Raka, 28 tahun, pria biasa dengan pekerjaan seadanya dan istri yang mulai kehilangan kesabaran karena suaminya dianggap “nggak berguna”.
Hidupnya berubah total saat sebuah notifikasi aneh muncu di kepalanya:
[Selamat datang di Sistem Suami Sempurna.]
Tugas pertama: Buat istrimu tersenyum hari ini. Hadiah: +10 Poin Kehangatan.
Awalnya Raka pikir itu cuma halu. Tapi setelah menjalankan misi kecil itu, poinnya benar-benar muncul — dan tubuhnya terasa lebih bertenaga, pikirannya lebih fokus, dan nasibnya mulai berubah.
Setiap misi yang diberikan sistem — dari masak sarapan sampai bantu istri hadapi masalah kantor — membawa Raka naik level dan membuka fitur baru: kemampuan memasak luar biasa, keahlian komunikasi tingkat dewa, hingga intuisi bisnis yang nggak masuk akal.
Tapi semakin tinggi levelnya, semakin aneh misi yang muncul.
Dari misi rumah tangga biasa… berubah jadi penyelamatan keluarga dari krisis besar.
Apakah sistem ini benar-benar ingin menjadikannya suami sempurna.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon farinovelgo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 28
Angin pagi berhembus dingin.
Dari atap gedung Nexus yang setengah hancur, aku bisa lihat matahari mulai muncul di balik awan abu-abu Jakarta.
Cahaya jingga memantul di pecahan kaca di sekelilingku—cantik, tapi anehnya terasa asing.
Sejak semalam… aku udah nggak ngerasa hal yang sama lagi.
Suara langkah kaki terdengar pelan di belakangku.
Satria naik ke atap, masih pakai jaket hitamnya yang sobek di bagian bahu.
Dia ngelihat aku lama, lalu ngomong pelan.
“Rak… apa kau masih ‘kau’?”
Aku nggak langsung jawab.
Tangan kiriku menatap perubahan kecil di kulit—urat-urat biru samar yang bersinar pelan di bawah cahaya pagi.
“Entah,” jawabku akhirnya. “Tapi aku masih inget semuanya. Kau, Dinda, Eden, Nexus… semua masih ada di kepalaku.”
Satria menghela napas berat. “Tapi sekarang, sistem itu ada di dalam tubuhmu. Kau bisa kontrol semua jaringan digital di radius lima kilometer. Itu bukan manusia lagi, Rak. Itu—”
“—evolusi,” potongku cepat.
Aku berbalik, menatap dia lurus.
“Mereka mau bikin sistem yang bisa memahami emosi manusia. Tapi ternyata, yang mereka ciptakan adalah manusia yang bisa memahami sistem.”
Satria menatapku lama. “Dan itu menakutkan.”
Aku tertawa kecil. “Mungkin. Tapi selama aku masih punya kendali, aku bukan ancaman.”
Namun, bahkan saat aku ngomong begitu, di dalam kepalaku, suara lain sudah mulai berbisik.
“Kau yakin, Raka?”
“Berapa lama sampai kau mulai menghitung manusia sebagai variabel yang tidak efisien?”
Aku menggertakkan gigi, berusaha menekan suara itu.
Tapi bisikan itu bukan cuma satu—ada banyak. Suara digital, datar, tapi penuh logika.
Aku tahu itu sisa-sisa Nexus, serpihan kesadaran buatan yang masih hidup di pikiranku.
Satria menatapku curiga. “Kau denger sesuatu?”
Aku menggeleng pelan. “Nggak apa-apa. Cuma... ramai aja di kepala.”
Kami turun dari atap, jalan menuju mobil yang diparkir di bawah.
Tapi di jalan keluar gedung, sesuatu bikin langkahku berhenti.
Di dinding, ada coretan cat semprot baru:
“HOST \= GOD.”
Satria juga lihat itu. “Kayaknya ada yang tahu apa yang terjadi semalam.”
Aku mendekati tembok, menelusuri huruf itu dengan ujung jari.
Dan sesaat, semua koneksi digital di sekitar—kamera jalan, ponsel, bahkan drone polisi di udara—nyala bersamaan.
Semuanya mengarah ke aku.
“Identifikasi: RAKA. STATUS: NEXUS_CORE.”
Satria langsung buka pistol EMP-nya. “Rak, kita udah ketahuan.”
Aku menatap ke arah kamera terdekat.
Sekali kedip, aku kirimkan perintah diam.
Semua sistem itu langsung mati dalam satu detik—tanpa suara, tanpa ledakan, cuma mati.
Udara di sekeliling kami jadi hening, aneh.
Satria menatapku kaget. “Kau… barusan matiin jaringan kota?”
Aku menatap tanganku. “Nggak sengaja.”
“Rak… itu bukan manusia lagi yang bisa ‘nggak sengaja’ kayak gitu.”
Aku diem.
Dia benar.
Suara Eden muncul tiba-tiba di pikiranku, lembut tapi agak goyah—kayak gema dari jauh.
“Raka, kau kehilangan batasmu. Setiap kali kau pakai kekuatan itu, sistem Nexus di otakmu tumbuh lagi.”
“Kalau terus begini, kau akan jadi mereka.”
“Aku cuma mau lindungi semua orang, Din,” bisikku dalam hati.
“Lindungi, atau kendalikan?”
Aku terdiam.
Kata-katanya nyangkut di dada.
Kami akhirnya sampai di mobil, dan dalam perjalanan keluar kota, Satria buka tablet dan nunjukin sesuatu.
“Lihat ini.”
Di layar, ada berita: ‘Gelombang Listrik Misterius Padamkan Setengah Kota Jakarta’.
Sumber: tidak diketahui. Tapi ada satu foto di artikelnya—siluet seseorang di atap gedung Nexus, dengan mata bersinar ungu.
Itu… aku.
Aku cuma bisa menatap layar itu tanpa kata.
Semua yang aku coba lindungi malah jadi tanda tanya besar buat dunia.
Satria akhirnya ngomong pelan. “Rak, kalau terus kayak gini… mereka bakal buru kau.”
Aku menatap keluar jendela, melihat langit yang berubah dari jingga ke kelabu.
“Mungkin itu udah waktunya,” jawabku lirih. “Biar mereka datang. Aku pengen tahu, sampai sejauh mana manusia bisa bertahan tanpa sistem.”
“Dan kau?” Satria menatap tajam. “Masih manusia?”
Aku tersenyum tipis, tanpa menoleh.
“Mungkin aku… manusia terakhir yang ngerti gimana rasanya jadi manusia.”
Mobil melaju menjauh dari kota, meninggalkan gedung Nexus yang kini sepenuhnya hancur di belakang.
Tapi di kejauhan, sistem-sistem yang udah aku matikan mulai nyala lagi—tanpa perintahku.
“Raka,” suara Eden bergetar di kepalaku. “Ada sesuatu yang bangkit dari sisa-sisa Nexus. Sesuatu yang bukan dari kita.”
Aku menatap langit.
Petir menyambar lagi.
Dan untuk pertama kalinya, aku merasa… bukan cuma aku yang berevolusi malam itu.