Sistem Suami Sempurna
Pagi itu aku terbangun bukan karena alarm, tapi karena suara panci jatuh di dapur.
Suara khas yang langsung bikin bulu kuduk berdiri tanda kalau istriku, Dinda, lagi dalam mode “bad mood”.
Aku ngelirik jam. 08.15.
Telat bangun lagi.
Sial.
Aku lompat dari kasur, buru-buru cuci muka, terus jalan pelan ke dapur. Tapi baru lima langkah, suara Dinda udah nyambar.
“RAKA! Dasar ya kamu , kalau mau tidur malem, alarmnya pasang yang banyak!”
Aku otomatis senyum kecut. “Pagi juga, Sayang.”
“Jangan ‘sayang-sayang’. Sana mandi dulu, setelah nya sarapan.”
“Siap ibunda ratu."
Aku langsung cepat cepat ke kamar mandi, deh.”
Aku duduk di kursi dapur,makan sambil liatin Dinda yang lagi tausiyah pagi hari sambil ngomel-ngomel.
Dia pakai daster merah muda, rambut diikat asal, tapi tetap aja cantik walau matanya tajam kayak silet.
Sumpah, tiap kali dia ngomel-ngomel , aku pengen bilang “kamu lucu banget kalau kesal”, tapi naluri bertahan hidupku bilang jangan coba-coba.
“Raka,” katanya tiba-tiba, tanpa menatapku.
“Hm?”
“Kamu sadar nggak, udah beberapa bulan kamu nganggur?”
Nah, ini dia.
Pertanyaan maut di pagi hari.
Aku garuk kepala. “Hehehe… sadar kok.”
“Dan kamu sadar nggak, uang tabungan kita tinggal segitu-gitu aja?”
“Eh, ya… aku sadar juga.”
“Jadi kamu sadar kamu bikin aku stres?”
Aku diem.
Kadang, kesadaran malah jadi hal yang menyakitkan.
Dinda naruh spatula di meja, lalu duduk di depanku.
Matanya capek banget, tapi bukan cuma karena kurang tidur.
Dia magang di sebuah perusahaan desain interior, sering pulang malam, dan masih harus ngurus rumah karena suaminya… ya, aku ini, pengangguran setia.
“Ra,” katanya pelan, “aku nggak minta banyak, aku cuma pengin kamu usaha dikit aja. Aku tahu kamu lagi nyari kerja, tapi jangan cuma ngeluh. Aku capek kalau harus jadi satu-satunya yang mikir.”
Aku ngangguk. “Aku ngerti, Din. Aku bakal coba lagi.”
Dia narik napas panjang, lalu bangkit. “Yaudah, aku berangkat dulu.”
Dia ambil tas kerja, jalan keluar tanpa cium pipi kayak biasanya.
Dan aku cuma bisa duduk di meja dapur, nunduk, sambil ngelihat telur dadar gosong di piring.
Hidupku nggak buruk-buruk amat, sebenernya.
Cuma ya… bisa dibilang lagi nggak di atas angin juga.
Aku dulu magang di perusahaan IT, tapi pandemi bikin perusahaan bangkrut.
Sejak itu, aku nyoba jadi freelancer, jualan online, sampai bantu temen buka warung kopi. Hasilnya? Ya gitu-gitu aja.
Dan Dinda, yang awalnya sabar banget, mulai kehilangan harapan. Aku nggak nyalahin dia.
Aku sendiri juga capek jadi versi gagal dari diri sendiri.
Setelah dia berangkat, aku duduk di ruang tamu, buka HP, buka aplikasi lowongan kerja.
Scroll, scroll, scroll. Semua butuh pengalaman atau keahlian.
Sementara aku cuma punya satu skill: bisa pura-pura tenang pas hidup lagi berantakan.
Aku taruh HP, terus rebahan di sofa.
“Kalau aja ada sistem yang bisa bantu hidupku kayak di novel-novel itu,” gumamku pelan, “kayak… ‘Sistem Suami Sempurna’ gitu.”
Aku ketawa kecil sendiri.
Mana mungkin hal begitu beneran ada?
Tapi detik berikutnya, HP-ku bergetar.
Dan bukan karena notifikasi WhatsApp.
Layar HP tiba-tiba gelap, lalu muncul tulisan:
[Selamat datang di Sistem Suami Sempurna!]
Tingkat: 1 (Pemula Gagal)
Tugas pertama: Buat istrimu tersenyum hari ini.
Hadiah: +10 Poin Kehangatan dan uang...
Aku bengong.
“Hah? Ini siapa yang ngerjain aku?!”
Aku cubit tangan. Sakit.
Aku tutup HP. Layar balik normal.
