Putri Daniella menyukai Pangeran Felix dan ingin menikah dengannya. Tapi kehadiran sopir pribadinya Erik Sebastian merubah segalanya. Pemuda desa itu diam-diam mencintai putri Daniella sejak kecil. Seiring waktu, terungkap jika Erik adalah putra mahkota yang sesungguhnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bunnyku, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Peluk Aku Biar Hangat
Di dalam tenda yang berdiri kokoh di dekat tepi danau tengah hutan pinus yang diselimuti kabut malam, udara dingin menusuk hingga ke tulang.
Angin malam berdesir pelan, membawa aroma daun kering dan tanah basah, sementara suara dedaunan bergesekan di luar tenda menciptakan simfoni alam yang sepi namun menenangkan.
Cahaya bulan yang samar menyelinap melalui celah-celah kain tenda, memberikan penerangan lembut pada wajah Putri Daniella yang meringkuk di atas matras.
Wajahnya, yang biasanya memancarkan keanggunan seorang putri, kini tampak rapuh, dengan alis yang sedikit berkerut karena kedinginan dan kegelisahan yang tersembunyi di hatinya.
“Kenapa dingin sekali ya,” keluh Daniella, suaranya lembut namun penuh kelelahan, seolah udara dingin itu bukan hanya menyentuh kulitnya, tetapi juga mengguncang jiwanya yang sedang rapuh.
Matanya yang hijau lembut menatap kosong ke arah atap tenda, mencoba mencari kehangatan dalam pikirannya yang kacau.
Erik, sopir setianya yang kini duduk di sampingnya, menoleh dengan penuh perhatian. Matanya yang tajam namun hangat menangkap raut wajah Daniella, dan dengan gerakan cepat namun penuh kehati-hatian, ia mengambil sepasang kaos kaki wol dari tas di sisinya.
“Sini, saya pakaikan kaos kaki dan ini selimut tebal untuk menghangatkan Tuan Putri,” katanya dengan nada rendah, penuh hormat, namun ada sedikit kelembutan yang tak bisa disembunyikan.
Ia berlutut di samping Daniella, memakaikan kaos kaki dengan hati-hati, lalu menyelimutkannya dengan kain tebal yang berbau samar akan kayu bakar dan kenyamanan.
Putri Daniella mengangguk pelan, namun gerakannya kaku. Ia melepaskan sarung tangannya, menggosokkan kedua telapak tangannya yang mulai memerah karena dingin.
Gerakan itu kecil, namun penuh makna, seolah ia mencoba menghapus sesuatu yang lebih dari sekadar kedinginan.
“Kenapa dilepas, Tuan Putri? Pakai lagi saja, udara malam ini dingin sekali,” ujar Erik, nada suaranya bercampur antara khawatir dan bingung.
Putri Daniella menggeleng, rambut panjangnya yang terlepas dari ikatan bergoyang pelan.
“Rasanya aneh, gak terbiasa tidur pakai sarung tangan. Seperti... tidak bebas, seperti ada yang mengganjal,” jawabnya, suaranya hampir berbisik. Ia menatap matras di depannya, seolah kata-kata itu bukan hanya tentang sarung tangan, tetapi tentang beban di hatinya yang tak kunjung reda.
Ia mulai merebahkan tubuhnya, namun matanya tetap terbuka, menatap sleeping bag yang tergeletak di sudut tenda.
Sleeping bag itu tampak nyaman, dirancang untuk melindungi dari cuaca buruk, namun Daniella menolaknya. Ia memilih matras sederhana, bantal empuk, selimut tebal, dan mantel bulu yang lembut, seolah ingin merasakan kehangatan yang lebih... manusiawi.
Daniella meringkuk, menyelipkan kedua telapak tangannya di bawah kepalanya, seolah mencoba melindungi dirinya dari dunia. Erik, yang masih duduk di sampingnya, memandangnya dengan perasaan yang sulit diuraikan.
Ada kekaguman di matanya, namun juga kepedihan, ia tahu betul tempatnya, seorang sopir, tak lebih dari bayang-bayang di sisi seorang putri. Dengan gerakan hati-hati, ia menambahkan selimutnya sendiri ke tubuh Daniella, menutupi bahunya yang sedikit gemetar.
“Tuan Putri, jangan sampai kedinginan,” gumamnya, hampir pada dirinya sendiri.
Namun, tiba-tiba, Daniella bergerak. Tubuhnya mendekat, begitu dekat, hingga Erik bisa merasakan kehangatan napasnya di sela-sela udara dingin. Dengan gerakan yang tak diduga, Daniella memeluknya erat, lengannya melingkar di dada Erik.
Tubuh pria itu membeku, jantungannya tiba-tiba berdegup kencang, seolah ada arus listrik yang mengalir di nadinya. Ia tersentak, napasnya tersengal, dan untuk sesaat, dunia di sekitarnya seolah lenyap, hanya ada dia dan Daniella, dalam pelukan yang tak seharusnya terjadi.
“Katanya kalau kedinginan, tidur berpelukan itu bikin hangat,” kata Daniella, suaranya lembut namun tegas, seolah ia sedang meyakinkan dirinya sendiri.
“Aku mau tidur dalam dekapmu,
peluk aku, gak apa-apa. Biar aku hangat dalam pelukanmu, tidak merasa kedinginan sehingga bisa tertidur nyenyak.”
Kepalanya kini bersandar di dada Erik, rambutnya yang harum menyentuh hidung pria itu, membuatnya semakin terjebak dalam pusaran perasaan yang tak bisa ia kendalikan.
Erik terdiam. Pikirannya berkecamuk, berusaha menyingkirkan bayang-bayang yang menggodanya untuk melangkah lebih jauh.
Ia tahu batasnya, tahu bahwa Daniella adalah putri raja, dan dia hanyalah seorang sopir. Namun, tubuhnya bereaksi berbeda, detak jantungnya semakin kencang, dan ada dorongan kuat yang hampir tak bisa ia tahan.
Dengan hati-hati, ia membalas pelukan itu, lengannya melingkar di tubuh Daniella, menariknya lebih dekat. Ia bisa merasakan kelembutan kulitnya, kehangatan napasnya, dan untuk sesaat, ia membiarkan dirinya tenggelam dalam momen itu.
Tangan Erik bergerak hampir tanpa sadar, mengelus pipi Daniella yang lembut, jarinya menyentuh bibirnya yang merah merekah, lalu membelai rambutnya yang terasa seperti sutra. Ia mencium pucuk kepalanya, aroma samar bunga mawar dari rambutnya membuatnya semakin hilang kendali.
“Tuan Putri...” gumamnya, suaranya serak, seolah sedang berjuang melawan dirinya sendiri.
Namun, hasrat itu terlalu kuat. Ia tahu ini salah, tahu bahwa Daniella adalah milik Pangeran Felix, namun malam itu, di bawah langit yang dingin, ia tak peduli lagi.
Malam itu, mereka tidur dalam pelukan satu sama lain, tubuh mereka saling menyatu dalam kehangatan yang rapuh.
Erik tahu, meski hatinya penuh dengan Daniella, ia tak akan pernah bisa memilikinya. Dan Daniella, dalam pelukannya, seolah mencari pelarian dari luka yang tak terucap, dari bayang-bayang pengkhianatan yang kini menghantuinya.
*********