Nuansa dan Angger adalah musuh bebuyutan sejak SMA. Permusuhan mereka tersohor sampai pelosok sekolah, tiada yang luput untuk tahu bahwa mereka adalah dua kutub serupa yang saling menolak kehadiran satu sama lain.
Beranjak dewasa, keduanya berpisah. Menjalani kehidupan masing-masing tanpa tahu kabar satu sama lain. Tanpa tahu apakah musuh bebuyutan yang hadir di setiap detak napas, masih hidup atau sudah jadi abu.
Suatu ketika, semesta ingin bercanda. Ia rencakanan pertemuan kembali dua rival sama kuat dalam sebuah garis takdir semrawut penuh lika-liku. Di malam saat mereka mati-matian berlaku layaknya dua orang asing, Nuansa dan Angger malah berakhir dalam satu skenario yang setan pun rasanya tak sudi menyusun.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon nowitsrain, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
The Things We Don’t Say
Saat hendak menutup kembali pintu kulkas, dia malah melihat kotak kue yang Han Jean belikan tadi sore. Padahal secara tidak langsung, Nuansa sudah mengecewakan dengan pergi terburu-buru lalu kembali tanpa membawa penjelasan. Tetapi Han Jean masih saja memberikannya sesuatu, yang kini terasa tidak layak untuk diterima.
“Kenapa orang-orang baik selalu ketemu dengan yang bajingan?” Dan dalam hal ini, dialah si bajingan itu.
Nuansa mengeluarkan kotak kue itu dari kulkas, membawanya ke meja makan. Di salah satu kursi, dia duduk, menatap kotak kue itu sejenak dengan dada yang mulai terasa berat.
Lalu di bawah remang-remang keadaan dapur, dia membuka kotak kue itu, membuat potongan besar yang dijejalkan paksa ke dalam mulut. Rasa cheese berpadu blueberry, salah satu kesukaannya. Tetapi rasa bersalah yang bercokol di dada membuat lumatan kue yang lembut, terasa seperti bongkahan batu kala melewati tenggorokannya.
Meski begitu, Nuansa tetap lanjut memakan kue tersebut. Terus dijejalkan potong demi potong, sampai mulutnya penuh, sampai tenggorokannya terasa seperti dicekik.
Setengah habis, Nuansa mulai menangis. Diletakkannya sendok, menyusul kepalanya rebah di atas meja. Mulutnya masih penuh kue yang belum selesai dikunyah. Napasnya payah, diperburuk oleh isakan putus-putus.
Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, dia memohon sekali pada Tuhan. Agar dijauhkan segala pelik dan dilancarkan saja jalannya bersama Han Jean. Karena Nuansa sadar dirinya buruk, tetapi hidup tanpa Han Jean juga bukan sesuatu yang akan bisa dia tanggung.
...✨✨✨✨✨...
Keesokan paginya, Angger terbangun dengan badan pegal-pegal. Lehernya terasa kaku, butuh waktu cukup lama untuk mengendurkan otot-otot di sekitar sana sampai lehernya bisa digerakkan kembali dengan leluasa.
Pertama kali yang Angger cari adalah keberadaan ponselnya. Namun, yang menarik perhatiannya justru adalah selembar kertas yang ditinggalkan menempel dia tas laptopnya. Angger bangun perlahan, menurunkan kedua kakinya, dan mencondongkan tubuhnya ke depan. Kertas diambil, lalu mulai dibaca.
Ternyata, itu adalah notes yang K tinggalkan sebelum pergi. Yang isinya:
Saya pergi ke lapangan untuk mulai misi. Di dapur, saya sudah siapkan makanan, Chief bisa langsung makan atau panaskan sebentar. Kalau Chief masih mau istirahat di sini, tolong pindah ke kamar saya atau kamar tamu, jangan tidur di sofa, kasihan badan Chief pasti sakit semua. Saya kembali mungkin pukul 2. Jangan pergi ke makam sendiri, nanti saya temani.
Pada bagian kiri bawah, tertanda K ditulis dalam huruf kapital.
Angger tersenyum membaca pesan manis itu. Memang tidak serta-merta membuat masalahnya selesai, tetapi setidaknya kehangatan yang muncul dari tindakan K tersebut, cukup untuk mendatangkan energi bagi Angger dalam melewati masa-masa sulit ini.
“He’s so cute, I could die,” guraunya.
Kertas tadi tidak Angger buang, melainkan dilipatnya beberapa kali hingga menjadi ukuran kecil, lalu dimasukkannya ke dalam dompet. Akan dia simpan. Mungkin tampak sepele, tetapi siapa yang tahu kalau suatu hari nanti akan dia rindukan sisi manis K yang seperti ini? Siapa tahu di masa depan, K akan memilih menjalani kehidupan dengan pilihannya sendiri.
