memulai buku baru. Bersamamu."

Risa mengangguk, matanya berkaca-kaca. "Aku akan ikut ke mana pun kamu pergi, Bima."

Bima tersenyum, dan untuk pertama kalinya sejak ia turun dari Alam Dewa, ia merasa utuh. Tidak lagi sebagai Dewa yang diabaikan, tidak lagi sebagai robot yang menghitung. Hanya sebagai Bima.

//////////////

Pintu kaca markas Yura bergeser terbuka dengan desisan pelan. Rio, yang sedang berjongkok membantu Dinda membereskan krayon ke dalam kotak, segera mendongak dan berdiri tegak.

"Selamat malam, Pak Bima. Mbak Risa," sapa Rio, nadanya profesional seperti biasa.

Tapi matanya yang tajam menangkap sesuatu yang berbeda. Pak Bima terlihat lebih rileks, dan Mbak Risa, meskipun berusaha tampil tenang, pipinya masih menyisakan rona merah samar.

"Kak Bima! Kak Risa!" Dinda berlari dan langsung memeluk kaki Bima, lalu beralih memeluk Risa. "Kalian lama sekali! Dinda sudah selesai menggambar sistem Yura!"

Risa tertawa dan menggendong Dinda. "Oh ya? Sepenting apa sistemnya?"

"Sangat penting! Kata Om Rio, sistem itu yang membuat kita bisa beli pizza!"

{Atmosfer di ruangan ini terasa berbeda,} pikir Rio dalam hati. {Jelas sekali 'rapat dewan' di studio tadi berjalan dengan sangat... sukses. Parameter hubungan mereka telah berubah.}

"Kerja bagus, Rio. Terima kasih sudah menjaga Dinda," kata Bima, suaranya terdengar lebih hangat dari biasanya. "Kamu boleh pulang sekarang. Pastikan kamu beristirahat. Besok kita mulai implementasi kontrak primer."

"Siap, Pak Bima," jawab Rio. Ia mengambil tasnya, memberikan anggukan singkat pada Risa, dan segera pergi.

Kini hanya tersisa mereka bertiga di kantor yang lengang.

"Jadi," kata Risa, masih menggendong Dinda. "Agenda selanjutnya adalah pizza, kan?"

"Agenda selanjutnya adalah pizza," Bima mengkonfirmasi.

Restoran pizza itu sama seperti sebelumnya, tapi suasana di meja mereka telah berubah total. Ini bukan lagi pertemuan strategi antara CEO dan Leverage Jaringan Sosial. Ini adalah makan malam keluarga.

Bima tidak lagi sibuk menganalisis data di ponselnya. Ia fokus sepenuhnya pada Dinda, membantunya memotong pizza dan mendengarkan celotehannya tentang gambar sistem Yura yang ia buat.

Risa mengamati interaksi itu. Bima yang ia lihat sekarang adalah Bima yang ia rindukan. Pria yang tertawa lepas saat Dinda membuat lelucon, pria yang menyeka saus dari pipi adiknya, pria yang tatapannya kini penuh kehangatan, bukan lagi perhitungan dingin.

{Dia sudah pulang,} batin Risa, merasakan kelegaan yang luar biasa. {Bima yang dulu kukenal, yang tersembunyi di balik robot CEO itu, akhirnya kembali.}

"Kak Risa, kenapa senyum-senyum terus?" tanya Dinda, memiringkan kepalanya.

Risa tersentak pelan. "Ah, tidak. Kakak hanya senang kita bisa makan malam bertiga seperti ini."

"Dinda juga!" seru Dinda.

Setelah pizza habis dan Dinda mulai menguap, Bima membayar tagihan.

{Aku tidak menghitung biayanya,} Bima menyadari dalam hati. {Aku tidak memikirkan ROI dari makan malam ini. Aku hanya... bahagia. Sistem yang lama, sistem Arta yang hanya berfokus pada akumulasi dan pertahanan, sudah tidak lagi dominan. Ini sistem Bima. Dan fondasinya adalah Dinda dan Risa.}

Mereka mengantar Dinda kembali ke rumah Pak Bram dan Bu Lasmini. Dinda sudah tertidur di pangkuan Risa di kursi belakang. Bima menggendongnya dengan hati-hati ke dalam rumah.

"Kalian bersenang-senang?" bisik Bu Lasmini di ambang pintu, matanya bersinar geli saat melihat Risa.

"Kami makan malam, Ma," jawab Risa, berusaha terdengar biasa saja.

"Hati-hati di jalan pulang," kata Pak Bram, menepuk bahu Bima. "Dan ingat, Bima, restu kami serius."

Bima hanya mengangguk, sedikit canggung.

Setelah Dinda aman di tempat tidur, Bima dan Risa kembali ke mobil. Suasana kembali hening, tapi kali ini dipenuhi antisipasi.

Risa menatap Bima saat ia menyalakan mesin. "Jadi, agenda selanjutnya, Tuan CEO?"

Bima tidak langsung menjawab. Ia mengemudikan mobil keluar dari kompleks perumahan, berbelok ke arah yang berlawanan dari markas Yura.

"Agenda penutupan buku," kata Bima pelan.

Mobil itu melaju dalam keheningan, membelah malam yang tenang, menuju danau tempat semuanya dimulai.

1
Seeula
keren banget hehh kamu bima
Dewiendahsetiowati
terima kasih untuk ceritanya dan ditunggu karya selanjutnya thor
Dewiendahsetiowati
ceritanya bikin nagih baca terus
Dewiendahsetiowati
hadir thor
Khusus Game: halo, ka. selamat membaca, sorry ya baru cek komen🙏😄
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!