Tapi begitu aku buka lagi, notifikasi itu masih ada.
“Jangan bercanda, deh,” kataku ke udara.
Lalu tulisan baru muncul lagi:
[Peringatan: Mengabaikan misi pertama akan menurunkan poin hubungan sebesar -5.]
Oke. Ini mulai aneh.
Aku berdiri, nyari kamera tersembunyi. Nggak ada.
Aku nyubit pipi lagi masih sakit.
Berarti ini… nyata?
“Beneran sistem, nih?” tanyaku setengah panik.
Tulisan muncul lagi:
[Benar. Misi dimulai.]
Aku tepuk jidat. “Sial, aku gila.”
Sepuluh menit kemudian, aku keluar rumah bawa sepeda motor bututku.
Rencana: cari sesuatu buat bikin Dinda senyum.
Tapi apa? Bunga? Kado? Atau… makanan?
Aku melirik dompet.
Isi: 27 ribu.
Oke, nggak bisa banyak gaya.
Akhirnya aku mampir ke toko kue di pinggir jalan.
“Bang, roti brownies satu ya.”
“Yang ini 25 ribu, Mas.”
Aku kasih uang, dan tinggal dua ribu di dompet.
“Semoga aja senyum istri harganya nggak lebih mahal dari ini,” gumamku.
Sore hari.
Dinda pulang, keliatan lelah.
Aku duduk di ruang tamu, pura-pura santai tapi jantung deg-degan.
Di meja ada kotak brownies kecil yang udah aku bungkus pakai kertas seadanya.
Dia buka pintu.
“Halo,” sapaku hati-hati.
Dinda ngelihatku sebentar. “Hm.”
“Eh, aku… beliin kamu sesuatu.”
Dia berhenti, kening berkerut. “Apa?”
Aku kasih kotak kue itu.
“Cuma brownies. Aku lihat kamu suka manis-manis, jadi…”
Dia diam. Lalu buka bungkusnya perlahan.
Aku nunggu reaksi.
Kalau dia senyum, berarti misi berhasil. Kalau nggak… ya, gagal lagi.
Dia ambil sepotong kecil, gigit.
Diam.
Lalu…
Senyum.
Bukan senyum lebar, tapi cukup buat aku lega.
“Lumayan enak,” katanya pelan.
“Yang penting bukan gosong kayak masakan kamu,” tambahnya dengan tawa kecil.
Aku ketawa juga. “Eh, iya juga sih.”
Dan di detik itu, HP-ku bergetar pelan.
[Misi Selesai! +10 Poin Kehangatan. Saldo kamu bertambah Rp 100.000 ]
[Skill Baru Terbuka: Empati Level 1.]
[Fitur Statistik Hubungan Aktif.]
Layar HP menampilkan status:
Nama: Raka Pradana
Level: 1
Poin Kehangatan: 10
Saldo : Rp.100.000
Hubungan: Stabil (53/100)
Skill: Empati Lv.1
Aku melongo.
Beneran kayak game.
Aku ngetik cepat di HP: “Kamu siapa?”
Dan jawabannya muncul dalam bentuk teks biru.
[Aku adalah Sistem Suami Sempurna, versi 1.0. Aku hadir untuk membantumu menjadi suami yang pantas dicintai.]
Aku bengong.
“Terus… kalau aku gagal?”
[Poin hubungan akan turun. Bila mencapai 0, sistem akan menganggap hubunganmu berakhir.]
Aku menelan ludah.
Jadi… aku harus terus bikin Dinda bahagia?
Aku lihat wajahnya yang lagi nonton TV sambil makan brownies itu, dan entah kenapa, aku senyum.
“Yaudah, Sistem,” kataku pelan, “kayaknya aku nggak punya pilihan lain.”
[Misi berikut akan muncul besok pagi. Siapkan dirimu.]
Aku naruh HP, rebahan di sofa.
Dan untuk pertama kalinya dalam tiga bulan terakhir, aku ngerasa ada harapan kecil.
Kalau ini mimpi, aku nggak mau bangun dulu.
Tapi sebelum aku sempat tidur, Dinda nyeletuk dari ruang TV.
“Ra, besok kamu anter aku ke kantor ya. Motor aku lagi di bengkel.”
Aku spontan nengok. “Iya, siap.”
Dia ngelirik dan senyum lagi.
“Eh, jangan lupa bangun pagi.”
[Misi Baru Akan Segera Dimulai.]
Aku menatap langit-langit kamar, antara bingung dan senang.
Mungkin hidupku mulai berubah.
Atau mungkin aku cuma gila.
Tapi satu hal pasti aku nggak akan sia-siakan kesempatan kedua ini.
...﹌﹌﹌﹌﹌﹌...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments