”Semua orang tahu, kalau cuma ada lima Big Boss di Marunda. Arnold, Baek, Kim, Delaney, sama Rose. Lima keluarga itulah yang berkuasa di North District, dan enggak ada satu pun yang berani melawannya.”
Season: I, II, ....
જ⁀➴୨ৎ જ⁀➴
Begitu keluar dari toilet, tiba-tiba ada pintu kantor yang terbuka di sebelah kananku. Refleks, aku pun menengok ke arah suara itu. Dan seketika, hawa dingin langsung menjalar ke tubuhku.
Aku melihatnya dengan jelas, Remy Arnold sedang memegangi leher seorang laki-laki. Aku enggak bisa dengar apa yang mereka bicarakan, tapi saat Big Jonny keluar dari ruangan, aku lihat Remy menusukkan pisau ke tenggorokan lelaki itu.
"Ya, Tuhan!" Teriakanku pun langsung membuat Big Jonny menengok ke arahku. "Sial!"
Aku harus kabur, tapi bahkan belum sampai melangkah, tangan kasarnya sudah meraih lenganku dan menyeretku ke dalam kantor itu.
Enggak.
Enggak.
Enggak.
“Ampun. Aku enggak lihat apa-apa!” mohonku.
Big Jonny pun cuek saja, dan itu membuatku makin panik.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon DityaR, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
I. Lips Service
...୨ৎ R E M Y જ⁀➴...
“Ada apa, Rainn?” tanyaku begitu dia lari ke arahku.
Dia menggeleng cepat, terus menepuk dadaku, napasnya tersengal. Saat dia melihatku, matanya penuh dengan emosi, mau menangis.
“Ada apa ini?” geramku, nadaku langsung keras. “Siapa yang nyentuh kamu?”
Aku udah siap meremukkan siapa pun yang bikin dia kayak begini.
Tapi dia menggeleng lagi, pelan, terus ulurkan tangannya, menangkup daguku, dan berjinjit sedikit agar dapat menatapku lebih dekat. Refleks, aku pun condongkan tubuhku, dan saat dia berhenti, aku tahu persis apa yang akan terjadi.
Aku langsung rangkul pinggangnya, tarik dia lebih dekat, sampai tubuhnya nempel di dadaku. Tangan satunya aku taruh di pipinya, menyibak rambut ikalnya agar enggak menutupi wajahnya.
Aku lihat dia dengan lama, benar-benar mencari kepastian dari tatapan mungil itu, dan di situ, dia berbisik pelan, tapi cukup untuk membuat seluruh pertahananku hancur.
“Aku siap, Remy.”
Dan duniaku pun langsung berhenti.
Aku menatap malaikat kecilku itu, dan semua tembok di hatiku runtuh begitu saja. Emosi di dadaku meledak, keras sekali sampai rasanya bernapas pun jadi berat.
Rasa posesifku yang menyengat. Cemburuku yang gila. Naluri untuk melindunginya dengan caraku. Semuanya menyala seketika di uratku, bergetar di tiap napasnya, saat kucing kecil ini berhasil menyentuh sisi tergelap jiwaku.
Dan aku menyibak lagi rambut yang nempel di wajahnya. Tatapanku terkunci di matanya dan di momen itu, aku merasa terhubung dengan cara yang enggak pernah aku rasakan dengan siapa pun.
Cintaku ke dia itu?
Tanpa syarat.
Tanpa ada batas.
Tanpa ada logika.
Tanpa pikir panjang,
aku pun menutup jarak di antara kami.
Akhirnya, bibirku menyentuh bibirnya terlebih dahulu, pelan, hanya sekilas, sebelum aku menarik diri lagi. Mata kami bertemu, dan di sana aku berjanji dalam hati, "Aku bakal lindungin kamu sekuat tenaga. Aku bakal cinta kamu sampai mati. Mulai detik ini, hidupku cuma buat kamu, istriku."
Setelah itu, aku enggak tahan lagi. Aku cium dia dalam-dalam, rakus, penuh hasrat, dendam, marah, sedih, bahagia, cemas dan semuanya yang sudah aku tahan berhari-hari.
Ciuman itu membuatnya mundur setapak, dan aku langsung tarik dia lebih dekat lagi, merangkul sampai kakinya terangkat dari lantai.
Berengsek.
Akhirnya juga.
Bibirnya, lembut banget, seperti sinar matahari pagi yang menyentuh kulit dinginku. Saat lidahku menyentuh ujung lidahnya, rasanya seperti aku sedang disembuhkan. Cahaya dia terlalu terang sampai kegelapan dalam diriku luntur, membakar dingin di hatiku sampai berubah jadi hangat.