Yang selanjutnya Angger lakukan adalah mengambil ponsel, langsung menghubungi orang-orang yang K tempatkan di sekitar Nuansa, meminta laporan rutin. Hanya sekejap sejak dirinya mengirim pesan, balasan sudah datang. Beberapa foto dikirimkan, Angger periksa pelan-pelan.
Foto pertama menunjukkan potret Nuansa dalam balutan baju olah raga. Semuanya serba hitam, dari ujung kaki sampai kepala. Telinganya tersumpal earbuds, kedua tangan masuk ke saku jaket, dan wajahnya bersih dari pulasan make up.
Selanjutnya, layar digeser. Foto kedua menunjukkan seseorang yang berpakaian serba hitam juga. Laki-laki, mengenakan topi dan masker, juga sarung tangan. Orang itu berdiri tidak jauh dari tempat Nuansa berada. Menurut informan yang K tempatkan, orang itu sudah mengikuti Nuansa sejak perempuan itu keluar dari kediamannya.
Foto lain yang dikirimkan kepada Angger adalah kotak surat di area taman. Kata informan, di kotak surat itulah seseorang yang sedang mengawasi Nuansa bertukar informasi dengan orang lain--mungkin bosnya, mungkin juga orang suruhan yang lain.
Angger selesai memeriksa tiga foto itu, lantas menekan nomor sang informan. Tidak perlu menunggu berdetik-detik, panggilannya langsung diterima.
"Sekarang ini, kalian ada berapa di sana?"
"Empat, Chief."
"Oke," Angger bangkit, berjalan santai menuju dapur, mengambil air dingin dari dalam kulkas. "Salah satu dari kalian, menempel ke orang yang buntuti Nuansa. Satu bersiaga dekat kotak surat, yang dua tetap fokus awasi Nuansa sampai dia aman kembali ke rumah," titahnya, kemudian menenggak air mineral ukuran 330ml yang barusan diambilnya.
"Baik, Chief." Sang informan menjawab patuh.
Angger tidak lantas memutus sambungan telepon, meski apa yang ingin disampaikannya sudah tersalurkan. Dia menahan diri, berpikir sebentar, apakah sekiranya ada yang perlu dia minta lagi. Lalu satu pikiran terlintas di kepalanya, dan langsung diucapkannya tanpa berpikir ulang terlalu lama.
"Satu lagi," mulainya, "tolong minta seseorang yang nggak sedang on duty untuk pergi ke bakery langganan saya. Nanti saya chat apa aja yang harus dibeli dari sana."
"Baik, Chief. Kirimkan saja pesanan Chief, akan langsung saya teruskan."
"Oke." Angger memutus sambungan telepon, lalu mengetikkan beberapa kalimat dan langsung dikirim. Tidak ditunggunya balasan. Layar ponselnya langsung dimatikan, dan benda pintar itu disimpannya di atas counter.
Beragam jenis menu makanan yang terhampar di meja makan, lebih menarik perhatiannya sekarang. Dia berjalan ke sana, menarik salah satu kursi dan segera mendaratkan bokongnya di sana.
Mata Angger berbinar, bibirnya melengkung sempurna. K sangat berniat untuk menghibur dirinya. Tahu betul hari peringatan kematian kakak perempuannya selalu membuat kesedihannya datang berkali-kali lipat lebih parah dari hari-hari biasanya. Setiap perasaan yang tidak bisa K katakan melalui lisan, seakan tampil dari masakan yang disajikan.
Angger menarik sumpit dari rak sendok kecil di atas meja, lalu mencomot brokoli tumis bawang putih yang aromanya paling menggugah selera. Gurih terasa lumer di dalam mulutnya. Berpadu tekstur brokoli yang masih renyah, sejak K memasaknya hanya sebentar.
"Harusnya dia serius jadi Chef aja, bukan malah jadi palugada." Dia berkomentar, dengan senyum tidak tertahan.
Angger sudah pernah mengatakan hal itu secara langsung kepada K, tetapi pria itu selalu bilang masakannya tidak seenak itu untuk dirinya percaya diri serius menekuni bidang kuliner.
Padahal kalau K bilang mau, Angger sudah siapkan budget untuk mengirimnya ke Culinary Institute of America, supaya kelak pria itu bisa menghidupi dirinya dari masakan yang diciptakannya penuh cinta.
"Sayang banget kan, bakat sebagus ini disia-siakan begitu aja." Angger masih terus berkomentar selagi mencicipi masakan K yang lain.
Sungguh tiada selain pujian yang keluar dari bibirnya. Tidak sekali pun ada komentar pedas soal keasinan, terlalu manis, terlalu hambar, atau apa pun itu yang menunjukkan kekurangan. Di lidah Angger, masakan K sempurna.
Sementara itu, selagi Angger menikmati sedikit waktunya dengan masakan K yang tulus penuh cinta, tim di lapangan mulai bekerja sesuai perintah yang diterima.
Bersambung....