Semua orang mengira Zayan adalah anak tunggal. Namun nyatanya dia punya saudara kembar bernama Zidan. Saudara yang sengaja disembunyikan dari dunia karena dirinya berbeda.
Sampai suatu hari Zidan mendadak disuruh menjadi pewaris dan menggantikan posisi Zayan!
Perang antar saudara lantas dimulai. Hingga kesepakatan antar Zidan dan Zayan muncul ketika sebuah kejadian tak terduga menimpa mereka. Bagaimana kisah mereka?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Desau, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 28 - Zayan?
Zidan sempat mundur setengah langkah saat Niken menjerit. Suaranya begitu tajam, penuh emosi yang meledak-ledak. Gadis itu memandangnya seperti hendak membunuh, matanya merah karena tangis, bibirnya bergetar.
“Pergi!” ulang Niken lagi dengan nada tinggi. “Aku nggak mau lihat muka kamu lagi, Zayan!”
Zidan terdiam di tempat, masih memegang helm di satu tangan dan kunci pas kecil di tangan lain. Ia bahkan belum sempat memperkenalkan diri. “Maaf, Mbak… tapi aku bukan--”
“BERHENTI BERAKTING!” potong Niken sebelum ia sempat menyelesaikan kalimatnya. “Kau pikir aku bodoh, hah? Kau baru saja berlutut di restoran pakai kemeja hitam, sekarang pakai kaus abu-abu dan jaket lusuh, pura-pura jadi orang lain! Dasar pengecut!”
Zidan hanya bisa mengerjap bingung. Ia menoleh ke arah mobil, lalu ke arah Niken lagi. Jelas perempuan itu salah paham, tapi melihat matanya yang penuh air mata, Zidan memilih tak memperpanjang perdebatan. Ia hanya menghela napas pelan dan menunduk sedikit.
“Aku cuma mau bantu, Mbak. Mobilnya berhenti di tengah jalan, bahaya kalau ditinggal begini.”
Niken mendengus kesal. “Aku nggak butuh bantuanmu, Zayan! Kalau kau mau pura-pura jadi orang lain, sekalian saja ganti wajah!”
Zidan tersenyum kikuk. “Wajah, ya? Hehe… kalau itu agak susah, Mbak.”
Niken semakin murka mendengar candaan itu. “Kau pikir ini lucu, hah?! Setelah semua yang kau lakukan, kau masih bisa bercanda?!”
Ia keluar dari mobil dengan kasar, pintu dibanting keras hingga membuat beberapa pengendara di belakang menatap penasaran. Niken menunjuk wajah Zidan dengan tangan bergetar. “Kau pria paling menjijikkan yang pernah aku kenal! Dasar pembohong! Dasar laki-laki murahan yang cuma bisa ngelindungi harga diri keluarga!”
Zidan yang benar-benar tidak paham apa yang sedang terjadi, hanya berdiri diam. Ia tahu gadis ini pasti sedang terluka berat. Suaranya pecah bukan karena benci, tapi karena kecewa.
“Kalau sudah puas marahnya, boleh aku periksa mobilnya?” tanyanya lembut.
“Jangan pura-pura peduli!” Niken masih memaki, matanya kembali basah. “Kau pikir aku bakal luluh kalau kau pura-pura jadi orang baik?”
Zidan mengangkat kedua tangannya, menyerah. “Baiklah, aku nggak maksa. Tapi lampu hazard-nya mati, dan posisi mobil Mbak di tengah jalan. Kalau dibiarkan, bisa kecelakaan. Aku bantu dorong ke pinggir aja, ya?”
Tanpa menunggu jawaban, Zidan menaruh helmnya di tanah dan mulai mendorong mobil perlahan. Meskipun tangannya satu sedikit cacat, gerakannya cekatan. Ia mendorong dengan bahu, dan setelah berjuang beberapa menit, akhirnya mobil itu berhasil menepi ke sisi jalan.
Niken berdiri mematung. Dalam diam, amarahnya perlahan mereda, berganti rasa bingung. Ia memperhatikan sosok yang ia kira Zayan itu dari belakang, punggungnya lebih tegap, bahunya lebih kokoh, tapi cara jalannya agak berbeda, sedikit pincang.
“Zayan…” panggilnya lirih, tapi tanpa sadar nadanya melembut. “Kau… sejak kapan bisa ganti baju secepat itu?”
Zidan menatapnya, dahi berkerut. “Mbak, aku bukan Zayan.”
Namun Niken tak mendengar penjelasan itu. Ia sibuk memperhatikan tangan kiri Zidan yang tampak berbeda, sedikit bengkok, seolah pernah mengalami luka lama. Sesuatu di dadanya bergetar, antara rasa penasaran dan rasa bersalah. Tapi pikirannya sudah terlalu kusut untuk membedakan kenyataan.
“Aku nggak tahu permainan apa lagi yang sedang kau lakukan, tapi kalau ini caramu menebus kesalahan, ya sudahlah. Perbaiki saja mobilku,” gumamnya pelan, nadanya lebih lemah dari sebelumnya.