Aku mengeluh pelan di mulutnya, napasku bergetar bersama setiap sentuhan yang dia berikan. Emosi di dadaku campur aduk, dan semuanya meledak saat bibirnya menempel di bibirku.
Aku miringkan kepala, merasakan tekstur lembut bibirnya. Lidahku langsung mengambil alih, dan gigiku menyenggol bibir bawahnya, cukup keras, sengaja, agar dia enggak bakal pernah lupa sama ciuman ini.
Ciuman pertamamu, Rainn.
Aku lantunkan geraman rendah, “Kamu milik aku.”
Sebelum dia sempat menjawabnya, aku sudah kembali lagi merenggut bibirnya, lebih dalam, lebih lapar. Kami habiskan napas kami berdua di bibir itu.
Masih haus, aku angkat dia ke balkon, duduk di kursi santai, tarik dia ke pangkuanku. Tanganku melingkar di belakang lehernya, menahan dia agar enggak kabur sambil aku terus mencuri ciuman lagi, lagi, dan lagi.
Waktu pun seakan berhenti. Duniaku isinya cuma Rainn, aroma, rasa, dan napasnya. Dan bahkan saat bibirku mulai perih karena gesekan itu, aku tetap enggak bisa berhenti. Lidahku masih mencari-cari dia, merasakan setiap detiknya. Aku enggak bakal pernah bosan sama cewek ini.
Akhirnya aku lepas juga ciumannya, cuma buat melihat wajahnya yang memerah, matanya pelan-pelan terbuka, dan di sana aku lihat dia terkejut sekaligus.
Aku berbisik pelan, takut merusak momen, “Jadi ... ini artinya kamu udah mulai merasakan sesuatu ke aku?”
Dia angkat tangannya, menyentuh daguku, jempolnya mengusap bibir bawahku pelan. “Iya.”
Senyumku pun langsung terbentuk tanpa bisa ditahan. Aku tarik dia ke pelukanku, erat banget. Tanganku menangkup dagunya lagi, dan aku turunkan kepala, menyegel bibir kami kembali.
Menit demi menit berlalu, ciuman itu makin lembut, makin tenang.
Di sela-sela napas, dia malah tersenyum.
Saat akhirnya aku mundur, dia keluarkan desahan kecil dan berbisik, “Sekarang aku nyesel pernah bikin aturan itu!”
Aku menyeringai. “Hmm … kalau aja kamu tahu apa yang udah kamu lewatin.”
Dia usap pipi sama daguku sambil menatapku lama, dan rasanya dunia jadi tenang banget.
Aku akhirnya berdiri, masih dengan mengendong dia ala pengantin, dan mulai jalan ke arah kolam renang.
Dia langsung paham, peluk leherku erat-erat. “Remi, jangan! Aku udah keramas pagi ini!”
Aku tertawa kecil, “Telat.”
Aku lari, dan lompat bersama dia ke kolam. Airnya langsung menyambar kami, dingin, tapi sensasinya, gila.
Begitu muncul ke permukaan, aku tarik dia ke dadaku lagi dan menciumnya di bawah air.
Dia mencengkeram bahuku, terus kaki mungilnya melingkar di pinggangku.
Aku sudah enggak bisa menahan diri lagi. Di antara desahan dan ciuman, aku turunkan tangan ke bawah, melepaskan penghalang terakhir di antara kami. Satu sentuhan, dan dia jadi sepenuhnya milik aku.
Dia hembuskan erangan pelan, tubuhnya bergetar di tanganku. Jadi aku dorong dia ke tepi kolam, masih dengan menciumnya, menyerap setiap rasa dan napasnya.
...જ⁀➴୨ৎજ⁀➴...
Sekarang aku berdiri di ruang rawat, tangan menyilang di dada, memperhatikan Benny yang masih terbaring di ranjang rumah sakit.
Kemarin, usus buntunya pecah, dan kita harus buru-buru bawa dia ke UGD. Aku hampir kena serangan jantung waktu itu. Baru sadar betapa pentingnya dia buat aku.
Rainn duduk di samping Benny, merapikan selimut di dada pengawalnya, suaranya lembut, “Cepat sembuh ya, Ben.”
Ekspresinya penuh perhatian, dan itu menyentuh sesuatu di dalam diriku.
“Kamu butuh apa?” tanyaku.
