Dorongan kuat yang diberikan sepupunya berhasil membuat Marvin, pria dengan luka yang terus berusaha di kuburnya melangkahkan kaki masuk ke dalam ruang praktek seorang Psikolog muda. Kedatangannya ke dalam ruang praktek Bianca mampu membuat wanita muda itu mengingat sosok anak laki-laki yang pernah menolongnya belasan tahun lalu. Tanpa Bianca sadari kehadiran Marvin yang penuh luka dan kabut mendung itu berhasil menjadi kunci bagi banyak pintu yang sudah dengan susah payah berusaha ia tutup.
Sesi demi sesi konsultasi dilalui oleh keduanya hingga tanpa sadar rasa ketertarikan mulai muncul satu sama lain. Marvin menyadari bahwa Bianca adalah wanita yang berhasil menjadi penenang bagi dirinya. Cerita masa lalu Marvin mampu membawa Bianca pada pusaran arus yang ia sendiri tidak tahu bagaimana cara keluar dari sana.
Ditengah perasaan dilema dan masalahnya sendiri mampukah Bianca memilih antara profesi dan perasaannya? apakah Marvin mampu meluluhkan wanita yang sudah menjadi candu baginya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Penasigembul, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 28
Sesuai dengan pesan Bianca dua minggu lalu dan pesan konfirmasi kedatangan yang dikirimkan oleh Jean, hari ini Marvin sudah berada dan duduk di sofa yang sejak pertama kali ia tempati sudah memberikan rasa nyaman, bersama Bianca yang duduk di hadapannya dengan wajah teduh dan tenang yang selalu berhasil menghangatkannya.
Bianca masih menyimak setiap kata yang terlontar dari bibir pria yang ada di hadapannya, pria di hadapannya sedang menceritakan banyak hal yang terjadi dua minggu terakhir dan bagaimana perasaannya.
Saat ini Marvin memang jauh lebih terbuka dan dengan mudah menceritakan apa saja kepada Bianca, termasuk masalah yang terjadi di perusahaan. Pria itu banyak mengalami perubahan dibandingkan dengan pertama kali kedatangannya, ia sudah tidak lagi memfokuskan dirinya pada masalah keluarganya saja, dari sudut pandang Bianca Marvin lebih mampu menjalani hidupnya.
Sesekali Bianca juga mencuri pandang pada pria yang sudah lebih bisa mengekspresikan perasaannya itu. Dua minggu tidak bertemu dengan Marvin berhasil membuat Bianca merasakan kekosongan di relung hatinya dan rasa rindu yang diam-diam menyelinap masuk.
“lalu apa masalahnya sudah selesai?” tanya Bianca setelah Marvin menceritakan perihal Angga dan apa yang sudah dilakukan karyawannya itu. Bianca dapat melihat kecemasan dan kemarahan bercampur dalam nada suara Marvin ketika menceritakannya.
“Masih di urus sama Saka dan Leo.” Jawab Marvin lebih santai. “Setelah ini apa kamu masih ada klien, Ca?” tanya Marvin ketika menyadari sesi konsultasinya akan berakhir.
Bianca mengangkat wajahnya dan mengalihkan fokusnya yang sedari tadi sedang melihat catatannya, “sepertinya tidak ada.” Dengan refleks Bianca menggelengkan kepalanya.
“Makan malam bersama?” tawaran yang berhasil membuat Bianca melongo sesaat, wanita itu mengetuk-ngetukkan bolpen yang sedari tadi ia gunakan ke buku catatan yang ada di pangkuannya berpikir sejenak mengenai tawaran Marvin barusan.
“Boleh, Kak.” Bianca mengangguk akhirnya menerima tawaran makan malam itu. Selain itu ia memang memiliki tujuan lain malam ini, ia sedang memancing ikan dan menjadikan Marvin sebagai umpan.
Marvin terlihat mengembangkan senyumnya ketika mendengar jawaban Bianca, sementara wanita yang baru saja menerima tawarannya masih terdiam dengan catatan di pangkuannya sebelum akhirnya menyudahi sesi hari ini.
“Aku akan menunggumu di lobi.” Ucap Marvin ketika hendak meninggalkan ruang konsultasi.
“Tentu, aku akan segera menyusul.”
*
Dengan tenang Bianca menyantap makan malam di hadapannya, kali ini Marvin memilih restoran sushi yang ia ketahui sebagai salah satu makanan favorit Bianca.
“kamu suka?” tanya Marvin berbasa basi ketika melihat Bianca begitu menikmati sushi yang mereka pesan, dengan cepat yang ditanya hanya mengangguk antusias. Melihat anggukkan Bianca membuat Marvin kembali tersenyum. “mau tambah sesuatu?” tawar Marvin kembali melontarkan pertanyaan.
“cukup, Kak.” Geleng Bianca menolak tawaran pria di hadapannya sambil menyuapkan sushi roll ke dalam mulut nya.
Marvin juga ikut menikmati menu makan malam mereka dan mulai menyuapkan sushi ke dalam mulutnya, namun gerakannya terhenti ketika ia menyadari ada seseorang yang sedang mengarahkan kamera ponselnya ke arah dirinya dan Bianca tepat ketika flash pada kamera tersebut meredup.
