Ningrat dan kasta, sebuah kesatuan yang selalu berjalan beriringan. Namun, tak pernah terbayangkan bagi gadis proletar (rakyat biasa) bernama Sekar Taji bisa dicintai teramat oleh seorang berda rah biru.
Diantara gempuran kerasnya hidup, Sekar juga harus menerima cinta yang justru semakin mengoyak raga.
Di sisi lain, Amar Kertawidjaja seorang pemuda ningrat yang memiliki pikiran maju, menolak mengikuti aturan keluarganya terlebih perihal jodoh, sebab ia telah jatuh cinta pada gadis bernama Sekar.
Semua tentang cinta, kebebasan dan kebahagiaan. Mampukah keduanya berjuang hingga akhir atau justru hancur lebur oleh aturan yang mengekang?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon sinta amalia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
ATN 6~ Mojang Priangan
Sekar pulang, saat bias cahaya surya sudah bersiap ke peraduan. Saat lambaian angin sore begitu lembut membelai, saat hawa mulai mendingin bersiap mengambil seluruh kehidupan siang.
Ia melihat wajah Laksmi yang sudah dipenuhi bedak tabur putih, macam kesemek.
Juga Widuri yang memainkan cangkul bapak yang masih berlumur tanah merah diantara rambut basah disisir ke belakang oleh mak.
Jayadi, adik lelakinya itu masih menggaruk rambut gatal, menunggu di luar jam ban. Dimana bapak masih meluruhkan semua kotoran dari kebun orang dengan handuk lusuh dan bolong sana sini.
"Pak, cepet e pak...anak bujang ngga boleh mandi magrib, keburu surup takut ada Wewe gondol..." (gombel 😆 bahasanya Jayadi)
"Lah, suruh siapa kamu mandi jam segini, dari tadi ngapain aja kamu?!" omel bapak.
"Assalamualaikum."
"Teteh pulang!"
"Coba tebak aku bawa apa?" Sekar setengah berjongkok di depan Laksmi.
"Wah bandros!" Jayadi langsung menoleh mendengar seruan Laksmi itu.
"Masing-masing satu." Ujar Sekar mengatur.
Jayadi selalu langsung sigap jika itu menyangkut makanan, "teteh dapat darimana?"
"Teh Nuroh yang kasih. Habis dapat saweran, jadi pada dijajanin itu." Sekar menyentuh pucuk rambut Jayadi yang rambutnya nampak sudah gondrong itu, namun adiknya itu mengekor, "teh, kue tape di dekat tungku, ya."
Sekar mengangguk kaku, "kamu belum mandi kan? Cepetan...abis itu teteh, udah mau magrib, takut digondol wowo." kelakar Sekar. (cowok)
Sekar menatap kue tape pemberian Jayadi dengan getir, hanya menatap dan membolak-baliknya tanpa memakan.
"Kenapa, Kar?" tanya mak, baru saja selesai isya, lalu duduk sisiran di dekat jendela kayu yang terkadang harus sedikit di tahan lalu diberikan dorongan kencang saat akan menutupnya. Sekar memotong kue tape menjadi dua, membaginya dengan mak.
Helai-helai rambut panjang mak terlihat begitu kusam. Bukti jika mak lebih memikirkan perut anak-anaknya ketimbang rambut. Namun, jangan salah....kini mak mengambil minyak dan ramuan urang aring yang baunya bikin tak nyaman di hidung.
Memutar badan Sekar dan mengoleskan itu, "mak, aku sudah keramas tadi." Karena itu artinya Sekar harus keramas lagi nanti atau besoknya.
"Ya ngga apa-apa, biar rambutmu bagus. Hitam, lebat."
Dibawah siraman cahaya rembulan, musik alam berupa jangkrik dan kodok serta usapan Mak di rambutnya, Sekar mendengar Mak berdendang.
*Diraksukan kabaya, nambihan cahayana, dangdosan sederhana, mojang Priangan*....
(**Berpakaian kebaya, menambah cahayanya \[wajah\], dandanan sederhana, gadis priangan**)
Dan seperti biasa Sekar mengayunkan kakinya menyusuri jalanan menuju sanggar bersama Imas.
Diantara langkahnya, tak jarang ia mendengar suara sumbang dari teman-teman sesama murid di sanggar amih Mayang. Dan biasanya itu didasari oleh rasa iri atau mungkin merendahkan. Seperti sekarang....
Ada bisikan-bisikan setan yang menghembuskan penyakit hati.
Sekar melihat Ajeng dan Dewi yang juga sama-sama akan pergi ke sanggar.
"Kar, baiknya kamu sudahi latihan di sanggar. Toh percuma, anak miskin kaya kamu ngga akan mampu beli kostum atau jaga badan. Cantik itu butuh digosok pake uang..."
Sekar menarik alisnya sebelah, namun nyatanya raihan tangannya didahului Imas, "ngomong apa kamu! Oalah sombong! Bilang aja kamu sirik sama Sekar, amih Mayang lebih sering lirik Sekar dibanding kamu!" tunjuknya di jidat Ajeng, si gadis yang selalu terlihat berwajah jutek nan julid.
"Yang bilang cantik digosok pake batu kali, memangnya siapa?!" sewot Imas, yang praktis membuat Sekar harus menahannya begitupun Ajeng yang ditahan Dewi.
"Aku ngomong sama Sekar, bukan buntelan kentut kaya kamu!" sewot Ajeng.
"Mas, udah mas...jangan ribut disini malu. Nanti kita terlambat. Ngga penting ladenin orang sirik kaya mereka." Sekar melemparkan tatapan tajamnya pada Ajeng.
"Sirik?!" Ajeng mendengus sumbang, tawanya itu meledek, "yang benar saja, aku iri sama kamu?! Orang miskin," ia lantas menatap Sekar dari atas sampai bawah dalam sekali pandangan singkat, "apa yang mau kamu unggulkan dari aku?!" jelas matanya sampai melotot-melotot dengan kilatan kebencian.
"Lalu apa yang sedang kamu lakukan sekarang. Mencari masalah dengan orang miskin seperti saya? Bukankah seharusnya kamu biarkan saja saya bersama apa yang akan saya lakukan, kamu tidak perlu ikut sibuk. Kamu tidak harus khawatir, kalo nantinya amih Mayang akan memilih ronggeng, karena jelas menurut kamu...kamu lebih segalanya dari saya sampai kamu harus menyerang saya begini, merundung saya dan Imas begini."
Ajeng sudah semakin membeliak bahkan matanya seperti hampir keluar karena saking ia melotot, Imas mereda, kini Sekar yang maju dengan wajah judesnya itu, "kita buktikan, diantara angkatan kita, siapa yang akan duluan dipilih."
Ajeng tertawa bersama Dewi, "mimpi kamu. Oke kita buktikan saja nanti."
Kedua gadis itu pergi duluan, dengan menaikan sedikit rok span panjang mereka, langkahnya itu...cepat meski kadang harus rusuh sebab yang dipijaki adalah tanah berbatu, lalu melambat ketika kebun bambu.
"Huuu! Dasar sin ting." umpat Imas yang langsung dicubit Sekar, "Mas, sudah. Sayang energi kamu kalo buat mengumpati ucapan mereka. Lebih baik dipakai latihan."
Keduanya kembali berjalan. Imas menoleh dengan wajah yang sendu, "Kar, tapi memang kenyataannya, apa yang diomongin si Ajeng itu benar...badanku tidak sebagus badanmu. Apa aku juga harus makanin singkong rebus ya setiap hari. Jarang jajan, terus makan sehari cuma dua kali?" tanya Imas, "bodymu bagus Kar, beda denganku." manyun Imas.
Sekar menggeleng, "badan kamu justru lebih bagus dari badanku yang kurus, Mas ...kamu se mox." tawa Sekar disusul tawa Imas, "bilang aja gendut."
Sekar menggeleng lagi, "bukan sumpah! Bukan gendut, se mox, Mas...asli."
Imas sangsi percaya, "apa rahasianya, Kar? Bilang sama aku ...kamu jarang bedakan, tapi cantik." tanya mencecar Imas benar-benar menatap Sekar penuh meneliti dan penasaran.
Sekar mengerjap, "tak ada. Aku tak punya rahasia apapun."
Imas menyipit, "bohong. Pasti ada....mak Jumi pasti sering kasih kamu ramuan, apa Kar? Biar aku bikin juga di rumah..."
Sekar mencebik dan mendorong pelan kening Imas, "ngga ada. Kamu udah kemakan omongan Ajeng, Mas ...udah yuk!" Sekar berjalan cepat disusul Imas.
Ada tatapan tak suka dari Ajeng selama mereka berlatih, ada pandangan yang menguliti darinya dan Dewi. Namun Sekar memang harus menebalkan iman untuk itu. Posisinya berjauhan tapi sorot menusuk itu bisa sampai.
"Kita rehat sebentar, tapi sini kumpul....kumpul!" pinta amih Mayang membuat para muridnya ini merapat termasuk Sekar dan Imas. Ada sikutan saat posisi mereka mendekat, lalu Dewi dan Ajeng memilih posisi menjauh.
Mereka duduk melingkar.
"Jadi gini. Untuk kegiatan pentas rutinan setiap Sabtu atau malam Minggu di pendopo kota itu mulai berjalan lagi ya....dan untuk jadwalnya, rampak jaipong yang mengisi itu, ronggeng yang sudah lama pasti dilibatkan lebih banyak."
Para senior seperti teh Nuroh, teh Fatma dan teh Mawar tersenyum sebab jelas, pundi-pundi rupiah saweran, akan mereka dapatkan setiap Minggu. Cukup banyak penari lama disini, sehingga kemungkinan Sekar bisa masuk cukup sulit, sementara rampak jaipong rutinan yang sering digelar sanggar amih Mayang dan gamelan milik sang suami itu hanya melibatkan paling banyak 10 ronggeng saja.
Lantas amih Mayang mengabsen beberapa ronggeng yang akan diboyong di alun-alun kota. Dan benar....tak ada namanya, tapi tumben sekali nama teh Nuroh pun tak ada. Lagipula Sekar tak apa, sebab ia belum memiliki modal untuk membeli baju pentas.
Tunggu, ketika amih Mayang mengabsen siapa saja yang pergi. Jelas ada senyum kemenangan yang mengudara, dan itu milik Ajeng...Yap! Dia terpilih untuk acara rutinan sanggar amih Mayang.
Semakin saja, gadis itu besar kepala. Menatap Sekar dengan pandangan merendahkan.
"Yaa...gagal lagi minggu ini, Kar...terus..." Imas menatap ragu pada Ajeng yang sudah siap memuntahkan setiap kalimat hinaan.
"Oh ya, ada satu acara...yang harus diisi. Dua minggu lalu, sanggar didatangi pihak pabrik kerupuk udang, yang katanya akan kedatangan tamu sangat penting. Jadi, sanggar akan kembali mengirimkan rampak jaipong 5 orang...Nuroh, Ros, Sari, Yani, dan Sekar Taji."
Mereka langsung terdiam saat amih Mayang menyebutkan seorang junior diantara 4 senior disana. Bahkan Sekar langsung mematung bersama Imas yang menepuk-nepuk pundak Sekar, "Kar, ngibing juga akhirnya!"
Namun cibiran seolah tak habis-habis dari Ajeng, "ha. Pabrik kerupuk...paling-paling yang datang camat, lurah. Berapa sih sawerannya."
"Kar," Imas tersenyum bahagia, paling tidak Ajeng tak jadi menang taruhan.
Namun Sekar meredup diantara rasa senangnya, ada perut adik-adiknya yang akan mendapatkan cemilan enak, tapi darimana ia dapatkan perlengkapan jaipong?
Disaat yang lain sudah pulang, Sekar menunggu sepi dimana Imas menemaninya, menungguinya di pendopo.
"Amih..." Sekar menghampiri sang pelatih.
"Ya? Kenapa Kar?"
"Amih, maaf. Untuk acara Minggu depan di pabrik, saya belum punya perlengkapan jaipongnya. Tapi ..saya..."
Perempuan yang telah melanglang buana sampai keluar kota itu paham, lagipula tak mungkin ia membiarkan rampak jaipongnya terlihat jelek di depan gegeden (pejabat).
"Khusus untuk acara itu, saya sudah siapkan kostum sama Sekar. Baik Nuroh, Ros, Yani, Sari ataupun kamu...kostum kalian, saya yang siapkan. Sebab...." jedanya tipis.
"Tamu yang datang itu bukan dari kalangan pejabat biasa, tapi keluarga kasepuhan...."
Sekar terhenyak kaget.
"Maaf saya ngga bilang dulu tadi, soalnya saya takut membuat Fatma atau ronggeng lama yang biasa ngibing di alun-alun kota, cemburu. Tapi saya dan akang sudah dapat menghitung dan menimbang-nimbang sebelumnya keputusan ini."
Sekar mengangguk senang dan semangat, "hatur nuhun amih..." Saking senangnya Sekar sampai memeluk dan mencium tangan amih Mayang membuat wanita itu tertawa kecil, "sami-sami, saya tau kamu akan mampu. sudah lama saya perhatikan kamu. Potensi yang bagus dan wajah segar..."
.
.
.
.
q juga kalau jari sekar ogah hidup enak banyak duwit tapi tekanan batin, yang ada mati muda dih sayang amat🙈
Bukk jangan hina tikus ya, tikus di Ratatouille visa masak Lo.
ibuk liat Sekar itu tikus ya.. kasian aku sama ibuk ini , matanya sakit kah?? jangan² katarak ya makanya gk bisa bedain manusia sama tikus🤪
kedua kurang mempersiapkan strategi , kelamaan memantau.
ketiga anda kurang beruntung itu aja
maaf ya kamu keduluan sama adekmu tuh yg namanya amar, dia tawarin Sekar jadi. istri satu²nya
amihh jembar anakmu nih yaa yg k3gatelan sama Sekar bukan Sekar yg menggoda