NovelToon NovelToon
Under The Same Sky

Under The Same Sky

Status: sedang berlangsung
Genre:Cinta Seiring Waktu / Playboy / Kehidupan Manis Setelah Patah Hati / Model / Mantan / Orang Disabilitas
Popularitas:667
Nilai: 5
Nama Author: CHRESTEA

Luna punya segalanya, lalu kehilangan semuanya.
Orion punya segalanya, sampai hidup merenggutnya.

Mereka bertemu di saat terburuk,
tapi mungkin… itu cara semesta memberi harapan baru..

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon CHRESTEA, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Satu Bulan Bersamamu

1 minggu kemudian..

Sejak malam itu di mana Luna tertidur sambil menggenggam tangan Orion di sisi ranjang.

Sejak saat itu, sesuatu perlahan berubah di antara mereka. Ruangan rehabilitasi yang dulu selalu sepi, kini terdengar ramai oleh suara tawa kecil, gumaman protes Orion, dan suara lembut Luna yang terus memberi semangat.

Hari ini, matahari pagi menyinari ruang fisioterapi. Orion berdiri dengan alat bantu di kedua tangannya, keringat menetes dari pelipisnya. Wajahnya tegang, tapi matanya fokus.

“Langkah kecil aja dulu, jangan buru-buru,” ucap Luna pelan di belakangnya, nada suaranya tenang, tapi tegas.

“Tarik napas… iya, kayak gitu.”

Orion berusaha melangkah.

Satu, dua,tubuhnya sempat oleng, tapi Luna sigap menahan bahunya.

Meskipun tubuh Luna jauh lebih kecil di banding tubuh Orion. Perlu di akui jika tenaga yang dia punya cukup besar.

“Lihat? Kamu bisa,” katanya sambil tersenyum.

Orion menatapnya sekilas, wajahnya menahan nyeri. “Kamu ngomongnya gampang.”

“Karena aku nggak jalan,” balas Luna santai.

Damian yang memperhatikan dari jauh hanya tersenyum kecil. Selama bertahun-tahun bekerja di rehabilitasi, dia belum pernah melihat pasien seperti Orion berubah secepat ini.

Dulu, setiap kali disuruh berdiri, Orion akan diam membeku seperti batu. Sekarang, dia melangkah sendiri,walau pelan, walau tertatih.

Setelah hampir satu jam, sesi selesai. Luna membantu Orion duduk di kursinya, memberinya air minum.

“Gimana rasanya?” tanya Luna.

“Kayak habis dikejar truk,” jawab Orion datar. Tapi sudut bibirnya terangkat sedikit.

“Kamu bisa aja bikin aku capek.”

“Itu artinya aku berhasil,” kata Luna dengan senyum puas.

Orion menatapnya beberapa detik. “Kamu sadar nggak, sekarang kamu lebih cerewet dari perawat mana pun di sini?”

“Cerewet tanda perhatian,” balas Luna cepat. “Jadi kamu harusnya berterima kasih.”

“Aku udah berterima kasih.”

“Mana? Aku nggak denger.”

Orion menatapnya datar, tapi tatapan itu bukan dingin lebih ke mencoba menyembunyikan senyum.

Damian yang baru mendekat tertawa kecil.

“Kalian berdua ini kayak anak kecil. Tapi, jujur, aku senang lihat kemajuan kamu, Rion.”

“Bilang aja kamu senang karena pasien kamu akhirnya nurut,” gumam Orion sambil mengambil handuk.

Damian menepuk bahunya ringan. “Apa pun alasannya, teruskan. Fisik kamu membaik, tinggal kepala kamu yang harus ikut sembuh.”

Orion menatap Damian, lalu menoleh ke arah Luna. “Bagian kepala mungkin lebih susah,” katanya pelan. "Tapi aku punya seseorang yang bantu.”

Luna pura-pura sibuk membereskan alat terapi, menahan senyum. “Siapa yang lagi ngomong? siapa?" ucapnya pelan, tapi pipinya memerah.

Siang itu, setelah makan siang, Luna dan Damian duduk di taman kecil di belakang rumah sakit.

Luna membuka buku catatan kecilnya jurnal kemajuan Orion.

“Dalam empat minggu, dia bisa berdiri tanpa alat bantu selama 15 detik,” kata Luna sambil menulis.

“Dan hari ini, dia melangkah lima kali tanpa pegangan.”

Damian menatapnya. “Kamu bangga, ya?”

Luna tersenyum lembut. “Iya. Tapi bukan karena aku. Karena dia mulai mau percaya sama dirinya sendiri.”

Damian menyesap kopinya pelan. “Kadang, orang baru mau percaya sama dirinya, setelah ada yang percaya duluan pada mereka.”

Luna menoleh cepat, tapi Damian hanya tersenyum kecil tanpa menjelaskan lebih lanjut.

Malamnya, Luna kembali ke kamar Orion untuk memastikan kondisinya. Pria itu duduk di kursi dekat jendela, menatap bulan yang menggantung besar di langit.

Luna berdiri di belakangnya beberapa detik sebelum bicara.

“Lagi mikirin apa?”

“Waktu,” jawab Orion tanpa menoleh.

“Udah sebulan kamu di sini, tapi rasanya cuma seminggu.”

Luna mengernyit. “Itu bagus atau buruk?”

“Entah. Tapi aku mulai terbiasa lihat kamu setiap hari.” Nada suaranya tenang, tapi jujur.

Luna berjalan mendekat, berdiri di sampingnya. “Kalau kamu udah sembuh, aku masih bisa datang kok. Jadi kamu nggak perlu khawatir.”

Orion menatapnya. “Dan kalau aku nggak mau kamu pergi?”

Luna terdiam. Tatapan itu membuat jantungnya berdetak lebih cepat. Dia menunduk pelan, menghindari sorot mata Orion.

“Jangan ngomong gitu, nanti kamu nyesel,” bisiknya pelan.

“Kenapa harus nyesel?” suara Orion rendah.

“Karena aku cuma sementara di hidup kamu, Rion. Tugas aku cuma bantu kamu sembuh.”

Luna tersenyum lembut, tapi matanya redup. “Setelah itu, kamu nggak butuh aku lagi.”

Orion menatapnya lama.

“Mungkin kamu salah, Luna,” katanya pelan. “Mungkin justru setelah sembuh, aku baru sadar kalau aku butuh kamu.”

Luna menahan napas. Ada hening panjang di antara mereka. Dari luar, suara detak jam dan angin malam masuk lewat jendela. Mereka hanya berdiri bersebelahan, tanpa kata, tapi dengan perasaan yang tidak lagi bisa disembunyikan.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!