Benny menggeleng. “Aku enggak apa-apa, Bos. Enggak usah khawatir.”
Rainn malah menyodorkan tangannya, membungkus tangan Benny yang besar itu di antara tangan kecilnya. Selama dua minggu terakhir, mereka memang makin dekat. Benny protektif banget, seperti beruang, dan Rainn, dia sudah menganggapnya seperti teman.
Benny melihatku. “Maaf, Bos.”
“Enggak ada yang perlu minta maaf,” jawabku pelan.
Dia keluarkan napas panjang, “Lanjutin aja perjalanannya, Bos. Aku bakal keluar dari sini bentar lagi, terus nyusul.”
Aku menyipit, menggeleng pelan. “Kapan terakhir kali kamu istirahat, hah?” Dia diam, jelas lupa. Aku mendengus, “Kamu bahkan enggak ingat. Udah, istirahat aja di rumah. Suruh Juwiie yang urus kamu.”
Dia sempat lihat ke arah Rainn, tapi aku langsung memotongnya, “Big Jonny ikut sama kita. Enggak bakal ada apa-apa sama Rainn.”
“Kesehatan kamu tuh penting buat kita, Ben,” kata Rainn lembut sambil menepuk tangan cowok itu. “Jadi tolong … istirahat, ya.”
Benny cuma bergumam pelan, “Oke.”
Big Jonny maju dari belakang, menyeringai lebar. “Dan jangan kamu berani-berani nonton Game of Thrones tanpa aku, Bro.”
Benny cekikikan, terus langsung menyeringai, pegang perutnya yang masih sakit.
Aku cuma bisa mengelus dada, terus menepuk bahunya pelan. “Kamu layak buat istirahat, Ben. Jadi ya udah, rebahan aja.”
“Iya, Bos,” jawabnya pelan.
Rainn berdiri, menunduk sedikit ke arah Benny, dan cium keningnya seperi mencium anak kecil. “Aku bakal nelpon tiap hari, buat mastiin kamu baik-baik aja.”
Aku merasa ada sesuatu yang mendesak di dadaku, bukan marah, tapi semacam ?!!
Cemburu.
Ah.
Sialan.
Aku tahu itu cuma Benny, tapi tetap saja ada bagian dalam diriku yang enggak mau melihat bibir istriku menyentuh laki-laki lain, siapa pun itu.
Benny tertawa kecil lagi, terus meringis. Aku pun mendengus. “Tuh, kan.”
“Cemburu, ya?” ledek Rainn sambil jalan ke arahku.
Aku ulurkan tangan, dan saat tangannya menyentuh telapakku, jari-jari kami langsung saling terkait. Aku lihat Benny dan bilang, “Dan kamu, stop makan junk food!”
Benny tarik napas panjang. “Siap, Bos.”
Kita pun keluar dari ruangan itu, Big Jonny mengekor di belakang seperti biasa.
Kalau saja aku enggak punya dua meeting penting yang sudah dijadwalkan di Langkawi, aku pasti menunda keberangkatan sampai Benny pulih total. Tapi bisnis tetaplah bisnis.
Aku lihat jam, terus bilang, “Kita mampir dulu ke rumah buat ambil koper, habis itu langsung ke bandara.”
Rainn cuma mengangguk, tapi dari wajahnya terlihat sekali kalau dia masih kepikiran Benny. Dia menyenggol lengan bawahku, menempel makin dekat saat kita jalan keluar dari rumah sakit.
Dia cepat belajar.
Aku cuma perlu bicara sekali kalau aku mau dia selalu di sampingku tiap kali kita lagi di tempat umum, dan dia nurut.
Lebih gampang buat aku untuk menjaganya kalau ada hal yang enggak terduga. Bukan berarti aku berharap bakal ada serangan, tapi, ya, hidup aku enggak pernah benar-benar aman.
Kami duduk di belakang. Begitu Big Jonny duduk di depan kemudi, aku bilang, “Jonny, kamu jagain Rainn terus selama aku urus urusan di sana, paham?”
Dia tampak mengangkat alisnya lewat pantulan kaca spion.
Sejak awal dia bekerja, dia enggak pernah meninggalkanku sendirian. Ke mana pun aku pergi, dia pasti ikut. Tapi dengan Benny masih di rumah sakit, aku butuh dia buat menjaga istriku.
Selain itu, aku juga bakal suruh anak buah Om Deth untuk bantu mengawasinya.
Lagipula, aku bisa menjaga diriku sendiri.
cepetan update lagi ✊