Zidan tersenyum kecil, lalu membuka kap mobil. Bau bensin bercampur oli langsung menyembur. Ia menyalakan senter dari ponselnya, lalu menunduk memeriksa bagian mesin. “Sepertinya aki-nya kendor, Mbak. Tadi sempat panas juga. Tunggu sebentar, aku kencangkan dulu bautnya.”
Niken berdiri di samping mobil, menatapnya dengan bingung. 'Dia bahkan tahu soal mesin mobil?' pikirnya. Sementara Zayan, pria yang ia kenal, bahkan tidak bisa membedakan obeng dan kunci pas.
Zidan sibuk bekerja dengan sabar, tanpa satu pun keluhan, meskipun tangannya tampak kesulitan memutar kunci. Ia sesekali mengelap keringat dengan lengan bajunya. Setelah beberapa menit, ia menutup kap mobil dan tersenyum puas.
“Coba nyalakan, Mbak,” katanya.
Niken masuk ke dalam mobil, memutar kunci kontak, dan… mesin menyala. Suaranya kembali normal. Niken menghela napas lega.
“Sudah bisa. Terima kasih,” katanya lirih, masih bingung antara lega atau malu.
Zidan tersenyum. “Sama-sama, Mbak. Hati-hati ya, jangan parkir di tengah jalan lagi. Bisa bahaya.”
Niken menatapnya lama, mencari tanda-tanda bahwa ini memang Zayan yang sedang berpura-pura. Tapi wajah itu, meskipun mirip, ada sesuatu yang berbeda. Tatapannya tidak sama, lebih lembut, lebih tulus.
“Zayan…” bisiknya lagi, “kau berubah, ya?”
Zidan menggaruk kepala. “Hmm, aku nggak tahu bagaimana Zayan itu. Tapi kalau orangnya mirip aku, mungkin dia ganteng juga, ya?”
Ucapan itu membuat Niken tak kuasa menahan tawa kecil, di sela-sela matanya yang masih basah. Ia segera menutup mulutnya sendiri, malu karena sempat tertawa di tengah tangisnya.
Zidan menatapnya sambil tersenyum. “Nah, itu baru lebih baik. Jangan terlalu marah-marah, nanti cepat tua.”
“Aku benci kamu..." gumam Niken, tapi kali ini suaranya lebih lembut, seperti bukan benar-benar bermaksud.
Zidan hanya mengangguk sambil mengambil helmnya. “Kalau benci bikin Mbak tenang, nggak apa-apa. Yang penting mobilnya sudah beres.”
Saat motor Zidan melaju pergi, Niken masih duduk di balik kemudi, menatap punggung pria itu yang perlahan menjauh. Hatinya berdebar. Entah kenapa, meski ia yakin barusan berhadapan dengan Zayan, sesuatu terasa berbeda. Dan untuk pertama kalinya malam itu, Niken merasakan sesuatu yang aneh, bukan kemarahan, tapi rasa hangat yang pelan-pelan meluruhkan luka di dadanya.
Orang yang menggunakan atau melakukan sesuatu yg direncanakan untuk berbuat keburukan/mencelakai namun mengena kepada dirinya sendiri.
Tidak perlu malu untuk mengakui sebuah kebenaran yg selama ini disembunyikan.
Menyampaikan kebenaran tidak hanya mencakup teguh pada kebenaran anda, tetapi juga membantu orang lain mendengar inti dari apa yang anda katakan.
Menyampaikan kebenaran adalah cara ampuh untuk mengomunikasikan kebutuhan dan nilai-nilai anda kepada orang lain, sekaligus menjaga keterbukaan dan keanggunan.
Mempublikasikan kebenaran penting untuk membendung berkembangnya informasi palsu yang menyesatkan lalu dianggap benar.
Amarah ibarat api, jika terkendali ia bisa menghangatkan dan menerangi. Tapi jika dibiarkan, ia bisa membakar habis segalanya termasuk hubungan, kepercayaan, bahkan masa depan kita sendiri...😡🤬🔥
Kita semua pernah marah. Itu wajar, karena marah adalah bagian dari sifat manusia.
Tapi yang membedakan manusia biasa dengan manusia hebat bukanlah apakah ia pernah marah, melainkan bagaimana ia mengendalikan amarah itu.
Alam semesta memiliki caranya sendiri untuk menyeimbangkan segala hal.
Apa yang kita tanam, itulah yang kita tuai.
Prinsip ini mengajarkan kita bahwa tindakan buruk atau ketidakadilan akan mendapatkan balasannya sendiri, tanpa perlu kita campur tangan dengan rasa dendam..☺️
Meluluhkan hati seseorang yang keras atau sulit diajak berdamai adalah tantangan yang sering kita hadapi dalam kehidupan sehari-hari.
Baik dalam hubungan keluarga, pertemanan, maupun pekerjaan.
Meluluhkan hati seseorang adalah usaha yang harus diiringi dengan kesabaran, doa, dan perbuatan baik. Serahkan segala urusan kepada Allah SWT karena hanya Dia yang mampu membolak-balikkan hati manusia.
Jangan lupa untuk selalu bersikap ikhlas dan terus berbuat baik kepada orang yang bersangkutan.
Karena kebaikan adalah kunci untuk meluluhkan hati manusia.