Menyadari perilakunya sudah ketahuan orang yang tadi mengambil foto itu pun dengan cepat bangkit berdiri dan hendak meninggalkan tempatnya, dengan cepat Marvin mengikuti orang itu membuat keheranan pada Bianca yang sedang menyuapkan sushi ke mulutnya.
“Kak Marvin, mau kemana?” panggil Bianca sedikit keras tapi tidak ada jawaban karena Marvin sudah keburu mengejar orang yang mengambil fotonya tadi.
Karena tidak mendapat jawaban dan melihat Marvin yang sedang mengejar sesuatu menarik perhatiannya, membuat Bianca memutuskan untuk menyusul pria itu.
Langkahnya terhenti ketika melihat Marvin sedang mencengkram pergelangan seorang wanita yang di kenal Bianca dan sudah dapat diduga oleh Bianca bahwa ia akan mengikutinya. Fani berusaha melepaskan cengkraman tangan marvin dari pergelangannya namun jelas pria itu lebih kuat.
“lepaskan, Kak Marvin.” Teriak Fani yang berhasil menarik perhatian beberapa orang di dekat mereka.
“untuk apa mengambil foto saya dan Bianca?” tanya Marvin kesal namun masih berusaha menahannya.
“terlalu percaya diri sekali.” Sahut Fani santai.
Bianca yang melihat hal itu hanya menyilangkan tangannya di depan dada, tersenyum tipis ke arah rekan sejawatnya yang memang sudah ia curigai sejak ia keluar dari ruangan Sonia beberapa waktu lalu. Bianca melangkah maju dengan perlahan menghampiri Marvin dan Fani.
“Untuk apa melakukan semua ini, Mbak Fani?” tanya Bianca sambil menekankan nama Fani.
Fani menatap Bianca tajam kemudian mendengus, “bukan kah hubunganmu ini sudah melewati etika profesional?” tanya Fani sinis.
“Anda bisa menemui dan menegur saya secara langsung, tidak perlu menyebarkan berita dengan banyak bumbu di dalamnya.” Sahut Bianca masih dengan tenang. “sekali lagi saya tanya, untuk apa melakukan hal ini, Mbak Fani?” Bianca kembali mengulangi pertanyaannya.
“jika saya menegur anda secara langsung, tidak ada yang tahu seorang Bianca, Psikolog favorit semua orang dan kalangan melakukan kesalahan dan melewati batas profesionalitas.” Balas Fani masih dengan nada sinis dan kesal. Bianca tersenyum tipis mendengar jawaban Fani, ia mengerti kenapa Fani melakukan hal ini tapi ia masih tidak mengerti kenapa pencapaiannya membuat wanita di hadapannya ini tidak senang. “semua orang selalu memuji dan memujamu seolah anda manusia paling sempurna, bahkan ketika berita ini tersebar masih banyak pihak yang membela anda padahal sudah jelas yang anda lakukan sudah tidak benar.” Ujar Fani lagi dengan suara yang semakin lama semakin meninggi.
“saya jadi meragukan interpretasi anda sebagai Psikolog, Mba Bianca. Apakah hubungan personalmu tidak menjadikan interpretasimu bias terhadap pria ini?” imbu Fani sambil menunjuk ke arah Marvin saat mengatakan ‘pria ini’
Bianca memejamkan matanya ketika mendengar penuturan Fani yang menurutnya tidak masuk akal, bagaimana mungkin seorang psikolog seperti Fani bisa melakukan hal seperti ini karena rasa cemburu dan iri hati. “Kita tidak saling mengenal sebelumnya, kenapa anda ingin sekali menjatuhkan saya?” tanya Bianca masih heran dengan alasan Fani melakukan semua ini.
Sekali lagi wanita bernama Fani itu mendengus, “karena keberadaanmu menghambat karir saya.”
Marvin menatap kedua wanita itu bergantian, mulai mengerti kenapa Fani mengambil foto mereka, bukan untuk mencelakakan dirinya tapi untuk menjatuhkan Bianca.
“menghambat karir anda?” tanya Bianca mengulangi perkataan Fani yang mulai membuatnya gerah. “keberadaan saya atau kemampuan anda sendiri yang menghambat?” tanya Bianca santai dan masih dengan tenang, tidak terlihat kemarahan di wajahnya, mendengar itu Fani menatap tajam pada Bianca.
“saya ada di posisi saat ini itu karena kemampuan dan pencapaian saya, dan bukan karena menjatuhkan orang lain.” Tutur Bianca melanjutkan karena melihat Fani tidak bisa menjawab dirinya. “sebagai sejawat anda, saya ingin mengingatkan untuk berhenti melakukan hal ini, jangan sampai apa yang anda lakukan justru merugikan diri anda sendiri.” Lanjut Bianca lagi, kemudian menatap Marvin dan memberikan isyarat untuk meninggalkan wanita itu.
Bianca melangkah meninggalkan Fani yang masih terdiam, tidak pernah menyangka seorang Bianca mampu menggertaknya dengan tenang tapi penuh penegasan dalam setiap katanya. Matanya masih memandangi punggung Marvin dan Bianca yang meninggalkanya.